Sabtu, 22 Agustus 2020
Kamis, 09 Juli 2020
MENGUNGKAP!! RAHASIA BESI
Rabu, 08 Juli 2020
"PANGERAN H.UMAR MACAN GERILYA JAMBI “HILANG TAK DI CARI, MATI TAK DIKENANG”
Penuulis :
M.
Ali Surakhman
PERANG KERINCI TAHUN 1901 – 1903
Diperkirakan sejak masa
pengaruh Hindu-Budha, Kerinci telah mempunyai hubungan dengan daerah
sekitarnya. Perhubungan itu puncaknya pada abad 19 sekitar tahun 1815, ketika
Belanda berhasil menduduki Muko-Muko dan Indrapura. Belanda tertarik dan
berusaha untuk memasuki daerah Kerinci yang kaya akan hasil buminya. Belanda
berupaya mencari jalan ke Kerinci. Mula-mula pada tahun 1900 dari Muko-Muko
dikirim sepasukan Belanda mengadakan patroli di Bukit Setinjau Laut. Di puncak
Gunung Raya Belanda mendirikan sebuah pesanggrahan dan memasang satu tanda
sebagai peringatan kedatangan mereka.
Setelah diketahui adanya
Belanda akan menyerang Kerinci, maka rakyat Kerinci menjadi gempar dan marah,
karena orang Belanda yang datang itu dianggap kafir. Penduduk Kerinci 100%
penganut Islam, tentu kedatangan Belanda tidak disukai. Utusan Belanda dipimpin
oleh Imam Marusa dan Imam Mahdi antara
Lempur dan Lolo dicegat oleh para hulubalang Kerinci di bawah pimpinan Depati
Parbo dari Lolo dan Depati Agung di Lempur. Imam Marusa dan Imam Mahdi dibunuh
di tempat tersebut. Dengan alasan terbunuhnya utusan tersebut, Belanda bersiap
untuk menyerang Kerinci. Kedatangan mereka telah diketahui oleh seluruh
hulubalang di Kerinci yang telah mempersiapkan pertahanan untuk menyambut
kedatangan pasukan Belanda. Percegatan terjadi ketika hulubalang sebanyak lebih
kurang 18 orang mengadakan patroli ke Renah Manjuto. Kekuatan Belanda berjumlah
lebih kurang 300 orang. Pertempuran pertama di Renah Manjuto berkecamuk antara
hulubalang Kerinci dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Depati Parbo.
Benteng pertahanan Depati Parbo terletak di sebelah Selatan Desa Lempur Mudik
menghadap ke Renah Menjuto. Korban dipihak Belanda banyak sekali sehingga
mereka gagal memasuki Kerinci. Ketika itulah pada tahun 1901 Perang Kerinci
melawan penjajahan Belanda dimulai.
Di
bawah pemerintahan G.G. Van Hents tahun 1900 Belanda berusaha mencari jalan ke
Kerinci, yaitu dengan mempergunakan pengaruh Tuanku Regen Indrapura. Bujuk rayu
Belanda terhadap Tuanku Ragen Indrapura tidak mampan. Pada bulan Oktober 1901
(Catatan St. Iradat keponakan Tuanku Regen) Kumendur H.K Manupasya bersama
asisten Residen Kooreman, minta agar Tuanku Regen membujuk para Depati dan
hulubalang Kerinci mau menerima Pemerintahan Belanda. Kemenakan Tuanku Regen
bernama Sutan Irdat dengan 17 orang hulubalangnya datang ke Kerinci, terus ke
Hamparan Besar di Rawang. Sementara itu pasukan Belanda sebanyak 120 orang
telah berada di Indrapura, bersiap-siap untuk menyerang Kerinci. Namun para
Depati dan hulubalang Kerinci, telah bertekad untuk mempertahankan daerahnya
sampai titik darah terakhir. Bulan Maret 1902 pasukan Belanda sebanyak 500
orang di bawah komando Kapten Bolmar mendarat di Muaro Sakai. Tuanku Regen
diajak ikut serta, sebenarnya maksud Belanda adalah sebagai pemandu penunjuk
jalan masuk ke Kerinci. Serangan Belanda secara serentak memasuki Kerinci
dilakanakan dari tiga jurusan :
1.
dari Renah Manjuto;
2.
dari Koto Limau Sering;
3.
dari Temiai.
