Sabtu, 04 Juni 2016

JALAN PANJANG NALANDA MUARO JAMBI MENUJU WARDUN

Jambi, CSMC - Kamis (2/6). Berlokasi didepan Guess House Candi Muarajambi, pagi hingga siang, puluhan warga kawasan candi Muarajambi berkumpul dan berdialog bersama Bupati, Kepala Badan Pelestarian dan Cagar Budaya (BPCB), Kadis Bupdar Provinsi dan Kabupaten serta Dewan Warisan Budaya Jambi (Jambi World Heritage).
Acara yang bertajuk "Rembuk Masyarakat Budaya Kawasan Percandian Muarajambi" ini bertujuan memfasilitasi penyampaian aspirasi warga lokal terkait percepatan pemenuhan syarat World Heritage UNESCO.
Warga yang berkumpul terdiri dari kepala-kepala desa, tokoh masyarakat,  tokoh pemuda dan perempuan. Tampak juga para aktifis pariwisata dan pemerhati candi yang datang dari kota Jambi.
Acara berlangsung dengan khidmat karena antusiasnya warga menyampaikan berbagai hal. Dimulai dengan Abuzar, Kepala Desa Muara Jambi. Ia mengatakan bahwa setengah dari luas kawasan candi (3981 ha )meliputi desanya. Sektor pariwisata kini menjadi harapan terbesar sumber penghidupan warga, karena pertanian dan perkebunan sudah terhimpit.
Dalam acara dialog ini bupati Muaro Jambi, Burhanuddin Mahir menanggapi semua keluhan warga dengan berjanji akan menindaklanjuti keluhan dan aspirasi warga, baik dalam masa akhir tugasnya maupun pada peltu Bupati yang akan mengambil alih tugasnya di 19 Juli mendatang.
Menurut , Burhanuddin selama ini pemkab merasa kurang harmonis dengan BPCB karena banyaknya ketidaksepahaman tentang pembangunan candi. "Luasan kawasan yang 3981 ha ditetapkan sepihak, tidak ada konsul dulu dengan pemkab. Ini saya yang keberatan, kami bisa bangun apa kalau seluas itu ditetapkan,'' kata Burhan.
"Syukurlah kepala BPCB sekarang sudah mengklarifikasi, bahwa luasan yang akan diajukan ke Unesco tidak sebesar itu, hanya yang meliputi 8 candi yang sudah dipugar, jadi kita masih bisa melakukan pembangunan untuk masyarakat, " tambahnya.
Sementara itu, inisiator acara ini, Dewan Warisan Budaya Jambi, melalui ketuanya Ratna Dewi menyampaikan bahwa salah satu tugas lembaganya adalah memastikan dan mengawal proses percepatan serta kelengkapan persyaratan untuk diajukan kembali ke Unesco.
"Kita sudah melakukan pelacakan dimana splitnya dari tahun 2009. Alhamdulillah sekarang mekanisme kedepannya sudah jelas, hari ini saja pak Bupati sudah meng—SK kan tim ahli cagar budaya kabupaten. Semoga proses di tingkat kabupaten cepat selesai dan akan kita tindak lanjuti di provinsi untuk kemudian ke kementrian,'' ujarnya.
Namun tambah Ratna, semua upaya yang dilakukan akan sia—sia jika tidak didukung oleh masyarakat sekitar kawasan. Untuk mendapatkan dukungan, yang paling utama dan penting adalah mengetahui, mengerti dan memahami aspirasi dan kebutuhan masyarakat lokal. Disitulah pentingnya acara rembuk ini.
Sementara itu Arkeolog kawakan Kepala BPCB Jambi Muahammad Ramli, mendukung acara "Rembuk Masyarakat Budaya Kawasan Percandian Muarajambi" tersebut, namun kawasan candi Muaro Jambi dalam menuju World Heritage UNESCO, mesti butuh kajian kajian dalam berbagai aspek, tidak menjadi World Heritage pun kawasan Candi Muaro Jambi sudah di kenal dunia, imbuhnya, yang terpenting adalah bagaimana pemanfaatan kawasan percandian Muaro Jambi, memberi kontribusi positif bagi semua pihak, terutama masyarakat setempat baik sosial, ekonomi maupun pembanggunan kebudayaan, untuk itu dibutuhkan peran serta semua pihak, terutama pemerintah daerah, mesti segera membuat perda tentang kawasan percandian ini, yang berhak mengusulkan kawasan candi Muaro jambi masuk menjadi World Heritage UNESCO, adalah pemerintah Kabupaten Muaro Jambi dan Pemerintah Tingkat I Jambi, bukan BPCB Jambi, ada beberapa hal penting yang mesti segera dilakukan antaranya : Mengukuhkan kawasan percandian Muarajambi sebagai Kawasan Cagar Budaya nasional yang dilindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010., Menetapkan kawasan budaya ini sama sebagai Kawasan Strategik Nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, Menerbitkan payung hukum bagi pelestarian kawasan percandian Muarajambi sebagai kawasan wisata sejarah terpadu, menghentikan semua aktivitasnya yang mengancam kelestarian situs dan merehabilitasi semua kerusakan yang telah terjadi.


