LATAR BELAKANG
Sebagian pengkaji sejarah Kerinci
menyatakan perjanjian Sitinjau Laut antara Kerinci, Indrapura dan Jambi
diadakan pada tahun 1560 H. Jika merujuk kepada Tembo Kerinci kode TK. 140 yang
disimpan oleh Depati Mudo Dusun Kemantan Darat, ada disebut tahun 1022 H atau
tahun 1613/1614 M. Sebagian lagi pengkaji sejarah Kerinci
'"menafsirkan" bahwa tahun itu adalah tahun terjadinya perjanjian
Sitinjau Laut.
Salah satu pengkaji sejarah yang berpegang
bahwa Perjanjian Sitinjau Laut diadakan pada tahun 1022 H adalah Bapak Iskandar
Zakaria, dimana penafsiran atas naskah TK. 140 ditulis dalam bukunya
"Tembo Sakti Alam Kerinci" dan dikemudian hari pendapat beliau
tersebut banyak diikuti oleh para pengkaji lain. Apakah betul penafsiran bahwa Perjanjian
Sitinjau Laut diadakan pada tahun 1022 H, atau tahun 1613/1614? Mana yang
benar, atau mendekati kebenaran? Mengapa hal ini menjadi penting? Adalah sebuah
keniscayaan bahwa sejarah mesti kita luruskan dan bisa mengungkap salah satu
frasa sejarah penting Kerinci.
Jika kita
mempelajari dengan seksama, TK. 140 mengisyaratkan banyak hal, hadirnya Sultan
Gulemat di Kerinci, konflik di Indrapura dan berdirinya Kerajaan Muko-muko,
terlibatnya VOC dan EIC dalam konflik tersebut dan berdampak terbentuknya
persekutuan-persekutuan adat beberapa dusun di Kerinci, Serampas dan Sungai
Tnang. Khusus yang terakhir, apakah konflik tersebut juga mempengaruhi politik
adat di Kerinci Hilir khususnya, yakni terbentuknya federasi pemerintahan adat
Pamuncak Nan Tigo Kaum?.
Untuk memudahkan, saya lampirkan Tembo Kerinci kode TK.
140. Disimpan oleh Depati Muda/Raja Muda Dusun Kemantan Darat. Surat bertulisan
Melayu pada kertas, bunyinya: “ Surat
akan jadi ingatan Kiai Dipati Raja Muda (Pangeran?). Wakatibuhu Paduka Seri
Sultan Muhammad Syah Johan Berdaulat Zille illahi fi’l’alam.”
Diperbuat surat ini di Inderapura pada bulan Ramadan 23 sanah 12(4?)6 demikianlah supaya ma’lum segala tuwan yang melihat surat ini.
Fasal pada menyatakan
patuturan dan pakaunan Yang dipertuan Inderapura dengan Kerinci. Bahwa pada
awalnya adalah Yang dipertuan Berdarah Putih tetap/ di atas takhta Kerajaan
pada negeri Jayapura ujung tanah Pagaruyung, serambi ‘alam Minangkabau,
memerintahkan sekalian daerah Pesisir/ Barat. Pada suatu hari maka datanglah
Datuk Permi Diwasa (?) dari Tapan hendak mengadap duli Yang dipertuan. Titah
Yang dipertuan: “Hendaklah/ segera sia mari,”. Maka Datuk Permi Diwasa segera
datang. Maka ditegur Yang dipertuan: “Apa khabar Datuk Permi Diwasa.” Sembah
Permi Diwasa: “Patik/ bertemu dengan seorang manusia muara? utan sebelah Gunung
Barisan ini, dia hendak mengadap duli Yang dipertuan. Adalah dia serta/ dengan
patik ini, jika jadi……………………..panggil akan dia. Jika tidak patut pekerjaan
patik itu, diharapkan Yang dipertuan empunya kelimpahan memberi ampun di atas
batu kepala patik yang bebal ini, supaya segera patik nyehkan dia dari sini.”/
Titah Yang dipertuan: ”Panggil akan dia segera mari” Setelah itu maka orang
itupun datang. Titah Yang dipertuan: ”Apa namamu dan dari/ mana kamu dantang?”
