Selasa, 09 April 2019

GOOD GOVERNMENT AND CLEAN GOVERNMENT, MUNGKINKAH ?



M. Ali Surakhman

Sebenarnya tulisan ini sudah lama, saya tulis 2005, saat belum adanya, OTT, dan saya posting di blog saya www.incung.blogspot.com pada, Minggu, 14 November 2011, rasanya saat ini kegundahan sekian tahun itu, masih membuat gula darah naik turun, dan saya ulang ulang lagi posting, dengan harapan Semesta Jagad memberi yang terbaik buat bangsa ini, Situasi kepemimpinan (eksekutif, legislative maupun yudikatif) di Indonesia tengah mengalami kegundahan yang sangat meresahkan publik, bukan hanya dalam lingkup nasional, tapi juga internasional. Sebenarnya, fenomena ini hanya merupakan satu dari sekian banyak faktor yang menyebabkan Indonesia harus terengah-engah dan terlunta-lunta untuk menegakkan dirinya sebagai suatu bangsa yang layak untuk dihormati dalam komunitas internasional.

Mungkin yang sulit pada masa ini adalah mengajak masyarakat untuk mempercayai pemerintah. Secara sederhana saja, berbagai unjuk rasa yang dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa tapi juga kelompok-kelompok masyarakat lainnya, menunjukkan ketidakpuasan dan juga ketidakpercayaan pada pemerintah. Hal lain yang layak dicermati adalah rendahnya tingkat pengikutsertaan rakyat dalam berbagai tingkat pengambilan keputusan, yang lebih dikenal dengan demokratisasi. Menganggap rakyat sebagai obyek belaka untuk diatur berarti menempatkan mereka dalam posisi pasif, yang pada satu titik dapat membuat mereka menjadi apatis, namun dalam titik yang ekstrim dapat menimbulkan adanya pembangkangan. Tentunya bukan kondisi semacam ini yang diinginkan oleh kita semua, walau ternyata sudah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, yang kembali mencerminkan bagaimana persepsi publik mengenai birokrasi di Indonesia. Ketidakjelasan dan ketidaktransparanan proses pengambilan keputusan misalnya, membuat masyarakat selalu diliputi oleh berbagai pertanyaan, apakah memang benar bahwa kepentingan mereka selalu diprioritaskan.

Good governance sangat erat kaitannya dengan gerakan sosial yang kini sangat marak, yakni upaya menuju ke arah civil society, yang dilandasi dengan asumsi bahwa rakyat sudah jauh lebih terdidik daripada dahulu. Dengan demikian, maka dalam upaya maraih kondisi civil society yang dapat membangun bangsa bersama-sama dengan pemerintah, masa transisi ini sangat tepat untuk dijadikan batu loncatan untuk menuju ke arah adanya masyarakat yang mempercayai kebijakan pemerintah, tidak sekedar “tut wuri handayani” akan tetapi juga memiliki kemampuan memahami landasan berpikir dan perilaku pemerintah.

Salah satu hal yang seringkali mendapatkan sorotan tajam dari publik adalah tingginya tingkat dependensi pejabat publik pada key political players. Melihat betapa besarnya kekuasaan yang didelegasikan pada pemerintah ini, sangat besar kemungkinan bahwa pemilihan orang-orang yang menempati jabatan dan posisi kunci adalah yang dekat dengan penguasa tertinggi.