Para hulubalang Kerinci
telah bersiap-siap menyambut kedatangan pasukan Belanda. Perang hebat terjadi
pada ke tiga tempat tersebut yaitu di Renah Manjuto, Koto Limau Sering dan
Temiai. Banyak korban tewas dipihak Belanda, para depati dan hulubalang Kerinci
juga banyak pula syahid. Setelah Koto Limau Sering dikuasai, pasukan Belanda
turun memasuki ke lembah Kerinci. Terjadi Perang di Talang Tehentak, disusul
dengan peperangan dimana-mana seperti di Rawang, Hiang, Pulau Tengah dan Debai.
Pertempuran di Lolo, Lempur dan Renah Manjuto dipimpin oleh Depati Parbo dan
pertempuran di Temiai dipimpin oleh Depati Menti.
Dalam perang di Pulau
Tengah yang dipimpin oleh seorang ulama terkenal masa itu yakni Haji Ismail dan
wakilnya Haji Husin, telah bergabung pula para hulubalang dari dusun-dusun
lainnya di Kerinci. Itulah sebabnya dalam sejarah perang Kerinci, pertempuran
di dusun ini merupakan pertempuran yang tersengit dan terlama (lebih kurang 3
bulan). Pulau Tengah diserang oleh Belanda sejak tanggal 27 Maret 1902 dari 3
jurusan, yaitu:
1.
dari jurusan Timur; Sanggaran Agung – Jujun;
2.
dari Jurusan Utara; Batang Merao - Danau Kerinci;
3.
dari Jurusan Barat; Semerap - Lempur Danau.
Serangan
terakhir untuk merebut Pulau Tengah dilakukan Belanda pada tanggal 9 – 10
Agustus 1903 dengan membakar Dusun Baru, perlawanan rakyat dapat mereka
selesaikan. Dalam tulisannya yang berjudul “De Expeditie naar Korintji in 1902
– 1903; imperialisme of ethische politiek, (1897)”, H.J. Van der Tholen
mengatakan bahwa dalam perang ini telah tewas 6 orang pasukan Belanda
(diantaranya 3 orang perwira), 40 orang luka-luka berat dan ringan. Pembakaran
Dusun Baru mengakibatkan 300 orang hangus terbakar, kebanyakan anak-anak, ibu
rumah tangga dan para orang tua yang tidak berdaya. Jika Depati Parbo
tertangkap, pejuang di Pulau Tengah telah bersumpah berjuang sampai tetesan darah
terakhir. Pejuang-pejuang tersebut tidak satupun yang tertangkap atau menyerah,
mereka banyak yang tewas dalam pertempuran.
Haji Ismail yang selamat dalam kebakaran, disembunyikan penduduk di
hutan dekat Pancuran Rayo, sedangkan Haji Husin dan beberapa orang kawannya
menyingkir ke Singapura.
Setelah
Pulau Tengah jatuh ketangan Belanda tanggal 10 Agustus 1903, yang mana pada
hakekatnya perang Kerinci telah selesai, namun perlawanan kecil-kecilan masih
terjadi di sana– sini. Terakhir pasukan Belanda melanjutkan serangan ke Lolo,
markas panglima Perang Kerinci Depati Parbo. Pertempuran selama 5 hari disini,
dan akhirnya Belanda dapat membujuk Depati Parbo mengadakan perundingan damai.
Dalam peruningan inilah Depati Parbo ditangkap dan dibuang ke Ternate, Setelah
Kerinci aman pada tahun 1927, atas permohonan Kepala-kepala Mendapo di Kerinci
kepada Pemerintah Belanda, Depati Parbo dibebaskan dan kembali ke Kerinci.
Pada
awal 1906 Pangeran Haji Umar dan saudaranya Pangeran Jaya Kusuma yang mengungsi
dari Jambi tiba di Kerinci, mereka disambut oleh rakyat Kerinci yang tidak
senang kepada Belanda. Dengan bermarkas di Pungut.
Pada tahun 1906 terjadi pertempuran di
Sanggaran Agung (Kerinci) pasukan Jambi yang dipimpin oleh Pangeran Haji Umar
bersama saudaranya Pangeran Seman Jaya Negara. Banyak korban dipihak Belanda
akibat serangan tersebut dan banyak pula senjata Belanda yang dapat dirampas.