Jawabnya: “Aku datang dari sebelah Gunung Barisan nama Kurinci, nama aku Raja
Berkilat, dusanak aku Raja Bakawia.”/ Titah Yangdipertuan: ”Adakah negeri di
sebelah Gunung Barisan ini?” Jawab Raja Berkilat:”Ada, Yang dipertuan.” Titah
Yang dipertuan: ”Kalau begitu, marilah/ kita membuat sumpah setio supaya negeri
kamu itu dengan negeri aku ini menjadi satu.” Jawab Raja Berkilat itu: “Tidak
aku berani/ membuat sumpah setio dengan Yang dipertuan, karena aku ini suruhan
orang. Adalah pertuanan aku, bergelar Raja Muda, pancarannya daripada tuan/
Perpatih S batang dari Minangkabau. Jika Yang dipertuan hendak bersumpah
bersetiu, dengan beliau itulah” Maka Raja Berkilatpuan kembali/ ke Kerinci
membawa khabar kepada Raja Muda. Maka berpatutanlah mufakat itu. Maka Raja
Berkilatpuan merambah jalan yang semak, mengabung/ batang yang terlintang,
merateh onang yang bejarahit dari Kerinci ke Dayapura, di istana Taluk Air
Manis. Maka Yang dipertuan naik dari/ Japura, Raja Muda naik dari Kerinci, maka
bertemulah di atas Bukit Peninjau Laut. Diperbuatlah balai panjang dua belas,
yaitu/ dua belas hasta. Maka dipotonglah kerbau putih tengah dua, yaitu beranak
dalam. . Dipertiga Dipertigalah kepeng yang sekepeng, diaru darah kerbau,/
dimaka dagingnya, nyawanya dipersembahkan. Kelu Gunung2 Yang dipertuan, kelu
laut2 dupati, sedalam laut setinggi langit, nan tidak/ lapuk di ujan, nan tidak
lakang di panas. Siapalah orang yang bersumpah? Raja Muda di Kerinci Tinggi,
Dupati Rantau Telang di Kerinci/ Rendah, Siapalah yang mengarang sumpah setio?
Ialah Pangeran Kebaru Di bukit, datang dari Jambi. Jadi empatlah orang yang
bersumpah:/ Pertama Yangdipertuan Berdarah Putih, kedua Raja Muda, ketiga
Dipati Rantau Telang, keempat Pangeran Kebaru Di bukit. Maka jadi/ lah tanah
Kerinci tanah menang, yaitu tanah pertemuan raja/ antara Sultan Jambi dengan
Sultan Inderapura, Jika mengadapa/ ia ke hilir jadilah beraja ke Jambi. Jika
mengadap ia ke barat, ialah ke tanah Inderapura. Akan kepeng sekepeng dipertiga
itu:/ sepertiganya ke pesisir balik bukit, sepertiganya ke Kubang Sungai Pagu,
sepertiganya tinggal di Kerinci. Maka diguntinglah rambut/ Yang dipertuan
Berdarah Putih, tinggal di Kerinci ganti batang tubuh Yang dipertuan. Dan keris
malila mengaru karang setio/ yaitu Malila Panikam Batu, tatkala Yang dipertuan
naik ke tanah daratan di Pulau Langka Puri, dari Gunung Gemala Rampah jadilah
keris/ itu lantak tempat bergantung oleh Yang dipertuan, itupun tinggal di
Kerinci akan ganti tulang belakang Yang dipertuan:/ sarungnya kembali ke
Jaya-pura. Dan mangkuk tempat mengarang setio tinggal di Kerinci akan ganti
mulut Yang dipertuan./ Akan Raja Berkilat itu, diberilah karunia akan dia jadi
Pemangku Sukarami Hitam, karena tidak mengubah kata/ Raja Muda pertuanannya.
Apalah pekerjaannya? Jalan semak dirambah, batang melintang dikabung. Jadi
wa’adlah/ perjanjian itu sekiannya hendaklah dipagangkan dan diingatkan anak
cucu kami.. Barang siapa mengubahkan/ dikutuk Allah dikutuk Rasulullah dan
Kur'an tiga puluh juz, dikutuk karang setio, dimakan biso/ kawi, anak dikandung
jadi batu padi ditanam lalang tumbuh. /Kisah Yang dipertuan Sultan Permansyah
tatkala di atas kerajaan adalah masa itu sudah pindah dari Taluk Air Manis/
kepada istana Muara Betung dan negeri Jayapura telah bertukar namanya
Inderapura. Masa itu adalah seorang anak raja/dari Inderapura itu bernama
Sultan Galumat. Kemudian dari pada kerajaannya telah dibuang oleh rapat
menteri/ sebab tidak tertahan oleh isi negeri daripada sangat gagah dan perkasa
Sultan Galumat itu di/ kira2kan orang tidak kurang di dalam empat lima hari
seorang manusia mati dibunuhnya. Maka Baginda/ itu sampailah ke Kerinci pada
sumah Dupati Raja Muda itu dan dipeliharanyalah seperti patut oleh Raja Muda/ itu. Dalam
antara itu maka adalah Sultan Galumat berbuat taksir pula, jadi hamillah
perempuan yang memelihara makannya. Kemudian maka dinikahnya, adalah
sekira-kira sampar mad, maka lahirlah anak daripada perempan itu laki2 yang
tiada berlainan dengan/ rupa bapanya, di belakang Sultan Galumat telah turun ke