Selain itu yang tidak boleh dilupakan bahwa masih ada dominasi kekuasaan, yakni dominasi kekuasaan politik terhadap birokrasi ini. Bahwasanya setiap terjadi pergantian rejim maka terjadi perubahan dalam pimpinan birokrasi, merupakan suatu konvensi politik yang layak dijadikan wacana. Kondisi semacam ini menyebabkan bahwa kewajiban dan akuntabilitas seakan dikaitkan ke atas dengan kekuatan politik yang tengah berkuasa. Ditambah lagi, Pejabat tertinggi dalam suatu lembaga pemerintah bertanggungjawab hanya pada presiden, dan ini memungkinkan timbulnya celah bahwa mereka tidak bertanggungjawab pada rakyat. Kemungkinan akibatnya antara lain; pengambilan keputusan mengutamakan kepentingan politik, kebijakan dan aturan yang dibuat meletakkan rakyat tidak dalam prioritas, tingginya kemungkinan intervensi dalam pengambilan keputusan, tingginya kemungkinan perubahan kebijakan dari satu pimpinan ke pimpinan lain, yang merugikan konsistensi dan kesinambungan suatu program, peraturan kebijakan lebih bersumber pada kebebasan bertindak yang seringkali tidak mengindahkan asas umum penyelenggaraan administrasi negara yang baik dan wajar.

Kondisi semacam ini, utamanya tanpa akuntabilitas publik akan sangat membahayakan kepentingan rakyat. Tidaklah dengan demikian berarti bahwa semua birokrasi berperilaku seperti ini, akan tetapi kecenderungan yang muncul, yang dilandasi oleh penempatan seseorang dalam jabatan tertentu lebih didasarkan pada kedekatan pada kekuasaan, pada akhirnya menjadikan pejabat karir menjadi warga negara kelas dua di lembaganya.

Saat ini diiperlukan kualifikasi jabatan, ujian penyaringan yang benar, fit and propertest bagi orang-orang yang akan masuk ke dalam jabatan baru, bukan hanya sekedar asal comot. Tidak ketinggalan, proses rekrutmen juga harus mengikuti prosedur yang benar, tidak lagi mengenal istilah ‘jabatan titipan’. Sehingga pengukuran dilakukan berdasarkan prestasi kerja, kinerjanya, dan track recordnya yang harus dipantau dan di-relay terus menerus. Bukan karena kedekatannya pada seseorang secara pribadi.

Disamping itu, menguatnya isu Putra Daerahisme dalam pengisian jabatan akan menghambat pelaksanaan pembangunan, dan juga akan merusak rasa persatuan dan kesatuan yang telah kita bangun bersama sejak jauh hari sebelum Indonesia merdeka. Pengisian formasi jabatan sering diwarnai dengan menguatnya isu putra daerah.

Isu kesukuan yang sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan di era globalisasi karena keaslian dan kesukuan tidak akan menunjang keberhasilan pelaksanaan tugas. Untuk pengisian formasi jabatan hendaknya mengedepankan profesionalisme sehingga tidak terjebak pada fanatisme sempit berupa kesukuan, sebab bila hal ini yang ditonjolkan maka akan mengusik rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang telah sejak lama dibangun dan diperjuangkan bahkan jauh sebelum kemerdekaan RI.

Selaiknya dengan profesionalisme akan dapat memberikan kinerja yang unggul karena pendekatan yang bersifat primordial adalah masa lalu yang harus segera ditinggalkan.Untuk menjamin agar pelaksanaan pemerintahan benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja Pemerintah dengan mitranya DPR agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri, transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan pemerintahan yang baik good government dan Clean government.

Sangat diharapkan dengan adanya independensi birokrasi dari kepentingan-kepentingan politik maka ada beberapa situasi kondusif yang diciptakan, yaitu rekrutmen dan penempatan pejabat dalam birokrasi sesuai dengan keahlian dan pengalamannya, kebijakan public yang diambil akan dapat dilaksanakan dengan konsisten dan berkesinambungan, yang pada gilirannya diharapkan dapat menghasilkan pemerintahan yang efektif dan efisien.