Serangan tersebut merupakan serangan terakhir sebagai pembalasan terhadap
ditangkapnya Depati Parbo salah seorang panglima perang Kerinci yang kemudian
dibuang Belanda ke Ternate. Di Semerap terdapat markas gabungan pasukan Jambi
dan hulubalang Kerinci yang dinamai Renah Pangeran, sebanyak 3 orang
pimpinannya diantaranya Ali Akbar dari Jujun ditangkap Belanda dan dibuang ke
Ternate.
Strategi yang disusun Sultan Thaha Syaifuddin
tidak berlangsung lama karena beberapa pimpinan tewas atau tertawan, seperti
Sultan Thaha Syaifuddin sendiri tewas di Betung Bedara pada 27 April 1904;
Pangeran Ratu Kartaningrat ditangkap Belanda dan diasingkan ke Parigi, Sulawesi
Tengah; Depati Parbo dari Kerinci ditangkap dan diasingkan ke Ternate; Pangeran
Haji Umar Puspowijoyo dan Pangeran Seman Jayanegara tewas di Pemunyian, Bungo
di tahun 1906; Ratumas Sina di tahun 1906 ditangkap di Pemunyian; Raden Hamzah
tewas di tahun 1906 di Lubuk Mengkuang; dan tahun yang sama Raden Pamuk
ditangkap di Thehok, Jambi.
Raden Mat Tahir yang kerap kali berhasil
meloloskan diri dari sergapan pasukan Belanda disebutkan sebagai seorang yang
keras kepala, tidak mudah ditaklukan, seorang lawan yang gesit, dan ditakuti.
Pemerintah Belanda melalui residen di Palembang memerintahkan pasukan
marsose untuk menangkap Raden Mat Tahir hidup atau mati. Pengejaran terhadap
Raden Mat Tahir pun ditingkatkan dan dengan dibantu seorang Kapten Melayu
kedudukan Raden Mat Tahir di Muarojambi diserang. Serangan ini selain
menewaskan Raden Mat Tahir, juga Raden Achmad gelar Raden Pamuk Kecik, dan Pak
Gabuk, salah seorang pengawal Raden Mat Tahir.
Untuk memastikan kebenaran bahwa yang
tewas adalah Raden Mat Tahir, jenazah Raden Mat Tahir dibawa ke Jambi dengan
menggunakan kapal "Robert" untuk diperlihatkan pada khalayak ramai.
Atas permintaan para pemuka agama Islam, jenazah Raden Mat Tahir dimakamkan di kompleks
makam raja-raja di tepi Danau Sipin, Jambi.
SOSOK MACAN GERILYA PANGERAN H. UMAR
Pangeran H. Umar dikenal sebagai sosok pejuang yang gigih dan pantang menyerah, karena terdesak oleh Belanda, Pangeran H. Umar mundur ke Tanah Tumbuh dan melanjutkan perjalanan ke daerah Pungut Kerinci. Bersama Pangeran Mudo dan beberapa hulubalang dan sejumlah pemuda dari Siulak disatukan untuk menghadapi serangan dan mengusir serdadu Belanda dari Alam Kerinci.
Pangeran H. Umar dan Pangeran Mudo melakukan taktik
perang gerilya dimalam hari, di daerah Siulak Pasukan Gerilya ini berhasil
mencegat dan menewaskan 9 orang serdadu Belanda, keberanian Pangeran H. Umar
dan pejuang-pejuang yang dipimpinnya mengundang simpatik dari para pejuang
pejuang Kerinci lainnya, dan para pejuang pejuang itu bergabung untuk menambah
kekuatan pejuang ini.
Dilain pihak penjajah Belanda merasa cemas dan gerah melihat
sepak terjang dan perlawanan yang dilakukan kelompok pejuang Pangeran H. Umar
dan Pangeran Mudo. Dengan taktik licik Belanda berkali kali berusaha untuk
menangkap Pangeran H. Umar dan Pangeran Mudo, namun niat busuk Belanda tidak
dapat terwujud, akhirnya Belanda mengeluarkan sebuah keputusan yang intinya
melarang rakyat untuk membantu perjuangan Pangeran H. Umar, bahkan Belanda
memberi hukuman kepada rakyat jika di dusun mereka terjadi perlawanan yang
dilakukan Pangeran H. Umar, maka Belanda akan menghukum rakyat tersebut dengan
menjatuhkan denda yang sangat memberatkan rakyat.