Palembang. Setelah sampai usia anak Sultan Galumat itu kira2 enam/ tahun, maka
iapuan berdirilah menjadi raja Muda pula. Maka tersebut pula ihwal negeri
Inderapura itu. Dengan takdir/ Allah ta’ala maka datanglah perang, jadi selisih
di antara Yang dipertuan Sultan Permansyah dengan Kempani Walanda. Telah/
sampailah tiga tahuan berperang itu, maka Yang dipertuan Sultan Permansyah
undurlah ke Batayan pada kampung yang empat/langgam, serta Yang dipertuan pun
teringatlah akan sumpah setia yang diperbuat nenek moyang di atas Bukit Tinjau
Laut./ Maka menyuruhlah Yang dipertuan ke Kerinci. Setelah itu maka turunlah
Raja Muda itu duduk pada negeri Inderapura sembilan bulan sebelas hari pada
tanah Batayan kampung yang/ empat langgam. Dengan takdir Allah ta’ala
berhentilah peperangan itu dan amanlah negeri. Maka Yang dipertuan membaharu
sumpah setio dengan Raja Muda/ itu pada hari Arba’ di atas Pulau Persumpahan,
tatkala maniti di balakang buaya kumbang di kanan dimudiknya pohon telang
kuning, dihilirnya/ kubangan batu berduri, didaratnya pasir genting Dusun Pasir
di bawah nibung ditaku raja, supaya jadi kenyataanlah negeri Inderapura/ dangan
Kerinci jadi satu. Akan Sengada tuha hulu balang itu, dibawalah serata
bersumpah setio serata dikurnia memakai gelar Raja Simpang Bumi Berdarah/ Putih,
sebab daripada sangat kasih Raja Muda itu, terlebih redlanya Yang dipertuan pun
sangat kasih pula akan Sengada itu karena yakinnya/ memeliharakan anak Yang
dipertuan Puteri Jilan serta diberilah kurnia sapucuk bedil, sebilah keris,
suatu momongan serta kepeng tembaga/ kalung Puteri Jilan itu. Jadi kenyataan
dia sangat berani akan jadi pagar parit Raja Muda. Dan tatkala itu bertambahlah
gelar Raja Muda itu/ Baginda Raja Muda. Dengan itu dinyatakan asal-asal
kedatangannya dari Inderapura turun dari Minangkabau. Yang dipertuan Sultan
Permansyah dengan/ Baginda Raja Muda membaharui sumpah setio di atas Pulau
Persumpahan pada hari Arba’ dua belas hari bulan Zulhijjah sanah 1022 (?)
wallahu a’lam.
Beradasar Ranji
Tinggi Kerajaan Indrapura. Peristiwa persumpahan Karang Setia terjadi pada tahun 1560 M,
yaitu menurut Ranji (Tambo Tinggi) Indrapura yang tertulis dalam huruf Arab,
Bahasa Melayu, yang ditranskripsikan sebagai berikut :
1. Sultan Kerajaan Indrapura, Sultan Gegar Alamsyah
Tuanku Nan Berdarah Putih, yang bermakam di Kampung Gobah Palukan Hilir
Indrapura, Permaisurinya bernama Raja Perempuan Putri Siah Bintang Purnama.
2. Pangeran Temenggung dari Muara Besumai, Pucuk Jambi
Sembilan Lurah.
3. Rajo Mudo Pancardat, Dipati Empat-Delapan Helai Kain,
Punggawa Raja, Pegawai Jenang, Suluh Bendang Alam Kurinci.Perjanjian ini,
dilaksanakan dan bertempat di Bukit Sitinjau Laut, memotong kerbau tengah dua,
mengacau darah, menanam tanduk dan melapah daging, membuat sumpah Karang Setia
di Balairung Sari. Yang kelak menjadi lambang adat bagi pertemuan segi tiga
ini. Balai Bergonjong Tiga tersebut terdiri dari:
1. Satu Gonjong dari Indrapura, beratap Ijuk.
2. Satu Gonjong dari Jambi, beratap Daun Sikai.
3. Satu Gonjong dari Kerinci, beratap Kayu Sebagi.
Isi perjanjian itu adalah sebagai berikut : “ Isi Karang Setia Gunung yang memuncak
tinggi, Lurah yang dalam, dan segala apa yang ada di dalamnya, adalah kepunyaan
milik Kerajaan Indrapura.
Laut yang berdebur, pesisir yang panjang, adalah kepunyaan Raja Mudo Pancardat Alam Kerinci. Dan apabila hilang dan tersesat rakit Yang Di pertuan Kerajaan Indrapura ke gunung yang memuncak, hilang bercari terbenam diselami tertimbun digali, begitu juga apabila hanyut dan hilang rakit Rajo Mudo Pancardat Dipati Empat Helai Kain, Pegawai Raja, Pengawal Jenang, Suluh Bendang Alam Kurinci, hanyut dipintasi, terbenam diselami, hilang dicari, dan tertimbun dikekas, terbujur ke dalam laut diselami.Dan apabila musuh datang dari gunung Rakit Alam Kerinci yang menghadapinya, dan apabila musuh (bajau) datang dari laut, rakit Kerajaan Sultan Indrapura menghadapinya Apabila musuh datang dari dalam, dari tengah, sama di kepung. Yang uang kepeng sekepeng dibagi tiga.