Namun demikian tetap harus diingat bahwasanya mengharapkan adanya independensi ini akan menjamin adanya Good Governance, tentunya merupakan pemikiran yang patut diluruskan. Apabila kualitas dan system birokrasinya masih dijalankan seperti saat ini, hanya sedikit perubahan yang dapat diharapkan. Sumber daya manusia yang akan ditempatkan pada posisi kunci atau sebagai pemegang jabatan sedikitnya harus:

  1. Mempunyai integritas dan bersih, yang nampak dari track record yang bersangkutan,
  2. Mempunyai kemampuan manajerial dan substantive dan juga motivasi untuk melaksanakan penyelenggaraan tugas birokrasi,
  3. Memiliki pemahaman yang berwawasan public service, yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok dan sebagainya,
  4.  Mengambil keputusan secara transparan dan obyektif,
  5.  Memperhitungkan public opinion dalam pengambilan keputusannya.


Bahkan harus diperhitungkan pula kemungkinan bahwa independensi ini kemudian diterjemahkan sebagai kebebasan yang tak terbatas (unlimited independence). Dalam kerangka mengantisipasi hal ini maka mekanisme harus ada akuntabilitas public. Benang merahnya adalah put the right man on the right place, dalam artian penempatan seseorang pada jabatan tertentu adalah berdasarkan kompetensi dan kapabilitasnya sehingga good governance dapat tercipta. Politik kekuasaan dalam bentuk bagi bagi kursi tidak layak lagi dipertahankan karena hal ini hanya akan membawa bangsa menuju jurang kehancuran dan cita-cita besar untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan sejahtera hanya akan menjadi mimpi di siang bolong..

(M. Ali Surakhman, Pemerhati Sosial Politik, independent research)



Jumat, 22 Maret 2019

RUANG MISTIS DALAM PUISI.