Ada beberapa dusun yang dijadikan basis perlawanan pasukan
Pangeran H. Umar seperti Dusun Siulak Kecil pernah membayar denda kepada
Belanda berupa 11 Ekor kerbau, di Siulak Mukai di denda 11 ekor kerbau,
di Semurup F.1.200, Dusun Sungai Abu F.15.000, Dusun Jujun F.1.200, dan
sejumlah dusun lainnya. Besarnya denda tergantung dengan kerugian yang diderita
Belanda saat melakukan peperangan dengan para pejuang kelompok Pangeran H.
Umar, cs.
Menurut Sabarudin Akhmad slah satu keturunan Pangeran H.Umar
, cerita yang diperoleh dari keluarga yang dituturkan secara turun temurun,
diwaktu bersamaan sesungguhnya pribadi Pangeran Haji Umar dan Pangeran Seman
sendiri masa itu medapat tekanan batin yang amat berat. Isteri dan anak-anak
Pangeran Haji Umar di Pangkalan Jambu Merangin telah ditangkap pasukan marsose Belanda
dipimpin Kapiten Kemas Ngebi Yudo Kadir serta diasingkan ke Muara Kumpeh
sebagai tawanan perang. Belanda memerintahkan Pangeran Haji Umar dan Pangeran
Seman menghentikan serangan dan perlawanan di Alam Kerinci, jika tidak patuh
dengan perintah tersebut isteri dan anak-anaknya akan dibantai satu persatu
sampai Pangeran Haji Umar dan Pangeran Seman menyerahkan diri. Namun dengan
keyakinan penuh, Pangeran Haji Umar dan Pangeran Seman tidak pernah berhenti
setapak pun, bagi kedua bersaudara tersebut urusan umur ketentuannya ditangan
Allah SWT semata, tidak seorangpun yang dapat memutuskan batasnya dengan itu
hanya kepada Allah SWT semata ia serahkan keselamatan isteri dan anak-anaknya.
Belanda dan antek-anteknya sungguh-sungguh biadab, tidak berhasil dengan
ancamannya, dalam pada itu Kapiten Kemas Ngebi Yudo Kadir merampas isteri muda
Pangeran Haji Umar dan menjadikannya sebagai isteri, tidak cukup dengan itu
anak perempuan Pangeran Haji Umar dari isteri tua (Dauya Rantau Majo) bernama
Ratumas Leha (Zaleha) diculik ketika sedang mandi di jamban dari Muara Kumpeh
dan dikawininya secara paksa.
Dalam kondisi tekanan batin yang amat sangat berat
ditanggung kakak beradik Pangeran Haji Umar dan Pangeran Seman, datang pula
sekelompok tokoh masyarakat Alam Kerinci menghadap, yang memaparkan penderitaan
rakyat Kerinci. Diceritakan oleh Anggota Tim Peneliti kepahlawan Panglima
Perang Kerinci Depati Parbo, bahwa melihat penderitaan yang di alami oleh
rakyat, seorang tokoh masyarakat di Dusun Baru Sungai Penuh H. Bakri gelar
Depati Simpan Negeri awalnya mendatangi sejumlah tokoh masyarakat di daerah
Kemendapoan Semurup dan Depati VII. H. Bakri pada waktu itu mengemukakan kepada
para tokoh masyarakat agar tidak usah lagi melakukan perlawanan terhadap
Belanda secara terang terangan, hal ini mengingat kondisi persenjataan yang
dimiliki Belanda yang lengkap dan memiliki serdadu yang banyak, jika
terus dilakukan perlawanan maka rakyatlah yang paling menderita.
Nasehat H. Bakri dapat diterima oleh para hulubalang, dan
beberapa utusan hulubalang itulah pada tahun 1906 menyampaikan langsung kepada
Pangeran H. Umar yang tengah melakukan pertempuran dengan Belanda di daerah
Pungut. Setelah menerima utusan hulubalang yang menyampaikan pesan tokoh-tokoh
masyarakat, maka Pangeran H. Umar dengan berat hati bersedia menghentikan
perlawanannya dan selanjutnya menghindar dari Alam Kerinci untuk melanjutkan
perjuangan. Di lain pihak, sebagian besar daerah Jambi saat itu telah di duduki
dan di kuasai Belanda, sedangkan Pangeran H. Umar bersikukuh tetap melanjutkan
perjuangan dan tidak mau menyerah kepada Belanda. Dalam kondisi batin terpukul
dengan beban yang sangat berat, keadaan tersebut semakin diperberat karena saat
melakukan pertempuran dengan Belanda di Pungut, seorang putrinya ikut gugur
dalam medan pertempuran.