Sepertiga, kembali ke Indrapura menjadi Undang dan Adat. Sepertiga, jatuh ke Jambi menjadi Teliti.Sepertiga lagi tinggal di Alam Kerinci menjadi Sako.Demikianlah Karang Setia ini, turun temurun tidak boleh di mungkiri. Adapun rakit dan Orang Besar Rajo Mudo Pancardat, Dipati Empat-Delapan Helai Kain, Pegawai Rajo, Pegawai Jenang, Suluh Bendang Alam Kurinci, dan Pangeran Tumenggung dari Pucuk Jambi Sembilan Lurah, Muaro Besumai, sampai kepado ahli warisnya, BERSUMPAH SETIA kepada Daulat Sultan Kerajaan Indrapura sampai kepada ahli warisnya turun temurun.
Dan apabila masuk ke Alam
Kerinci, tempat tepatan peristrahatannya adalah berkedudukan di Dusun Rawang,
Sungai Penuh.
HASIL PEMBAHASAN
Pada intinya kita mengkaji periodesasi
perjanjian ini dilaksanakan. Ada
sebagian pengkaji sejarah Kerinci yang menyatakan perjanjian pada tahun 1022 H
atau 1613/1614 M. Dasarnya adalah pada naskah TK. 140 tsb mencantumkan angka
tersebut. Semestinya kita lebih cermat "menafsirkan". Menurut saya,
itu bukan tahun kejadian perjanjian yang pertama. Tapi ada pembaharuan sumpah
pada tahun 1022 H tsb.
Kemudian
jika kita mengkaji dengan seksama dan mengacu kepada beberapa kejadian sejarah
di Indrapura dan Muko-muko, sebenarnya dari naskah ini kita bisa jadikan dasar
berpijak. Mari kita kembangkan pemkiran kaji sejarah lebih luas, sehingga tidak
terjebak pada sejarah yang dibangun atas asumsi.
Rujukan, Islam sudah berkembang di Kerinci awal abad 13,
menurut Thomas W Arnold, 1985:323, Dalam penelitian Arkenas tentang naskah
naskah dari Kerinci, 1994, objek kajian naskah raja raja yang bertulis diatas
kain, dengan bahasa arab, disimpilkan oleh para peneliti, di Kerinci,
khususnya di 5 dusun sudah berkembang tulisan arab, masuknya huruf arab di
nusantara di yakini oleh para ahli mulai abad ke 7 sampai 13, yang dibawa oleh
pedagang Arab, rujukan (De Graaf, 1989:18) jadi kalau kita hubungakan ke topik
diatas, saya sependapat itu pembaharuan dari perjanjian Sitinjau Laut, dan Siak
Lengih secara individu tidak hadir di dalam perjanjian tersebut, sekedar
tambahan, NUUTT pada abad 14, naskah incung jauh di atas itu, pada periode ini
masyarakat sudah mulai meninggalkan tulisan Incung dan sudah mulai menulis
dengan huruf Arab.
Dan pemikiran awamnya di tilik dengan
yang terjadi sekarang, ninek moyang dahulu sudah sangat cerdas dalam hal
manajemen pengarsipan, jadi kita jangan pernah berpikir bahwa naskah dan pusaka
itu dari satu periode, tapi disimpan secara turun menuirun, kalau tidak kita
tidak akan pernah ketemu pusaka itu sekarang !, jadi ada perasaan geli, kalau
ada kita yang berpikir naskah dan pusaka itu, berasal dari periode yang sama.
Perlu diketahui bahwa naskah tersebut dibuat di
Inderapura dan merupakan naskah kembar dimana dibuat rangkap dua, yakni satu
disimpan di Mendapo Kemantan (TK-140) dan satu lagi disimpan oleh Inderapura.
Naskah yang di inderapura tersebut pernah diperlihatkan kepada Belanda dan
disalin ulang dimana bagian awal naskah tersebut dipublikasikan dalam buku
tulisan E.A Klerk (1895). Kemudian dicetak ulang dalam buku 'Nota betreffende
de afdeeling Koerintji' (1915).
Naskah TK. 140 ternyata dari penelusuran Iwan Setio ada dua. Satu pertinggal di Indrapura, dan satu
dibawa ke Kerinci. Informasi ini ditemukan dalam tulisan E. A Klerks tahun 1897, " Geographisch en ethnographisch opstel
over de landschapen Korintji, Serampas and Sungai Tenang. Penelusuran E.A
Klerks ini adalah untuk kepentingan Belanda dalam rangka menduduki Pulau
Sumatra secara keseluruhan dan untuk melihat kemungkinan pembukaan jalur kereta
api yang akan membawa batubara dari Pantai Barat ke Pantai Timur. Jadi, jauh
sebelum Perang Kerinci tahun 1903, Belanda sudah tahu perihal Kerinci. Pada
tahun 1800 Belanda sudah hadir di Indrapura (pada abad 17-18 M, perusahaan
dagang Belanda, VOC sudah hadir di Indrapura). Belanda sudah tahu bahwa banyak
orang Kerinci yang berdagang ke Indrapura, atau transit di Indrapura.
Dikemudian hari, tulisan E. A. Klerks inilah yang dipakai Belanda untuk mempelajari Kerinci sebagai persiapan Ekspedis masuk ke Kerinci sampai meletusnya Perang Kerinci tahun 1903.
Ternyata pula pertinggalan naskah TK. 140 untuk pihak
Indrapura hilang, atau tidak dikembalikan Belanda, mungkin digunakan saat
penyusunan naskah E. A Klerks di atas. Akibatnya sampai saat ini pihak
Indrapura tidak memiliki referensi yang tegas soal Perjanjian Sitinjau Laut.
Dan parahnya lagi, banyak sejarawan, budayawan, ataupun peminat sejarah yang
mengkaji Kerajaan Indrapura mengatakan seolah-olah Kerinci adalah bawahannya
Indrapura atau bertendensi ke sana. Menyedihkan, ternyata "ribu
ratus" yang banyak "mengamini" kaji yang sudah salah. Kerinci
dan Indrapura hidup berdampingan sebagai "saudara" sejak ratusan
tahun lalu.
Kejadian Perjanjian Sitinjau Laut adalah seperti yang
diceritakan pada paragraf dua TK. 140 tersebut. Saat itu negeri Indrapura belum
bernama Indrapura, tapi masih bernama Air Pura. Disebutkan bahwa Yang Dipertuan
Hitam Berdarah Putih menerima kedatangan Raja Bakilat yang membawa amanat dari
Raja Muda yang memiliki "pancaran" dari Parpatih Sabatang. Sampai
pada akhirnya dibuatlah Perjanjian Sitnjau Laut tersebut. Kita tidak tahu
persisnya kapan peristiwa ini terjadi, tapi jika ditelusuri dari ranji standar
para raja/ sultan Indrapura, Yang Dipertuan Hitam Berdarah Putih atau Sultan
Permansyah bertahta dimulai tahun 1560 M (mohon koreksi kalau ada yang salah).
Inilah tahun yang dipakai para pengkaji sejarah sebagai tahun dilaksankannya
Perianjian Sitinjau Laut. Jika memang perjanjian tersebut dihadiri oleh
Pangeran Temenggung Kabul During bukit, kita bisa juga menelusuri kapan beliau
wujud dan siapa raja/ sultan Jambi yang berkuasa saat itu.
Perjanjian Setinjau Laut th 1560 M belum tentu benar
karena tidak ditulis oleh pelaku sejarah itu sendiri atau ditulis oleh orang yg
menyaksikannya...tidak seperti Negarakretagama yg penulisnya Mpu Prapanca yg
hidup dan menyaksikan peristiwa2 kerajaan Majapahit...apalagi Siak Lengih
dikatakan tukang baca do'a persumpahan itu sedang Siak Lengih tidak hidup di
periode tsb karena ia setangkup dg periode Dt. Parpatih nan Sabatang.
Perihal berita Perjanjian Sitinjau Laut
seperti yang diceritakan dalam TK. 140 ini pun adalah generasi di bawah yang
menceritakan, yakni Sultan Muhammadsyah pada tahun 1831 M dengan menulis surat
sebagai ingatan bagi generasi penerus Raja Muda dan tentu saja untuk semua
orang Kerinci zaman itu.
Analisa 3 dan 4). Paragraf ketiga TK. 140 menceritakan:
- Sultan Permansyah memindahkan pusat kerajaannya dari Teluk Air Manis ke Istana Muaro Betung dan negeri Dayapura (Air Pura?) telah berganti menjadi Indrapura.
- Ada tokoh Sultan Galumat yang tindak tanduknya meresahkan negeri ( satu hari bisa membunuh 4-5 orang) dan dibuang oleh rapat menteri. Dia tampaknya dititipkan kepada Raja Muda di Kerinci. Kemudian menikahi orang yang mengurus keperluannya (pembantu mungkin). Dalam jangka waktu "sampar mad" lahir anak laki-laki yang sangat mirip dengan bapaknya (Sultan Galumat). Dikemudian hari Sultan Galumat pergi ke Palembang. Setelah anak itu berusia 6 tahun, ia berdiri (dilantik secara adat) sebagai Raja Muda. Kemudian diberitakan perang terjadi perselisihan Sultan Permansyah dengan Kompeny Belanda (VOC). Perangbberlangsung selama tiga tahun. Sultan terdesak dan mengundurkan diri ke Batayan pada Kampung yang Empat Langgam. Dia teringat akan Perjanjian Sitinjau Laut dan mengirim utusan ke Kerinci meminta bantuan kepada Raja Muda (tampaknya Sultan Gulemat yang begelar Raja Muda?).