#M. Ali Surakhman
   
Bagi pengarang, catatan peristiwa merupakan serpihan korpus inspirasi, seterusnya menjelma menjadi sebuah ide dasar suatu cerita dalam bentuk karya sastra. Menjadi sebuah karya fiksi yang akan bercampur baur dengan kuantitas, kualitas imajinasi serta pengalaman batin pengarangnya. Maka, cerpenis, novelis pun bermunculan dengan karyanya yang secara tulus membuahkan cerita anak manusia dalam bentuk komedi, tragedi atau bahkan romantis. Yang diwakilkan oleh karakter tokoh yang tercipta atas inspirasi dunia realitas.
Lain halnya dengan penyair atau pujangga yang adalah seseorang yang bernapas dengan rangkaian kata-kata dalam pergulatan dirinya menukil makna teks sebagai karya kesusastera. Tiap berkas kisah yang ada dicerabut akar peristiwanya, lalu dipilah-pilah menjadi serpihan ide tekstual yang akan menggugah perasaan pula logika apabila dibaca, sebagai bait-bait kata yang bersayap.
Pengarang dan penyair memiliki ibu bahasa yang sama, yakni bahasa Indonesia, akan tetapi remah filsafatnya saja yang berbeda. Sehingga terdapat dua taksonomi karya sastra yang berbeda dalam satu atap kesusastra Indonesia. Penyair menggali aset konotasi yang denotatif serta bentuk-bentuk kiasan dalam bahasa Indonesia, untuk menerangkan keindahan dari suatu realitas yang pedih sekalipun melalui teks-teks malaikat. Ruh dalam teks malaikat yang demikian itu lebih menekankan pada ungkapan rasa dan cita rasa imajinasi yang berelaborasi dengan pengalaman batin dirinya sebagai penyair. Dengan demikian, teks-teks puisi atau sajak lebih padat dan kompleks, dan atau multi-hermeneutis kehadirannya.
Berangkat dari paradigma dasar tersebut di atas, maka penulis akan mencermati fenomena yang sedang menjamur di ranah puisi-puisi saat ini. Dengan catatan, bahwa mazhab yang terlibat di dalamnya terjadi suatu hubungan lintas generasi dan bahasa jamannya. Ini menjadi menarik bila dilihat dari kecenderungan penulisan puisi orde sekarang yang terserap oleh tema-tema sosialisme yang religius. Bahwa dunia keseharian dengan bahasanya yang sederhana telah nyata-nyata membumi di dunia perpuisian. Yang kemudian mendorong penyair-penyair baru untuk berkarya dengan teks-teks sejenis puitis ini. dalam konteks kepenyairan ini, seseorang yang hidup di dalamnya lebih terbuka dan mengasah fikir dan rasanya terhadap beragam peristiwa yang ditemuinya di jalan, di rumah, di ruang-ruang publik. Salah satu kekayaan magis dari dunia keseharian adalah bahasa yang hidup.
Metafora atau personifikasi yang dikodifikasi oleh penyair itu diambilnya dari kisah manusia yang hidup di lingkungan masyarakat Yogyakarta, dengan konsep juxtaposisi, asosiatif atau bisosiatif, seperti yang termuat dalam karya Romo Sindhunata misalnya. Penyair lain yang muncul dan mendapat penghargaan dengan karya-karyanya adalah Joko Pinurbo. Pada beberapa karaya penyair, bahasa sehari-hari bisa langsung diadopsi menjaadi bait-bait puisi. Pasalnya, pembaca karya sastra ini tidak keberatan dengan gaya bahasa seperti demikian. Malahan muncul wacana bahwa puisi yang muncul pada jaman sekarang, justru lebih mengakar dan akrab dengan dunia pembaca. Karena doktrin bahasa yang melulu bermetafora yang agak sulit dibaca dan menangkap artinya justru telah ditinggalkan. Ini berlaku pada karya-karya Joko Pinurbo. Namun demikian, puisi-puisi yang lirih dan seindah syair dengan pola rima yang kental masih juga diterima oleh kalayak pembaca dengan sebaik karya yang lainnya. “Ikan Terbang Tak Berkawan,” kumpulan puisi Warih Wisatsana misalnya, saya membaca kumpulan puisi itu begitu kentara racikan rasa pada diksi dan rimanya. Yang sepintas terkesan seperti syair yang mengisahkan pengalaman penyairnya dengan dunia manusia yang sangat humanis. Dalam sebuah wacana perihal identitas karya dalam tulisan Agus Hernawan (28/3 – Media Indonesia) coba membaca pemetaan karya dari setiap jaman, bahwa setiap generasi dengan karya menunjukan identitas dirinya yang terbebas dari dikotomi bahwa paradigma ‘pengikut’ masih menjamur.
Puisi menemukan ruang kreatif yang bebas dan terbuka. Siapapun boleh jadi penyair, walaupun mungkin orang mengenalnya sebagai penulis novel atau penulis cerita. Karena tidak sedikit cerpen atau novel yang diterbitkan itu sangat puitis sebagai sebuah puisi yang panjang. Maka biarlah puisi terus berpuisi dimana pun mereka hadir sebagai karya jenis apa. Dengan korpus inspirasinya mengambil dari dunia realitas atau peristiwa keseharian. Karena puisi tak bisa dipisahkan dengan manusia pembaca yang merasa terwakilkan perasaan keindahannya terhadap puisi-puisi yang dibacanya.
Tetapi saya lebih melihat itu sebagai sebuah catatan sejarah saja. Yang penting saat ini dan kemudian hari adalah bagaimana karya sastra tetap diperlakukan sebagai karya sastra. Tidak lagi diperlakukan sebagai suatu produk suatu orde yang kemunculannya disokong oleh kekuasaan politik penguasa kesusastra di jamannya. Penyair itu bebas, tidak terikat oleh kelompok-kelompok yang berpretensi menjadi agen kesusastra penguasanya, karena kehadirannya berada di tengah masyarakat dengan segala persoalan hidup mereka yang pelik.
Puisi menurut saya adalah bahasa sejarah itu sendiri. Dari karya itu kita bisa melihat bagaimana manusia hidup, mengahadapi dan menyelesaikan persoalan yang menghadangnya. Karena puisi adalah bahasa nurani, dimana kejujuran, ketulusan manusia dan geliat jiwa yang tak teruraikan ada, namun coba dihidupkan melalui kata-kata. Kehadiran puisi di tengah kehidupan kita merupakan cermin siapa sebenarnya diri kita? Karenanya puisi selalu dicari, dibaca, dimaknai, dan diartikan layaknya pertanyaan hidup yang seringkali tidak terjawab. Namun justru jawaban itu bersembunyi di balik keindahan sebuah puisi. Dimana kekuatan-kekuatan alam yang tak terbaca oleh kasat mata itu dihirup sebagai udara oleh seorang penyair, lalu dihembuskannya di atas sebuah kertas menjadi kekuatan magis yang lahir dari suatu realitas.