SYAHIDNYA SANG MACAN GERILYA
Akhirnya secara diam-diam Pangeran H. Umar dan Pangeran Mudo
bersama sisa pasukannya melakukan gerakan mundur dari Alam Kerinci melalui
Sanggaran Agung terus ke Cermin Kaca turun ke Bangko berbulan-bulan keluar
masuk hutan belantara menelusuri kaki bukit Punggung Parang menuju Pemunyian.
Dengan mundurnya Pangeran Haji Umar dan Pangeran Mudo serta pasukannya, maka
praktis tidak lagi terdengar perlawanan dan pertempuran di Alam Kerinci,
Belandapun dengan leluasa menguasai Alam Kerinci dengan aturan yang kemudian
dirasa sangat mencekik rakyat.
Dalam pada itu Pangeran Haji Umar dan Pangeran
Mudo setelah bergabung kembali bersama Pangeran Diponegoro dan Ratumas Sina di
Pemunyian menyusun kekuatan baru. Namun dalam masyarakat Kerinci disepakati
oleh semua pihak para ulama, tokoh adat dan hulubalang disebar berita bahwa
Pangeran Haji Umar dan Pangeran Mudo telah melarikan diri ke Malaysia.
Diusia yang makin renta 87 tahun, kekuatan pasukan kembali
coba dibangun dan dibesarkan kembali di Pemunyian, namun usaha tersebut tercium
oleh antek-antek Belanda. April 1907. Disanalah Pangeran Haji Umar Puspowijoyo,
Pangeran Seman Jayanegara, Pangeran Diponegoro terkepung hebat dalam
pertempuran yang tidak seimbang. Pangeran Haji Umar Puspowijoyo, Pangeran Seman
Jayanegara, Pangeran Diponegoro ahirnya tewas meregang nyawa, gugur sebagai
syuhada ditembus oleh peluru senapan yang dipegang dan diletuskan oleh Belanda
asli dan Belando hitam.
Di lokasi pertempuran Pemunyian keesokan
harinya ditemukan oleh penghulu Muaro Bungo (Sutan Gandam) seorang wanita
dalam keadaan terluka parah diantara mayat yang bergelimpangan.
Wanita tersebut adalah Ratumas Sina, kemudian ditangkap Belanda dan setelah
sembuh dari luka parahnya dibuang ke Lumajang Jawa Barat.
SRIKANDI JAMBI RATUMAS SINA YANG TERLUPAKAN
Ratumas Sina lahir di Kampung Pudak, Kumpeh pada tahun 1887,
adalah putri tunggal zuriat pernikahan Datuk Raden Nonot (nama sebenarnya belum
ditemukan) dari Suku Kraton dengan Ratumas Milis binti Pangeran Mat Jasir.
Ratumas Sina adalah saudara sepupu Ratumas Zainab, sejak bayi sehingga masa
kanak-kanak dibesarkan dalam kawasan perkebunan di Paal 8 belakang
kampung Pudak. Diawal tahun 1900 memasuki usia 13 tahun Ratumas Sina dinikahkan
dengan salah seorang cucu dari Pangeran Poespo dari kerabat ibunya Permas
Kadipan yang beraja di Merangin. Suaminya (belum diketahui namanya) adalah
salah seorang anggota pasukan berani mati dibawah komando Wakil Panglima Perang
wilayah Merangin (Pangeran Haji Umar) yang juga adalah paman dari Ratumas Sina.
Setelah pernikahan tersebut, dimulailah babak baru kehidupan
Ratumas Sina mengikuti suaminya berjuang bersama Pangeran Haji Umar sebagai
pasukan komando. Pasukan Pangeran Haji Umar sangat disegani dan ditakuti oleh
pasukan Belanda karena kemampuan perang gerilya yang taktis dan mematikan
dengan salah satu ciri khas senantiasa melakukan penyerangan dimalam hari.