Menurut M. Ali Surakhman aktivis budaya, dalam diskusi tersebut, sekitar 50 orang yang hadir punya hak yang sama untuk mengisahkan pengalaman dan mengeluarkan gagasan seputar pelestarian dan pemanfaatan BCB. Sebuah cermin besar diletakkan di arena diskusi. Cermin itu dipakai sebagai media refleksi terkait dengan pengelolaan BCB selama ini. Apa yang sudah dilakukan terhadap BCB? Mengapa pelestarian dan pemanfaatan BCB selalu dipertentangkan dan seringkali berbuah konflik? Mengapa masih saja terjadi sekat-sekat di antara pihak pengelola BCB? Mengapa masyarakat masih kesulitan mengakses manfaat BCB? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu pun mengalir begitu saja, keluar dari mulut praktisi, rekan-rekan LSM, dan para ahli. Namun semua peserta diskusi nampak terperangah ketika dihadapkan pada pertanyaan bodoh yang tak sengaja terlontar hampir di akhir diskusi: apakah sebenarnya BCB itu?

Pertanyaan itu sederhana. Tapi jadi aneh ketika para pakar dan praktisi pelestari BCB mempunyai perspektif yang berlainan terhadap objek yang digelutinya. Perbedaan perspektif tersebut jelas akan berdampak pada perlakuan kita pada BCB. Seperti contoh persoalan Jagad Jawa di Borobudur, sengketa tanah di Situs Dieng, gardu pandang di Sangiran, pengembangan pariwisata Candi Plaosan, revitalisasi Taman Sari, dan alih fungsi Ambarukmo, merupakan beberapa cermin retak yang memperlihatkan betapa perbedaan perspektif itu telah menimbulkan kebingungan-kebingungan para pihak yang terkait dengan pengelolaan BCB.

Selama ini pemerintah dan sebagian besar dari kita memandang BCB sebagai sumberdaya. Layaknya sumberdaya alam, BCB pun bisa dieksploitasi untuk berbagai kepentingan. Di dalam UU 5/1992 tentang BCB memang disebutkan bahwa BCB yang merupakan benda buatan manusia yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dapat dimanfaatakan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Dengan begitu menjadi jelas, bahwa BCB adalah sebuah entitas atau wujud yang diperlakukan betul-betul sebagai ‘benda mati’.

Realitas itu ternyata sangat berbeda dengan pemahaman sebagian besar peserta diskusi. Mereka memahami BCB lebih sebagai sebuah simbol yang memiliki ragam makna ketimbang hanya sebagai benda mati semata. Selain BCB itu memiliki nilai sejarah dan kultural yang melekat pada dirinya, ia juga selalu dimaknai berbeda dari generasi ke generasi, karena pada hakekatnya BCB adalah sebuah warisan budaya. Bahkan dalam satu generasi, makna tersebut bisa sangat beragam. Di sinilah ironisnya. Di dalam hati para pihak mengakui bahwa BCB itu kaya makna, namun dalam prakteknya mereka tak menyadari bahwa BCB tersebut telah dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan ekonomi semata.

Borobudur, misalnya, diperlakukan pemerintah sebagai monumen mati (dead monument) dalam pengertian bahwa BCB tersebut telah ditinggalkan oleh pembuat dan masyarakat pendukungnya. Ketika Candi Borobudur divonis sebagai monumen mati, maka UU 5/1992 dan PP 10/1993 sebenarnya tidak memperbolehkan BCB tersebut digunakan untuk kegiatan keagamaan. Kaum Budhis cukup kesulitan ketika hendak menjadikan Candi Borobudur untuk kegiatan mereka. Namun di sisi lain, karena BCB tersebut dipandang sebagai sumberdaya, pemerintah tak ragu untuk menjadikan BCB sebagai ‘mesin’ yang dapat menghasilkan uang, yakni melalui sektor pariwisata. Nilai kultural dan kesakralan Borobudur pun tenggelam di antara hiruk-pikuk pedagang asongan, tertimbun ratusan kakilima, dan samar tertutup hotel mewah yang dibangun pihak pengelola.

Pemerintah secara sepihak seringkali potong kompas untuk mentransformasikan BCB yang bernilai kultural tinggi menjadi sumberdaya ekonomi, tanpa mengindahkan nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan yang lain. Sebagai sebuah karya manusia, BCB bukanlah merupakan wujud yang mati, melainkan memiliki nilai-nilai tertentu dan mencerminkan gagasan dari masyarakat pendukungnya di masa lalu. Nilai-nilai tersebut merupakan modal karena dapat diambil hikmahnya untuk pegangan generasi-generasi penerusnya. Demikian pula ketika BCB itu pindah kepemilikan ke generasi berikutnya, maka pemaknaannya pun mengalami perubahan sesuai dengan konteks sosialnya. Jadi, letak sumberdaya bukan pada bendanya, tapi pada manusia yang memaknainya.

Dari pemahaman akan arti BCB tadi, menurut saya, pelestarian dan pemanfaatan BCB dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, mengembalikan kepada kondisi awal agar dapat diketahui nilai-nilai asli yang dikandung. Kedua, memperbaiki kondisi yang ada agar nilai-nilai kultural dan historisnya dapat diapresiasi oleh pengamat pada masa kini. Ketiga, menyiapkan setting baru agar dapat mengapresiasikan dirinya sesuai dengan jamannya.

Cara pertama dapat dikatakan sudah biasa dilakukan oleh pemerintah, terutama terhadap objek monumen mati seperti candi melalui proyek pemugaran. Sangat berbeda dengan cara pertama, kedua cara lainnya dapat dikatakan lebih sulit. Selain harus mempertahankan keaslian, cara kedua dan ketiga harus didahului dengan studi yang komprehensip untuk mengungkap terlebih dahulu nilai-nilai kultural dan historis serta kepentingan-kepentingan publik sekarang. Apabila kita benar-benar mau bercermin pada kasus Borobudur, Dieng, Plaosan, dan lain-lain, sebenarnya upaya pelestarian pemanfaatan BCB jauh akan lebih mudah. Sebelum upaya-upaya pelestarian dan pemanfaatan BCB dilakukan, semua pihak yang terkait (pemerintah, akademisi, dan masyarakat) hendaknya sama-sama memahami terlebih dahulu bahwa BCB bukanlah sumberdaya yang bisa diperlakukan sekehendak hati. Perspektif inilah yang diharapkan mampu mengakomodasi beragam kepentingan dalam pengelolaan BCB sehingga bisa bermanfaat bagi sebanyak mungkin pihak. katanya diakhir memberi apresiasi tentang acara rembug "Rembuk Masyarakat Budaya Kawasan Percandian Muarajambi".






Minggu, 29 Mei 2016

SERPIHAN RIWAYAT CINDUO MATO

Dikisahkan Oleh : 


Emral Djamal Datuk Rajo Mudo


Dewang Cando Ramowano, Dang Bagindo Rajo Mudo, Tuanku Berdarah Putih, adalah tokoh sejarah, panglima perang dan pernah jadi Daulat Rajo Alam Minangkabau.

Pada saat serangan bajak dan bajau Cina datang melanda Tanah Datar yang mengakibatkan Bundo Kanduang dan para mentri Basa Empat Balainya meninggalkan wilayah ini, karena dikuatirkan akibatnya dapat menghancurkan kerajaan Pagaruyung maka Pagaruyung diserahkan kepada Ampanglimo Parang Dang Bagindo Cindua Mato, Dewang Cando Ramowano yang menghadapi parang basosoh di Padang Gantiang, Tanah Datar.
Cindua Mato saat itu kewalahan menghadapi serangan musuh sehingga kemudian dapat ditawan Cina Kuantuang. Dengan tertawannya Cindua Mato, Pagaruyung menjadi kritis, Ulak Tanjuang Bungo pun menangis, Pusat Pulau Paco akan terbabat habis, sementara Pariangan Padang Panjang tidak punya inisiatif.
Berita tertawannya Cindua Mato sampai ke Ranah Sikalawi, kepada Tuanku Bagindo Rajo Mudo adik kandung Bundo Kanduang Puti Panjang Rambut, ayah Puti Reno Kemuning Mego yang berkedudukan di istana Sialang Koto Rukam, Ranah Sikalawi. Tuanku Bagindo Rajo Mudo lalu mengirim pasukan khusus untuk melepaskan kembali Dewang Cando Ramowano dari tawanan Cina Kuantuang.

Kondisi prihatin yang terjadi di Pagaruyung menyebabkan Cindua Mato kembali pulang ke Pagaruyung Minangkabau. Dan tak ada pilihan lain, mahkota yang ditinggalkan Dang Tuanku dengan istrinya, serta bersama Bundo Kandung yang meninggalkan istana, akhirnya dijunjungkan kepada Cindua Mato, oleh Pucuk Nagari Tuo Sungai Tarab yang juga menjadi mertuanya sendiri, yakni Tuan Titah Alam Minangkabau yang memegang Pucuk Kelarasan Koto Piliang di Sungai Tarab.
Pada mulanya Cindua Mato naik nobat dengan memangku gelar warisan Datuk Bandhaharo Putih sebagai Tuan Titah Dalam Alam, duduk bersama istri Puti Reno Marak Ranggo Dewi, salah seorang dari putri kembar Pucuk Nagari Sungai Tarab, Tuan Titah yang Tua. Sedangkan putri yang satu lagi yakni Puti Reno Marak Ranggowani dikawinkan dan duduk bersanding dengan Tuanku Rajo Buo, Rajo Adat Rajo Jauhari di Buanopuro.
Kemudian ternyata Cindua Mato punya beberapa orang istri dari daerah taklukan dan kekuasaannya disamping istrinya yang di Sungai Tarab juga ada di Bengkulu,Tanah Sangiang, dan Indrapura dan punya keturunan sampai sekarang. Cindua Mato wafat dan dikuburkan di Lunang yang setelah perang usai menyusul Bundo Kandung dan Dang Tuanku yang lebih dahulu berada di sana.