Kamis, 21 Maret 2019

MENELUSURI JEJAK KARYA LELUHUR DI NEGERI SERIBU MENHIR PASEMAH


#M. Ali Surakhman

Pasemah adalah satu wilayah di Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam, Provinsi Sumatra Selatan. Daerah ini secara georafis merupakan suatu wilayah dataran tinggi, dan posisinya masih satu rangkaian dengan Bukit Barisan di pulau Sumatra. Hutan alam tropis dengan kondisi perbukitan batu-batu cadas, merupakan satuan batuan beku dengan jenis batuan andesit, dan dilalui oleh beberapa anak sungai (wilayah Batang Hari Sembilan), adalah daerah yang subur dan sangat potensial bagi kehidupan masyarakat purba atau prasejarah, dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup mereka yang secara naluriah dan adaptif masih lebih mengandalkan ketersediaan bahan makanan dari alam
Di bumi Pasemah ini banyak ditemukan artifak purba tinggalan budaya Megalitikum (Batu Besar), seperti: Patung Batu, Kubur Batu, Lukisan Dinding Kubur Batu, Batu Bergores, Gambar Gores di Dinding Cadas, Dolmen, Lumpang Batu, Menhir, dan lain sebagainya. Wilayah sebar budaya Megalitikum Indonesia ditemukan di beberapa tempat diantaranya: Sumatra, Nias, Jawa, Bali, Sumba, Sulawesi, dan lain-lain. R.P. Soejono mengatakan, “di Indonesia tradisi megalitik muncul setelah tradisi bercocok-tanam atau bertani food-froducing mulai meluas, diperkirakan sejak zaman Neolitikum sampai dengan zaman Logam – Perunggu”.
 Luasnya wilayah sebar dan banyaknya temuan artifak megalitik di bumi Pasemah ini, tentunya memunculkan banyak pula permasalahan yang menarik untuk dikaji atau diungkapkan segala sesuatu yang melingkupi patung megalitik peninggalan budaya prasejarah di Pasemah, baik dalam hal perupaan, nilai estetis, makna simbolis, dan termasuk pula nilai-nilai magis – mistis sesuai nilai-nilai kosmologi yang menyertainya.
Menurut para peneliti terdahulu seperti A. N. J. Th. A. Th Van der Hoop (1930 – 1931), dikatakan bahwa di bumi Pasemah ini ditemukan 22 (dua puluh dua) buah lingkungan situs megalitik dari masa prasejarah. Demikian pula pada kegiatan survei situs-situs Megalitik di Kabupaten Lahat – Provinsi Sumatra Selatan, yang dilakukan oleh tim peneliti dari Proyek Balai Arkeologi 134 Erwan Suryanegara, et al.
 Palembang di tahun 1996, dilaporkan bahwa telah berhasil disuvei sebanyak 19 (sembilan belas) lingkungan situs. Berdasarkan studi literatur ternyata tidak seluruh situs yang ada tersebut memiliki artifak yang berupa patung megalitik, dan disebutkan pula bahwa di beberapa situs yang memang memiliki artifak patung megalitik, sebagian kondisi patungnya sudah tidak lengkap dan rusak berat, sehingga sangat sulit untuk dikenali wujudnya.
 Baik di wilayah kabupaten Lahat maupun di kota Pagaralam, seperti situs Belumai, Geramat, Karang Dalam, Muara Danau, Pagaralam Pagun, Tanjung Ara, Tanjung Sirih (oleh beberapa peneliti sebelumnya sering disebut juga sebagai situs Pulaupanjang), Tanjung Telang, Tebat Sibentur, Tebing Tinggi, Tegur Wangi, dan Tinggi Hari. Di antara beberapa situs tersebut ada yang kondisi patungnya rusak parah, bahkan sebagian besar kepalanya sudah hilang, sehingga akan menyulitkan ketika melakukan identifikasi secara men-detail. Ada juga yang patungnya sebagian besar masih terkubur di dalam tanah atau belum diangkat ke permukaan, serta dijumpai pula beberapa situs yang memang tidak memiliki artifak patung megalitik.
