Jambi, CSMC -
Kamis (2/6). Berlokasi didepan Guess House Candi Muarajambi, pagi hingga siang,
puluhan warga kawasan candi Muarajambi berkumpul dan berdialog bersama Bupati,
Kepala Badan Pelestarian dan Cagar Budaya (BPCB), Kadis Bupdar Provinsi dan
Kabupaten serta Dewan Warisan Budaya Jambi (Jambi World Heritage).
Acara yang
bertajuk "Rembuk Masyarakat Budaya Kawasan Percandian Muarajambi" ini
bertujuan memfasilitasi penyampaian aspirasi warga lokal terkait percepatan
pemenuhan syarat World Heritage UNESCO.
Warga yang
berkumpul terdiri dari kepala-kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda
dan perempuan. Tampak juga para aktifis pariwisata dan pemerhati candi yang
datang dari kota Jambi.
Acara
berlangsung dengan khidmat karena antusiasnya warga menyampaikan berbagai hal.
Dimulai dengan Abuzar, Kepala Desa Muara Jambi. Ia mengatakan bahwa setengah
dari luas kawasan candi (3981 ha )meliputi desanya. Sektor pariwisata kini
menjadi harapan terbesar sumber penghidupan warga, karena pertanian dan
perkebunan sudah terhimpit.
Dalam acara
dialog ini bupati Muaro Jambi, Burhanuddin Mahir menanggapi semua keluhan warga
dengan berjanji akan menindaklanjuti keluhan dan aspirasi warga, baik dalam
masa akhir tugasnya maupun pada peltu Bupati yang akan mengambil alih tugasnya
di 19 Juli mendatang.
Menurut ,
Burhanuddin selama ini pemkab merasa kurang harmonis dengan BPCB karena
banyaknya ketidaksepahaman tentang pembangunan candi. "Luasan kawasan yang
3981 ha ditetapkan sepihak, tidak ada konsul dulu dengan pemkab. Ini saya yang
keberatan, kami bisa bangun apa kalau seluas itu ditetapkan,'' kata Burhan.
"Syukurlah
kepala BPCB sekarang sudah mengklarifikasi, bahwa luasan yang akan diajukan ke
Unesco tidak sebesar itu, hanya yang meliputi 8 candi yang sudah dipugar, jadi
kita masih bisa melakukan pembangunan untuk masyarakat, " tambahnya.
Sementara itu,
inisiator acara ini, Dewan Warisan Budaya Jambi, melalui ketuanya Ratna Dewi
menyampaikan bahwa salah satu tugas lembaganya adalah memastikan dan mengawal
proses percepatan serta kelengkapan persyaratan untuk diajukan kembali ke
Unesco.
"Kita
sudah melakukan pelacakan dimana splitnya dari tahun 2009. Alhamdulillah
sekarang mekanisme kedepannya sudah jelas, hari ini saja pak Bupati sudah
meng—SK kan tim ahli cagar budaya kabupaten. Semoga proses di tingkat kabupaten
cepat selesai dan akan kita tindak lanjuti di provinsi untuk kemudian ke
kementrian,'' ujarnya.
Namun tambah
Ratna, semua upaya yang dilakukan akan sia—sia jika tidak didukung oleh
masyarakat sekitar kawasan. Untuk mendapatkan dukungan, yang paling utama dan
penting adalah mengetahui, mengerti dan memahami aspirasi dan kebutuhan
masyarakat lokal. Disitulah pentingnya acara rembuk ini.
Sementara itu Arkeolog kawakan Kepala BPCB Jambi Muahammad Ramli,
mendukung acara "Rembuk Masyarakat Budaya Kawasan Percandian
Muarajambi" tersebut, namun kawasan candi Muaro Jambi dalam menuju World
Heritage UNESCO, mesti butuh kajian kajian dalam berbagai aspek, tidak menjadi
World Heritage pun kawasan Candi Muaro Jambi sudah di kenal dunia, imbuhnya,
yang terpenting adalah bagaimana pemanfaatan kawasan percandian Muaro Jambi,
memberi kontribusi positif bagi semua pihak, terutama masyarakat setempat baik
sosial, ekonomi maupun pembanggunan kebudayaan, untuk itu dibutuhkan peran
serta semua pihak, terutama pemerintah daerah, mesti segera membuat perda
tentang kawasan percandian ini, yang berhak mengusulkan kawasan candi Muaro
jambi masuk menjadi World Heritage UNESCO, adalah pemerintah Kabupaten Muaro
Jambi dan Pemerintah Tingkat I Jambi, bukan BPCB Jambi, ada beberapa hal
penting yang mesti segera dilakukan antaranya : Mengukuhkan kawasan percandian Muarajambi sebagai Kawasan Cagar Budaya
nasional yang dilindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010., Menetapkan
kawasan budaya ini sama sebagai Kawasan Strategik Nasional berdasarkan
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, Menerbitkan payung
hukum bagi pelestarian kawasan percandian Muarajambi sebagai kawasan wisata
sejarah terpadu, menghentikan semua aktivitasnya yang mengancam kelestarian
situs dan merehabilitasi semua kerusakan yang telah terjadi.
Menurut M. Ali
Surakhman aktivis budaya, dalam
diskusi tersebut, sekitar 50 orang yang hadir punya hak yang sama untuk
mengisahkan pengalaman dan mengeluarkan gagasan seputar pelestarian dan
pemanfaatan BCB. Sebuah cermin besar diletakkan di arena diskusi. Cermin itu
dipakai sebagai media refleksi terkait dengan pengelolaan BCB selama ini. Apa
yang sudah dilakukan terhadap BCB? Mengapa pelestarian dan pemanfaatan BCB
selalu dipertentangkan dan seringkali berbuah konflik? Mengapa masih saja
terjadi sekat-sekat di antara pihak pengelola BCB? Mengapa masyarakat masih
kesulitan mengakses manfaat BCB? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu pun
mengalir begitu saja, keluar dari mulut praktisi, rekan-rekan LSM, dan para
ahli. Namun semua
peserta diskusi nampak terperangah ketika dihadapkan pada pertanyaan bodoh yang
tak sengaja terlontar hampir di akhir diskusi: apakah sebenarnya BCB itu?
Pertanyaan itu
sederhana. Tapi jadi aneh ketika para pakar dan praktisi pelestari BCB
mempunyai perspektif yang berlainan terhadap objek yang digelutinya. Perbedaan perspektif tersebut jelas akan berdampak
pada perlakuan kita pada BCB. Seperti contoh persoalan Jagad Jawa di
Borobudur, sengketa tanah di Situs Dieng, gardu pandang di Sangiran,
pengembangan pariwisata Candi Plaosan, revitalisasi Taman Sari, dan alih fungsi
Ambarukmo, merupakan beberapa cermin retak yang memperlihatkan betapa perbedaan
perspektif itu telah menimbulkan kebingungan-kebingungan para pihak yang
terkait dengan pengelolaan BCB.
Selama ini pemerintah
dan sebagian besar dari kita memandang BCB sebagai sumberdaya. Layaknya
sumberdaya alam, BCB pun bisa dieksploitasi untuk berbagai kepentingan. Di
dalam UU 5/1992 tentang BCB memang disebutkan bahwa BCB yang merupakan benda
buatan manusia yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan dapat dimanfaatakan untuk kepentingan agama,
sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Dengan begitu
menjadi jelas, bahwa BCB adalah sebuah entitas atau wujud yang diperlakukan
betul-betul sebagai ‘benda mati’.
Realitas itu ternyata
sangat berbeda dengan pemahaman sebagian besar peserta diskusi. Mereka memahami
BCB lebih sebagai sebuah simbol yang memiliki ragam makna ketimbang hanya
sebagai benda mati semata. Selain BCB itu memiliki nilai sejarah dan kultural
yang melekat pada dirinya, ia juga selalu dimaknai berbeda dari generasi ke
generasi, karena pada hakekatnya BCB adalah sebuah warisan budaya. Bahkan dalam
satu generasi, makna tersebut bisa sangat beragam. Di sinilah ironisnya. Di
dalam hati para pihak mengakui bahwa BCB itu kaya makna, namun dalam prakteknya
mereka tak menyadari bahwa BCB tersebut telah dieksploitasi untuk
kepentingan-kepentingan ekonomi semata.
Borobudur, misalnya,
diperlakukan pemerintah sebagai monumen mati (dead monument) dalam
pengertian bahwa BCB tersebut telah ditinggalkan oleh pembuat dan masyarakat
pendukungnya. Ketika Candi Borobudur divonis sebagai monumen mati, maka UU
5/1992 dan PP 10/1993 sebenarnya tidak memperbolehkan BCB tersebut digunakan
untuk kegiatan keagamaan. Kaum Budhis cukup kesulitan ketika hendak menjadikan
Candi Borobudur untuk kegiatan mereka. Namun di sisi lain, karena BCB tersebut
dipandang sebagai sumberdaya, pemerintah tak ragu untuk menjadikan BCB sebagai
‘mesin’ yang dapat menghasilkan uang, yakni melalui sektor pariwisata. Nilai
kultural dan kesakralan Borobudur pun tenggelam di antara hiruk-pikuk pedagang
asongan, tertimbun ratusan kakilima, dan samar tertutup hotel mewah yang
dibangun pihak pengelola.
Pemerintah secara sepihak seringkali potong kompas untuk mentransformasikan
BCB yang bernilai kultural tinggi menjadi sumberdaya ekonomi, tanpa
mengindahkan nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan yang lain. Sebagai
sebuah karya manusia, BCB bukanlah merupakan wujud yang mati, melainkan
memiliki nilai-nilai tertentu dan mencerminkan gagasan dari masyarakat
pendukungnya di masa lalu. Nilai-nilai tersebut merupakan modal karena dapat
diambil hikmahnya untuk pegangan generasi-generasi penerusnya. Demikian pula
ketika BCB itu pindah kepemilikan ke generasi berikutnya, maka pemaknaannya pun
mengalami perubahan sesuai dengan konteks sosialnya. Jadi, letak sumberdaya
bukan pada bendanya, tapi pada manusia yang memaknainya.
Dari pemahaman akan arti BCB tadi, menurut saya,
pelestarian dan pemanfaatan BCB dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama,
mengembalikan kepada kondisi awal agar dapat diketahui nilai-nilai asli yang
dikandung. Kedua, memperbaiki kondisi yang ada agar nilai-nilai kultural dan
historisnya dapat diapresiasi oleh pengamat pada masa kini. Ketiga, menyiapkan setting
baru agar dapat mengapresiasikan dirinya sesuai dengan jamannya.
Cara pertama dapat dikatakan sudah biasa dilakukan
oleh pemerintah, terutama terhadap objek monumen mati seperti candi melalui
proyek pemugaran. Sangat berbeda dengan cara pertama, kedua cara lainnya dapat
dikatakan lebih sulit. Selain harus mempertahankan keaslian, cara kedua dan
ketiga harus didahului dengan studi yang komprehensip untuk mengungkap terlebih
dahulu nilai-nilai kultural dan historis serta kepentingan-kepentingan publik
sekarang. Apabila kita benar-benar mau bercermin pada kasus Borobudur, Dieng,
Plaosan, dan lain-lain, sebenarnya upaya pelestarian pemanfaatan BCB jauh akan
lebih mudah. Sebelum upaya-upaya pelestarian dan pemanfaatan BCB dilakukan,
semua pihak yang terkait (pemerintah, akademisi, dan masyarakat) hendaknya
sama-sama memahami terlebih dahulu bahwa BCB bukanlah sumberdaya yang bisa
diperlakukan sekehendak hati. Perspektif inilah yang diharapkan mampu
mengakomodasi beragam kepentingan dalam pengelolaan BCB sehingga bisa
bermanfaat bagi sebanyak mungkin pihak. katanya diakhir memberi apresiasi tentang acara rembug "Rembuk Masyarakat Budaya Kawasan
Percandian Muarajambi".