Kamis, 21 Maret 2019

MENELUSURI JEJAK KARYA LELUHUR DI NEGERI SERIBU MENHIR PASEMAH


#M. Ali Surakhman

Pasemah adalah satu wilayah di Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam, Provinsi Sumatra Selatan. Daerah ini secara georafis merupakan suatu wilayah dataran tinggi, dan posisinya masih satu rangkaian dengan Bukit Barisan di pulau Sumatra. Hutan alam tropis dengan kondisi perbukitan batu-batu cadas, merupakan satuan batuan beku dengan jenis batuan andesit, dan dilalui oleh beberapa anak sungai (wilayah Batang Hari Sembilan), adalah daerah yang subur dan sangat potensial bagi kehidupan masyarakat purba atau prasejarah, dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup mereka yang secara naluriah dan adaptif masih lebih mengandalkan ketersediaan bahan makanan dari alam
Di bumi Pasemah ini banyak ditemukan artifak purba tinggalan budaya Megalitikum (Batu Besar), seperti: Patung Batu, Kubur Batu, Lukisan Dinding Kubur Batu, Batu Bergores, Gambar Gores di Dinding Cadas, Dolmen, Lumpang Batu, Menhir, dan lain sebagainya. Wilayah sebar budaya Megalitikum Indonesia ditemukan di beberapa tempat diantaranya: Sumatra, Nias, Jawa, Bali, Sumba, Sulawesi, dan lain-lain. R.P. Soejono mengatakan, “di Indonesia tradisi megalitik muncul setelah tradisi bercocok-tanam atau bertani food-froducing mulai meluas, diperkirakan sejak zaman Neolitikum sampai dengan zaman Logam – Perunggu”.
 Luasnya wilayah sebar dan banyaknya temuan artifak megalitik di bumi Pasemah ini, tentunya memunculkan banyak pula permasalahan yang menarik untuk dikaji atau diungkapkan segala sesuatu yang melingkupi patung megalitik peninggalan budaya prasejarah di Pasemah, baik dalam hal perupaan, nilai estetis, makna simbolis, dan termasuk pula nilai-nilai magis – mistis sesuai nilai-nilai kosmologi yang menyertainya.
Menurut para peneliti terdahulu seperti A. N. J. Th. A. Th Van der Hoop (1930 – 1931), dikatakan bahwa di bumi Pasemah ini ditemukan 22 (dua puluh dua) buah lingkungan situs megalitik dari masa prasejarah. Demikian pula pada kegiatan survei situs-situs Megalitik di Kabupaten Lahat – Provinsi Sumatra Selatan, yang dilakukan oleh tim peneliti dari Proyek Balai Arkeologi 134 Erwan Suryanegara, et al.
 Palembang di tahun 1996, dilaporkan bahwa telah berhasil disuvei sebanyak 19 (sembilan belas) lingkungan situs. Berdasarkan studi literatur ternyata tidak seluruh situs yang ada tersebut memiliki artifak yang berupa patung megalitik, dan disebutkan pula bahwa di beberapa situs yang memang memiliki artifak patung megalitik, sebagian kondisi patungnya sudah tidak lengkap dan rusak berat, sehingga sangat sulit untuk dikenali wujudnya.
 Baik di wilayah kabupaten Lahat maupun di kota Pagaralam, seperti situs Belumai, Geramat, Karang Dalam, Muara Danau, Pagaralam Pagun, Tanjung Ara, Tanjung Sirih (oleh beberapa peneliti sebelumnya sering disebut juga sebagai situs Pulaupanjang), Tanjung Telang, Tebat Sibentur, Tebing Tinggi, Tegur Wangi, dan Tinggi Hari. Di antara beberapa situs tersebut ada yang kondisi patungnya rusak parah, bahkan sebagian besar kepalanya sudah hilang, sehingga akan menyulitkan ketika melakukan identifikasi secara men-detail. Ada juga yang patungnya sebagian besar masih terkubur di dalam tanah atau belum diangkat ke permukaan, serta dijumpai pula beberapa situs yang memang tidak memiliki artifak patung megalitik.
 Menurut Van der Hoop, umumnya material batuan yang ada di bumi Pasemah tergolong batuan beku dari jenis batuan “andesit”, yang secara visual ciri-cirinya dapat dikenali melalui warna batu-batuan tersebut. Batuan jenis andesit ini cenderung berwarna putih keabu-abuan menuju kehitam-hitaman, biru gelap, kuning, dan atau coklat kemerah-merahan. Berdasarkan analisis kimiawi yang dilakukan oleh Colonial Institute, Amsterdam yang bekerja sama dengan Mineralogical and Geological Institute of The State – University, Utrecht, terhadap batuan yang contohnya berasal dari situs Tegur Wangi, dapat diketahui bahwa jenis batuan andesit di Pasemah ini terbentuk atas senyawa beberapa unsur kimia seperti: SiO2, Pb, Ca, Na, Fe, Al, dan K. Batuan beku jenis batuan andesit ini memang tergolong jenis batu yang baik untuk dijadikan bahan pembuatan patung .
 Bila memperhatikan secara keseluruhan wilayah sebaran situs-situs megalitik di bumi Pasemah, akan tampak adanya kepekaan tertentu pada masyarakat prasejarah Pasemah dalam memilih lokasi. Di lingkungan situs pilihan manusia prasejarah tersebut sudah tersedia secara alami bahan berupa bongkahan batu-batu besar yang mempermudah mereka dalam pembuatan artifak batu monumental, bahkan secara umum lokasinya tidak jauh dari sungai atau sumber air lainnya.