 Menurut Van der Hoop, umumnya material batuan yang ada di bumi Pasemah tergolong batuan beku dari jenis batuan “andesit”, yang secara visual ciri-cirinya dapat dikenali melalui warna batu-batuan tersebut. Batuan jenis andesit ini cenderung berwarna putih keabu-abuan menuju kehitam-hitaman, biru gelap, kuning, dan atau coklat kemerah-merahan. Berdasarkan analisis kimiawi yang dilakukan oleh Colonial Institute, Amsterdam yang bekerja sama dengan Mineralogical and Geological Institute of The State – University, Utrecht, terhadap batuan yang contohnya berasal dari situs Tegur Wangi, dapat diketahui bahwa jenis batuan andesit di Pasemah ini terbentuk atas senyawa beberapa unsur kimia seperti: SiO2, Pb, Ca, Na, Fe, Al, dan K. Batuan beku jenis batuan andesit ini memang tergolong jenis batu yang baik untuk dijadikan bahan pembuatan patung .
 Bila memperhatikan secara keseluruhan wilayah sebaran situs-situs megalitik di bumi Pasemah, akan tampak adanya kepekaan tertentu pada masyarakat prasejarah Pasemah dalam memilih lokasi. Di lingkungan situs pilihan manusia prasejarah tersebut sudah tersedia secara alami bahan berupa bongkahan batu-batu besar yang mempermudah mereka dalam pembuatan artifak batu monumental, bahkan secara umum lokasinya tidak jauh dari sungai atau sumber air lainnya.
 Manusia pendukung budaya megalitik sudah mengenal dan bahkan sudah memanfaatkan alat kerja yang terbuat dari bahan logam. Mereka sudah memiliki kemampuan sangat baik dalam memahat batu-batu besar dengan sudut-sudut yang tajam atau runcing, dan secara bentuk patung-patung itu tampak sudah memiliki garis-garis kontur yang begitu dinamis. Untuk dapat menghasilkan artifak-artifak patung seperti itu tentunya membutuhkan mata pahat yang bukan sekedar terbuat dari batu api saja, namun menggunakan pahat bermata logam yang sangat memungkinkan untuk itu. Namun bila dilihat dari sifat, bentuk, dan termasuk perkiraan fungsinya, artifak-artifak megalitik itu memperlihatkan adanya kelanjutan dari budaya sebelumnya yakni zaman Batu Baru.
 Selain kecenderungan di atas, pada batu gores, gambar di dinding kubur batu maupun patung-patung batu besar tersebut, terlihat adanya atribut yang mengindikasikan terbuat dari bahan logam atau perunggu (nekara, pedang, gelang, kalung, dan anting-anting), baik yang dikenakan maupun sedang dibawa Artifak Purba Pasemah oleh orang atau tokoh seperti sosok yang mereka patungkan atau pahatkan. Para peneliti  juga menyebutkan, bahwa patung megalitik merupakan satu jenis artifak dari temuan tinggalan yang terbanyak jumlah satuannya, dibandingkan artifak megalitik lainnya di Pasemah.