Kemudian Raja Muda datang ke Indrapura, tinggal di
Betayan Kampung yang Empat Langgam selama 9 bulan 11 hari. Perang selesai,
negeri aman.
Oleh sebab itu Yang Dipertuan "memperbaharui" sumpah setia dengan Raja Muda pada hari Rabu di atas Pulau Persumpahan supayannegeri Indrapura dengan Kerinci jadi satu. Akan " Sengada Tua" (hulu balang) dibawa serta bersumpah setia, serta diberi gelar Raja Simpang Bumi Berdarah Putih (salah satu sko di Semurup dan Siulak Gedang?). Terlebih ridlonya (senangnya) Yang Dipertuan karena begitu yakinnya "Sangada/ Sangada (siapa tokoh ini? apakah Sangada Tua yang diberi gelar Raja Simpang Bumi Berdarah Putih tersebut?) itu memelihara anak Yang Dipertuan Putri Jilan (Sultan Galumat kah maksudnya?), maka diberilah sepucuk bedil, sebilah keris, suatu momongan (meriam kecil?) serta kepeng tembaga dan atau kalung Putri Jilan. Sangat nyata keberaniannya menjadi "parit pagar" atau penjaga Raja Muda. Raja Muda bertambah gelarnya menjadi Baginda Raja Muda. Dengan itu dinyatakan asal-usul kedatangannya dari Indrapura turun dari Minangkabau. Sultan Permansyah dengan Baginda Raja Muda memperbaharui Sumpah Setia (memperbaharui Perjanjian Sitinjau Laut) di atas Pulau Persumpahan di hari Rabu, 12 Zulhijah 1022 H = 1613/1614 M (analisis selanjutnya mengkoreksi kepada tahun 1722 M lebih kurang).
Untuk naskah TK-140 tersebut dapat diaktegorikan
mengandung dua bagian naskah... dimana naskah pertama menceritakan peristiwa
Persumpahan Sitinjau Laut yang PERTAMA... kapan peristiwa tersebut tidak ada
tanggal yang disebutkan..kita hanya bisa menggali dari periodesasi tokoh2
utama yang terlibat... terutama dari Sultan Inderapura yaitu Yang Dipertuan
Berdarah Putih (merujuk ke tahun 1560an).
Sedangkan bagian kedua menceritakan tentang Sultan Galumat dimana anaknya di Kerinci kemudian menjadi Raja Muda dan MEMPERBAHARUI persumpahan dengan Sultan Permansyah di 'Pulau Persumpahan' dekat Muaro Sakai pada tahun 1022(?) H.
Jadi TK-140 menceritakan dua peristiwa persumpahan, yakni Persumpahan Sitinjau Laut dan Pembaharuan persumpahan di Pulau Persumpahan.
Sedangkan bagian kedua menceritakan tentang Sultan Galumat dimana anaknya di Kerinci kemudian menjadi Raja Muda dan MEMPERBAHARUI persumpahan dengan Sultan Permansyah di 'Pulau Persumpahan' dekat Muaro Sakai pada tahun 1022(?) H.
Jadi TK-140 menceritakan dua peristiwa persumpahan, yakni Persumpahan Sitinjau Laut dan Pembaharuan persumpahan di Pulau Persumpahan.
Mengapa saya tekankan pada angka tahun 1022(?) H
tersebut?.... karena ada dua hal yang meragukan seperti yang telah saya
sampaikan diatas. Tahun 1022 H tersebut kemungkinan adalah SALAH... apakah
kesalahan Penyalin sewaktu transliterasi (alih aksara) ataupun karena kesalahan
Penulis naskah yang juga tidak merasa pasti sehingga ditulis 'wallahu'alam'.
Menurut ahli Incung Iwan Setio Seperti telah saya singgung sebelumnya, Sultan Galumat
meninggalkan Kerajaan Manjuto (nama versi Belanda) atau Kerajaan Anak Sungai
(versi Inggris) pada tahun 1714... dimana kemudian beliau menghilang yang dalam
laporan kolonial disebutkan menghimpun dukungan dari pedalaman termasuk ke
Kerinci (Lebih banyak ke Kerinci Hilir hingga Serampas dan Sungai Tenang).
tetapi usaha perlawanannya ini tidak berhasil sehingga tahun 1716 tidak pernah
munjul lagi di Muko-muko maupun Inderapura. Dari naskah TK-140 tersebut
diketahui bahwa sebenarnya setelah thn 1716 Sultan Galumat turun ke Kerinci
ditempat rumah Raja Muda (1) di Kemantan.... sampai akhirnya memiliki anak yang
setelah berumur 6 tahun menjadi Raja Muda (2) pula.
Jadi dari kronologis tersebut dapat dihitung sejak tahun
1716 ditambah usia Raja Muda (anak Sultan Galumat) diatas 6 tahun (Umur 6 tahun
adalah pengangkatan menjadi Raja Muda, sedangkan kapan Raja Muda tsb ke
Inderapura belum tentu pada usia tsb krn msh terlalu dini, kemungkinan sudah
agak remaja).
Kalau kita umpamakan saja Raja Muda tsb mmg berusia 6 Tahun ke Inderapura... maka hal itu terjadi thn 1722 M (1716 + 6). Nah Sultan Inderapura yang memerintah pada masa itu adalah Sultan Permansyah.... seperti yang diceritakan pada bagian awal naskah kedua pada TK_140 tsb.
HADIRKAH SIAK LENGIH DI PEMBAHARUAN PERJANJIAN SITINJAU
LAUT.
Menurut Pak Aulia Tasman seorang Profesor Universitas
Jambi, Siak Lengih hadir di perjanjian kedua ini, dan Siak Lengis tidak se
zaman dengan Datuk Parpatih Nan Sebatang, jauh se sudahnya.
Namun dibantah keras pakar adat
Kerinci, yang juga pernah menjadi peneliti di Leiden University Pak H. Alimin Dpt : “Saya bantah keterangan Siak Lengih
sebagai cicit Tuan Kadi Padang Ganting kerajaan Pagaruyung jelas larinya ia sebagai
tukang baca do'a persumpahan Bukit Setinjau Laut antara Yang Dipertuan Berdarah
Putih Pangeran Temenggung dengan Kerinci abad 16...ini keterangan bersumber
dari tulisan Latin piagam Sultan Muhammadsyah tahun. 1939 yg kertasnya berulang
– ulang saya pegang tidak semua tulisan sang Sultan Indrapura itu bisa
dibenarkan untuk jadi kutipan ilmiah. Siapa
Siak Lengis atau bahasa tambo Incung Siyak Langin nama lain Syech Samilullah
puluhan tambo tanduk Incung Kerinci menerang Siyak Langin ini keterangan
'Siyak' terbanyak di Kerinci...tambo tanduk Incung tidak menyebut Pagaruyung
tapi Pariyang Padang Panjang asal Puti Dayang Barani isteri Siyak Langin nikah
di Sungai Kunyit Koto Pandan.
Puti Dayang Barani adalah kakak Puti
Unduk Pinang Masak dan Parpatih Sabatang akhir abad 13...ketuaan naskah tanduk
Incung belum ada uji Carbon dating termasuk penelitian Uli Kozok jadi Siyak
Langin bukan cicit Tuan Kadi Padang Ganting.
Menurut Iwan Setio, Perihal sumber
naskah tanduk incoung tersebut perlu dibedakan kajian menelusuri usia media
naskah dan kajian isi/kandungan naskah karena saling berkaitan. Naskah tanduk tersebut
sudah di salin berulangkali sehingga narasi pengantarnya telah disesuaikan oleh
penulisnya, baik dalam penyebutan 'anak cucung', 'nenek' ataupun
'asalamuhalikum'. Bukti naskah tanduk sudah berulangkali disalin ulang dapat
dijumpai dalam tambo Kerinci ada beberapa naskah kembar berupa naskah incoung
pada tanduk yang disimpan oleh Depati yang sama dan isi naskahnya sangat mirip.
Bahkan ada naskah awal yang sudah rusak sehingga yang terbaca sebagian kecil,
kemudian ada salinannya yang juga pada tanduk dimana kondisinya lebih baik tapi
juga sudah tidak terbaca sebagian sehingga dibuat lagi salinannya pada media
kertas beraksara Melayu (ada 3 naskah, tanduk-tanduk-kertas, memuat isi yang
sama).
Begitu juga halnya dengan naskah tanduk beraksara incoung yang
menceritakan tutur Siyak Lengih. Naskah tanduk tersebut merupakan salinan
naskah sebelumnya yang sudah rusak, bukankah Voorhove banyak melaporkan tentang
kondisi naskah tanduk yang sudah hancur/pecah ataupun yang sudah tidak terbaca
lagi? belum lagi adanya naskah yang tidak ditunjukkan ke Voorhoeve oleh
pemegang naskah karena dianggap tidak perlu sebab kondisinya yang sudah rusak
parah.