Kelompok pasukan ini bergerak dinamis dalam hutan belantara yang lebat antara
Merangin sampai ke daerah ulu Muaro Tebo. Belum genap satu tahun pernikahannya
1902, suami Ratumas Sina gugur dalam sebuah serangan terhadap markas pasukan
Belanda di Sungai Alai oleh pasukan Pangeran Haji Umar.
Dalam serangan pasukan Pangeran Haji Umar tersebut banyak
serdadu Belanda berhasil dibunuh, ratusan senjata serta amunisi
(misiu) berhasil dirampas untuk digunakan menyerang serdadu Belanda
dikesempatan penyerangan berikutnya.
Pimpinan pasukan Belanda di Sungai Alai marah besar terhadap
Pangeran Haji Umar dan pasukannya memperlakukan mayat suami Ratumas Sina dengan
biadap dengan kekejaman yang luar biasa. Kedua tangan mayat dibentangkan pada
sebatang kayu serta dipaku serta kulit kepalanya dikocek diletakkan dihaluan
sebuah kapal, dipamerkan kepada halayak ramai. Tindakan biadap tersebut
dilakukan serdadu Belanda untuk memukul mental rakyat yang membantu perjuangan
serta untuk memancing emosi Pangeran Haji Umar dan pasukan agar keluar dan
melakukan untuk perlawanan terbuka. Atas pertimbangan untuk perjuangan yang
lebih besar Pangeran Haji Umar dan pasukan tidak terpancing dan meneruskan
perjalanan menerobos belantara hutan. Sampai saat ini tidak seorang pun yang
mengetahui akhir dari nasib yang dialamai mayat suami Ratumas Sina, tak
seorangpun yang tahu berapa lama mayat beliau disiksa serta tak juga diketahui
dimana pusara atau kuburnya.
Dengan ditangkap dan disiksanya mayat suami Ratumas Sina
tersebut, justeru semakin membakar semangatnya untuk terus berjuang mengusir
penjajah Belanda. Bersama pamannya Pangeran Haji Umar Puspowijoyo, Pangeran
Seman Jayanegara, Pangeran Diponegoro (Raden Hamzah) dan pasukan, Ratumas Sina
keluar masuk hutan belantara. Setelah penyerangan di Sungai Alai pasukan ini
secara berkala terus melakukan serangan mendadak terhadap kedudukan-kedudukan
penting serdadu Belanda, antara Ulu Tebo, Muaro Bungo samapai ke Merangin,
dalam setiap serangan gerilya yang dilakukan berahir dengan terbunuhnya
beberapa serdadu Belanda. Selama mengikuti pergerakan pasukan gerilya tersebut,
Ratumas Sina berkesempatan mempelajari ilmu seni bela diri dan ilmu-ilmu
kesaktian kanuragan dari paman Pangeran Haji Umar, Pangeran Seman dan Pangeran
Diponegoro serta hulubalang-hulubalang tangguh lainya.
Dipenghujung 1904, ketika Pangeran Haji Umar dan pasukan
berada disekitar pedalaman batas Muaro Bungo dan Merangin, dating beberapa
orang hulubalang utusan dari Alam Kerinci yang menyampaikan berita tentang
kelicikan Belanda sehingga wakil Panglima Perang daerah Alam Kerinci (Depati
Parbo) tertangkap dalam sebuah jebakan yang dirancang Belanda dan anteknya tuan
Regent. Mendengar kabar tersebut Pangeran Haji Umar, Pangeran Seman (Pangeran
Mudo) dan Pangeran Diponegoro serta hulubalang dan pasukannya bersama beberapa
hulubalang dari Alam Kerinci menyusun rencana penyerangan terhadap kedudukan
serdadu Belanda dan tuan Regent di Alam Kerinci.
Dalam perundingan tersebut disepakati Pangeran Haji Umar,
Pangeran Seman dan hulubalang asal Alam Kerinci serta sebagian sisa pasukan
akan bergerak naik ke Alam Kerinci, sementara Pangeran Diponegoro, Ratumas Sina
dan sisa pasukan mundur kepedalaman kearah yang disepakati menjauh dari
daerah-daerah yang telah dikuasai serdadu Belanda. Pasukan Pangeran Diponegoro,
Ratumas Sina juga diperintahkan untuk mengurangi serangan gerilya terhadap
kedudukan serdadu Belanda di sekitar Merangin dan Muaro Bungo. Mengingat
kekuatan pasukan sudah terbagi, penyerangan hanya dilakukan apabila sangat
perlu dan diperkirakan menang dengan telak, serta serdadu Belanda berada jauh
dari balabantuan. Pangeran Diponegoro dan Ratumas Sina juga mendapat tugas
memperkuat pasukan dengan merekrut para pendekar-pendekar dan orang-orang
pilihan disekitar Muaro Bungo dan Tanah Sepenggal yang bersedia bergabung melanjutkan
perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dalam perjalananya Pangeran Diponegoro
dan Ratumas Sina beserta pasukan menuju suatu tempat yang tersembunyi
diperbatasan antara Muaro Bungo dan Alam Kerinci yang kemudian disebut dengan
Pemunyian, disanalah dilakukan penggalangan kekuatan baru.
Akhir Kehidupan Ratumas Sina
Takdir perjalanan hidup anak manusia memang tak dapat
direncanakan dan tak seorangpun yang tahu pasti, 7 tahun di Lumajang
sebagai manusia buangan penjajah, Ratumas Sina ahirnya dilamar menjadi isteri
oleh Sutan Gandam, seorang penghulu di Muaro Bungo dari suku Minang (Padang)
pada masa penjajahan Belanda. Sutan Gandam adalah duda dengan beberapa orang
anak yang telah menemukan Ratumas Sina bersimbah darah di medan pertempuran Pemunyian.
Jadilah Ratumas Sina janda kembang orang buangan Belanda itu sebagai isteri
Sutan Gandam diusianya terhidung masih muda yaitu 27 tahun dan selanjutnya
diboyong pulang oleh suami dari tanah pembuangan.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, kiranya
pernikahan tersebut sangat ditentang oleh anak-anak Sutan Gandam, belum satu
tahun pernikahannya Ratumas Sina diasingkan suaminya ketengah hutan di Muaro
Bungo agar terjauh dari siksaan jasmani dan batin yang dibuat oleh anak-anak
tirinya. Ditengah hutan lebat itu Ratumas Sina sendiri tertatih tatih merajut
harapan, namun wanita pendekar yang pernah menjadi pejuang sejak usia belia itu
tak pernah menyalahkan orang lain, hanya kepada Allah SWT tempat ia berserah
diri dan tawakkal. Berbulan-bulan dalam kesendirian dikebun tidak membuatnya
putus asa Ratumas Sina telah tertempah dengan baik oleh pengalaman selama 7
tahun dalam perjuangan bersama Pangeran Haji Umar, Pangeran Seman, Pangeran
Diponegoro dan pasukan. Perutnya terbiasa diisi dengan makan pucuk-pucuk kayu
kayan, buah-buahan hutan dan umbi-umbian liar yang boleh dimakan dan banyak
dijumpai dalam hutan belantara, hidupnya terbiasa dalam belantar hutan.
Disuatu hari ketika menjelang waktu dzuhur, ketika Ratumas
Sina menumbuk cabe dengan sebatang kayu untuk membuat sambal diatas sebuah
batang kayu besar yang telah roboh, ia pandangi langit. Didapatinya suatu
keanehan pada langit, pada langit terbentuk sebuah lobang besar yang
memancarkan sinar yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, hatinya membatin
mungkin inilah pintu langit yang terbuka itu. Sejak itulah secara
perlahan rezekinya diperoleh secara perlahan, kebun yang dibangun menjadi dan
apapun yang diusahakan memberikan hasil yang diluar dugaan banyaknya. Kekayaan
dan harta dunia miliknya mulai berlimpah, satu persatu orang-orang yang
membenci dan membuangnya mulai merapat, seiring waktu jadilah Ratumas Sina
sebagai salah seorang yang terkaya di Muaro Bungo. “Srikandi” itu telah kembali kehadirat Allah
SWT, diusia 80 tahun.
Sumber :
Perjuangan Rakyat Kerinci, Dpt. Alimin
Dialog
sejarah yang diselenggarakan oleh Museum Perjuangan Rakyat Jambi pada 12 Juli
2012
Sabaruddin Akhmad,
Srikandi dan Wira KadipanDalam Perlawanan Terhadap Penjajahan Belanda (www.sabarudin6kadipan.blogspot.com/2014/11/srikandi-dan-wira-kadipan-dalam.html)