 Ketika manusia awal memulai hidup dan kehidupannya di muka bumi, mereka adalah pioneer tentu sangat wajar bila dalam berbagai hal menyangkut kehidupannya masih hidup dalam taraf serba sederhana. Secara kodrati dalam hidupnya manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan baik yang bersifat material (fisik) maupun spiritual (rohani). Untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya itu, maka manusiapun menciptakan segala sesuatu sesuai kebutuhan atau membuat piranti sebagai alat bantunya. Keberadaan piranti-piranti itu ada yang berwujud (kongkrit) benda-benda dan ada pula yang tak berwujud (abstrak) seperti aturan-aturan, nilai-nilai, bahasa, kesenian, kepercayaan, dan sebagainya. Sehubungan dengan hal-hal yang menyangkut kebutuhan dan upaya pemenuhan kebutuhan hidup manusia itulah, yang kemudian dalam batasan tertentu disebut kebudayaan.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian pada temuan artifak purba para ahli prasejarah sepakat, bahwa pada saat kebudayaan Neolitikum masih berlangsung ternyata manusia prasejarah memiliki pula kecenderungan memanfaatkan batu besar dalam aktivitas kehidupannya, khususnya yang berkaitan dengan keberadaan “arwah” dalam aktivitas kerohaniannya. Penggunaan media yang berupa batu-batu besar dikenal sebagai era kebudayaan Batu Besar (Megalitikum). Tradisi penggunaan batu besar ini ternyata terus berlangsung hingga masuk ke zaman kebudayaan logam, bahkan menurut para ahli di zaman Logam inilah kebudayaan Megalitikum itu mencapai puncak kesempurnaannya, mengingat sudah dipergunakannya alat-alat yang terbuat dari bahan logam.
Dari patung-patung yang berobjek tunggal, jelas bahwa para pematung Pasemah di kala itu memang merupakan pematung batu yang handal dan berkualitas. Patung manusia membawa nekara di Belumai III termasuk salah satu dari artifak patung megalitik Pasemah yang kondisinya masih lengkap. Patung di Belumai III ini secara teknis juga tergolong sempurna, karena dilihat dari unsur-unsur visualnya seperti karakter garis, volume, tekstur, warna, dan bentuk.
 Patung megalitik di Pasemah berbeda dengan patung megalitik lainnya, sehinggga tidak dapat dijadikan objek pembanding bagi patung megalitik Nusantara. Pendapat ini diungkapkan oleh Haris Sukendar sebagai seorang pakar megalitik Indonesia, yang sepakat akan hal itu bahkan menambahkan, bahwa patung megalitik di Pasemah itu memiliki keunikannya yang “tersendiri” dan tidak dimiliki oleh patung megalitik lainnya yang sezaman. Lebih lanjut menurut Haris, di wilayah lain patung megalitik yang sezaman masih tergolong “arca menhir”, dicirikan dalam hal perwujudannya bersifat statis-frontal dan masih sederhana (cenderung lebih mengutamakan kepala), atau belum selengkap seperti perupaan sosok tubuh pada patung megalitik di Pasemah.
Pesona menhir di bumi Pasemah, membuktikan tingkat kemajuan peradaban kebudayaan leluhur zaman dahulunya,  dan menhir menhir ini menjadi museum alam yang mana dapat menjadi objek pendidikan buat generasi muda dalam memahami sejarah,budayanya,yang selanjutnya terbentuk pemikiran buat melindungi cagar budaya,melestarikan dalam tindakan penjagaan dari kerusakan kerusakan, secara jangka panjang pengamatan terhadap menhir pasemah di harapkan dapat membentuk karakteristik generasi yang paham akan budaya bangsanya.
#M. Ali Surakhman
http://haluanews.com/menelusuri-jejak-karya-leluhur-di-negeri-seribu-menhir-pasemah/