Meskipun sudah berupa salinan... namun
isinya masih konsisten menyebutkan bahwa Siyak Lengih beristrikan Dayang
Baranai yang merupaka sepupu Perpatih Sebatang. Naskah tersebut tersebar di
berbagai dusun yang masih memiliki hubungan geneologis/keturunan Siyak Lengih. Point inilah yg perlu dicatat terkait
perihal periodesasi Siyak Lengih yg harus ditempatkan sejaman dengan Perpatih
Sebatang yakni wujud sekitar abad-14.
Menurut penulis, Islam sudah berkembang di Kerinci awal
abad 13, menurut Thomas W Arnold, 1985:323, Dalam penelitian Arkenas tentang
naskah naskah dari Kerinci, 1994, objek kajian naskah raja raja yang bertulis
diatas kain, dengan bahasa arab, disimpulkan oleh para peneliti, di Kerinci, khususnya di 5 dusun
sudah berkembang tulisan arab, masuknya huruf arab di nusantara di yakini oleh
para ahli mulai abad ke 7 sampai 13, yang dibawa oleh pedagang Arab, rujukan
(De Graaf, 1989:18) jadi kalau kita hubungakan ke topik diatas, saya sependapat
itu pembaharuan dari perjanjian Sitinjau Laut, dan Siak Lengih secara individu
tidak hadir di dalam perjanjian tersebut, sekedar tambahan, Naskah Undang
Undang Tanjung Tanah, pada abad 14, naskah incung jauh di atas itu, pada
periode ini masyarakat sudah mulai meninggalkan tulisan Incung dan sudah mulai
menulis dengan huruf Arab.
Dari Hasil pembahasan diatas ditarik kesimpulan bahwa
secara umum pembaharuan perjanjian Sitinjau Laut, antara Kerajaan Inderapura,
Kedepatian Kerinci, dan Kesultanan Jambi, disebabkan tidak lepas dari
perdagangan hulu dan hilir, faktor rempah, lada, emas, serta kebutuhan sandang, ini sebelum
adanya pengaruh VOC, sudah mulai mencari pengaruh, dari portugis, inggris
sampai Belanda.
Bahwasanya ada pendapat Prof. Aulia Tasman, yang
mengatakan siyak lengih hadir di dalam perjanjian yang baru, dan periodesasinya
sekitar abad 17 M dan 18 M, tidak berdasar, karena kajian sejarah adalah
mengkaji masa lalu, yang kita tidak hidup, mengalami kejadian di masa itu,
untuk itu membuktikan peristiwa sejarah mesti ada data, fakta, dan bukti, dalam
hal ini naskah incung adalah bukti yang tidak terbantahkan, karena sudah
disimpan sekian ratus tahun oleh kaum dan puak di Kerinci, dan juga tinggalan
tinggalan benda arkeologi tangible maupun intangible yang berhubungan dengan
peristiwa di masa itu, masyarakat Kerinci sangat beruntung bahwasanya benda
benda tersebut disimpan secara turun temurun. Kemudian mengkaji harus dipilah
berdasarkan hipotesis dan metodologinya, serta mencari perbandingan dan rujukan
dari peneliti lain.
Tutur atau tradisi lisan, legenda sah sah saja menjadi
sumber awal mengkaji, namun tidak bisa dipakai sebagai bukti akurat, karena
cerita rakyat bisa saja diceritakan berdasarkan imaginasi si penutur, saat dia
dibawa ke ranah sejarah mesti ada data, fakta dan bukti berupa tinggalan.
Menganalisa sejarah tidak bisa berdasarkan logika saja, tanpa bukti, fakta dan
data serta rujukan, saat pengkaji membawa hubungan emotional dan hanya
berdasarkan logika dia pribadi, ini sudah berbahaya, karena akan membuat
sejarah versi pribadi, dan terjadi pembelokan sejarah serta pengaburan sejarah.
Penulis Maihkincai.
Sumber ; Bopi Cassiaputra, pengkaji dan salah satu pakar
sejarah Kerinci,
Iwan Setio Pengkaji dan ahli analisis transkrip Incung,
Mamok Kincai Niang, admin grup Pencinta Adat Kerinci dan
pemerhati sejarah Kerinci,
Prof. Aulia Tasman Pengkaji Sejarah Kerinci,
Prof. Aulia Tasman Pengkaji Sejarah Kerinci,
H. Alimin Dpt, Tokoh adat Kerinci dan peneliti Kebudayaan
Kerinci,
M. Ali Surakhman, peneliti Kebudayaan Kerinci
Hafiful Hadi Suliensyar, Pengkaji Sejarah Kerinci
Dan berbagai sumber serta rujukan yang tidak dapat saya
tuliskan semua.
Catatan : Dilarang keras mengcopy mengunduh tanpa seizin penulis atau sumber yang tertulis, dan untuk menambah rujukan/pranala mesti menyebut sumber, diluar itu akan dikenakan UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15), UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42), UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29).