 Manusia pendukung budaya megalitik sudah mengenal dan bahkan sudah memanfaatkan alat kerja yang terbuat dari bahan logam. Mereka sudah memiliki kemampuan sangat baik dalam memahat batu-batu besar dengan sudut-sudut yang tajam atau runcing, dan secara bentuk patung-patung itu tampak sudah memiliki garis-garis kontur yang begitu dinamis. Untuk dapat menghasilkan artifak-artifak patung seperti itu tentunya membutuhkan mata pahat yang bukan sekedar terbuat dari batu api saja, namun menggunakan pahat bermata logam yang sangat memungkinkan untuk itu. Namun bila dilihat dari sifat, bentuk, dan termasuk perkiraan fungsinya, artifak-artifak megalitik itu memperlihatkan adanya kelanjutan dari budaya sebelumnya yakni zaman Batu Baru.
 Selain kecenderungan di atas, pada batu gores, gambar di dinding kubur batu maupun patung-patung batu besar tersebut, terlihat adanya atribut yang mengindikasikan terbuat dari bahan logam atau perunggu (nekara, pedang, gelang, kalung, dan anting-anting), baik yang dikenakan maupun sedang dibawa Artifak Purba Pasemah oleh orang atau tokoh seperti sosok yang mereka patungkan atau pahatkan. Para peneliti  juga menyebutkan, bahwa patung megalitik merupakan satu jenis artifak dari temuan tinggalan yang terbanyak jumlah satuannya, dibandingkan artifak megalitik lainnya di Pasemah.
 Ketika manusia awal memulai hidup dan kehidupannya di muka bumi, mereka adalah pioneer tentu sangat wajar bila dalam berbagai hal menyangkut kehidupannya masih hidup dalam taraf serba sederhana. Secara kodrati dalam hidupnya manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan baik yang bersifat material (fisik) maupun spiritual (rohani). Untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya itu, maka manusiapun menciptakan segala sesuatu sesuai kebutuhan atau membuat piranti sebagai alat bantunya. Keberadaan piranti-piranti itu ada yang berwujud (kongkrit) benda-benda dan ada pula yang tak berwujud (abstrak) seperti aturan-aturan, nilai-nilai, bahasa, kesenian, kepercayaan, dan sebagainya. Sehubungan dengan hal-hal yang menyangkut kebutuhan dan upaya pemenuhan kebutuhan hidup manusia itulah, yang kemudian dalam batasan tertentu disebut kebudayaan.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian pada temuan artifak purba para ahli prasejarah sepakat, bahwa pada saat kebudayaan Neolitikum masih berlangsung ternyata manusia prasejarah memiliki pula kecenderungan memanfaatkan batu besar dalam aktivitas kehidupannya, khususnya yang berkaitan dengan keberadaan “arwah” dalam aktivitas kerohaniannya. Penggunaan media yang berupa batu-batu besar dikenal sebagai era kebudayaan Batu Besar (Megalitikum). Tradisi penggunaan batu besar ini ternyata terus berlangsung hingga masuk ke zaman kebudayaan logam, bahkan menurut para ahli di zaman Logam inilah kebudayaan Megalitikum itu mencapai puncak kesempurnaannya, mengingat sudah dipergunakannya alat-alat yang terbuat dari bahan logam.
Dari patung-patung yang berobjek tunggal, jelas bahwa para pematung Pasemah di kala itu memang merupakan pematung batu yang handal dan berkualitas. Patung manusia membawa nekara di Belumai III termasuk salah satu dari artifak patung megalitik Pasemah yang kondisinya masih lengkap. Patung di Belumai III ini secara teknis juga tergolong sempurna, karena dilihat dari unsur-unsur visualnya seperti karakter garis, volume, tekstur, warna, dan bentuk.
 Patung megalitik di Pasemah berbeda dengan patung megalitik lainnya, sehinggga tidak dapat dijadikan objek pembanding bagi patung megalitik Nusantara. Pendapat ini diungkapkan oleh Haris Sukendar sebagai seorang pakar megalitik Indonesia, yang sepakat akan hal itu bahkan menambahkan, bahwa patung megalitik di Pasemah itu memiliki keunikannya yang “tersendiri” dan tidak dimiliki oleh patung megalitik lainnya yang sezaman. Lebih lanjut menurut Haris, di wilayah lain patung megalitik yang sezaman masih tergolong “arca menhir”, dicirikan dalam hal perwujudannya bersifat statis-frontal dan masih sederhana (cenderung lebih mengutamakan kepala), atau belum selengkap seperti perupaan sosok tubuh pada patung megalitik di Pasemah.
Pesona menhir di bumi Pasemah, membuktikan tingkat kemajuan peradaban kebudayaan leluhur zaman dahulunya,  dan menhir menhir ini menjadi museum alam yang mana dapat menjadi objek pendidikan buat generasi muda dalam memahami sejarah,budayanya,yang selanjutnya terbentuk pemikiran buat melindungi cagar budaya,melestarikan dalam tindakan penjagaan dari kerusakan kerusakan, secara jangka panjang pengamatan terhadap menhir pasemah di harapkan dapat membentuk karakteristik generasi yang paham akan budaya bangsanya.
#M. Ali Surakhman
http://haluanews.com/menelusuri-jejak-karya-leluhur-di-negeri-seribu-menhir-pasemah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar