#M. Ali Surakhman
Pasemah adalah satu wilayah di Kabupaten
Lahat dan Kota Pagaralam, Provinsi Sumatra Selatan. Daerah ini secara georafis
merupakan suatu wilayah dataran tinggi, dan posisinya masih satu rangkaian
dengan Bukit Barisan di pulau Sumatra. Hutan alam tropis dengan kondisi
perbukitan batu-batu cadas, merupakan satuan batuan beku dengan jenis batuan
andesit, dan dilalui oleh beberapa anak sungai (wilayah Batang Hari Sembilan),
adalah daerah yang subur dan sangat potensial bagi kehidupan masyarakat purba
atau prasejarah, dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup mereka yang secara
naluriah dan adaptif masih lebih mengandalkan ketersediaan bahan makanan dari
alam
Di bumi Pasemah ini banyak ditemukan
artifak purba tinggalan budaya Megalitikum (Batu Besar), seperti: Patung Batu,
Kubur Batu, Lukisan Dinding Kubur Batu, Batu Bergores, Gambar Gores di Dinding
Cadas, Dolmen, Lumpang Batu, Menhir, dan lain sebagainya. Wilayah sebar budaya
Megalitikum Indonesia ditemukan di beberapa tempat diantaranya: Sumatra, Nias,
Jawa, Bali, Sumba, Sulawesi, dan lain-lain. R.P. Soejono mengatakan, “di
Indonesia tradisi megalitik muncul setelah tradisi bercocok-tanam atau bertani food-froducing
mulai meluas, diperkirakan sejak zaman Neolitikum sampai dengan zaman Logam
– Perunggu”.
Luasnya wilayah sebar dan banyaknya temuan
artifak megalitik di bumi Pasemah ini, tentunya memunculkan banyak pula
permasalahan yang menarik untuk dikaji atau diungkapkan segala sesuatu yang
melingkupi patung megalitik peninggalan budaya prasejarah di Pasemah, baik
dalam hal perupaan, nilai estetis, makna simbolis, dan termasuk pula
nilai-nilai magis – mistis sesuai nilai-nilai kosmologi yang menyertainya.
Menurut para peneliti terdahulu seperti A.
N. J. Th. A. Th Van der Hoop (1930 – 1931), dikatakan bahwa di bumi Pasemah ini
ditemukan 22 (dua puluh dua) buah lingkungan situs megalitik dari masa
prasejarah. Demikian pula pada kegiatan survei situs-situs Megalitik di Kabupaten
Lahat – Provinsi Sumatra Selatan, yang dilakukan oleh tim peneliti dari Proyek
Balai Arkeologi 134 Erwan Suryanegara, et al.
Palembang di tahun 1996, dilaporkan bahwa
telah berhasil disuvei sebanyak 19 (sembilan belas) lingkungan situs.
Berdasarkan studi literatur ternyata tidak seluruh situs yang ada tersebut
memiliki artifak yang berupa patung megalitik, dan disebutkan pula bahwa di
beberapa situs yang memang memiliki artifak patung megalitik, sebagian kondisi
patungnya sudah tidak lengkap dan rusak berat, sehingga sangat sulit untuk
dikenali wujudnya.
Baik di wilayah kabupaten Lahat maupun di
kota Pagaralam, seperti situs Belumai, Geramat, Karang Dalam, Muara Danau,
Pagaralam Pagun, Tanjung Ara, Tanjung Sirih (oleh beberapa peneliti sebelumnya
sering disebut juga sebagai situs Pulaupanjang), Tanjung Telang, Tebat
Sibentur, Tebing Tinggi, Tegur Wangi, dan Tinggi Hari. Di antara beberapa situs
tersebut ada yang kondisi patungnya rusak parah, bahkan sebagian besar
kepalanya sudah hilang, sehingga akan menyulitkan ketika melakukan identifikasi
secara men-detail. Ada juga yang patungnya sebagian besar masih terkubur
di dalam tanah atau belum diangkat ke permukaan, serta dijumpai pula beberapa
situs yang memang tidak memiliki artifak patung megalitik.
Menurut Van der Hoop, umumnya material
batuan yang ada di bumi Pasemah tergolong batuan beku dari jenis batuan
“andesit”, yang secara visual ciri-cirinya dapat dikenali melalui warna
batu-batuan tersebut. Batuan jenis andesit ini cenderung berwarna putih keabu-abuan
menuju kehitam-hitaman, biru gelap, kuning, dan atau coklat kemerah-merahan.
Berdasarkan analisis kimiawi yang dilakukan oleh Colonial Institute, Amsterdam
yang bekerja sama dengan Mineralogical and Geological Institute of The State –
University, Utrecht, terhadap batuan yang contohnya berasal dari situs Tegur
Wangi, dapat diketahui bahwa jenis batuan andesit di Pasemah ini terbentuk atas
senyawa beberapa unsur kimia seperti: SiO2, Pb, Ca, Na, Fe, Al, dan K. Batuan
beku jenis batuan andesit ini memang tergolong jenis batu yang baik untuk
dijadikan bahan pembuatan patung .
Bila memperhatikan secara keseluruhan
wilayah sebaran situs-situs megalitik di bumi Pasemah, akan tampak adanya
kepekaan tertentu pada masyarakat prasejarah Pasemah dalam memilih lokasi. Di
lingkungan situs pilihan manusia prasejarah tersebut sudah tersedia secara
alami bahan berupa bongkahan batu-batu besar yang mempermudah mereka dalam
pembuatan artifak batu monumental, bahkan secara umum lokasinya tidak jauh dari
sungai atau sumber air lainnya.
Manusia pendukung budaya megalitik sudah
mengenal dan bahkan sudah memanfaatkan alat kerja yang terbuat dari bahan
logam. Mereka sudah memiliki kemampuan sangat baik dalam memahat batu-batu
besar dengan sudut-sudut yang tajam atau runcing, dan secara bentuk
patung-patung itu tampak sudah memiliki garis-garis kontur yang begitu dinamis.
Untuk dapat menghasilkan artifak-artifak patung seperti itu tentunya
membutuhkan mata pahat yang bukan sekedar terbuat dari batu api saja, namun
menggunakan pahat bermata logam yang sangat memungkinkan untuk itu. Namun bila
dilihat dari sifat, bentuk, dan termasuk perkiraan fungsinya, artifak-artifak
megalitik itu memperlihatkan adanya kelanjutan dari budaya sebelumnya yakni
zaman Batu Baru.
Selain kecenderungan di atas, pada batu gores, gambar di dinding
kubur batu maupun patung-patung batu besar tersebut, terlihat adanya atribut
yang mengindikasikan terbuat dari bahan logam atau perunggu (nekara, pedang,
gelang, kalung, dan anting-anting), baik yang dikenakan maupun sedang dibawa
Artifak Purba Pasemah oleh orang atau tokoh seperti sosok yang mereka patungkan
atau pahatkan. Para peneliti juga
menyebutkan, bahwa patung megalitik merupakan satu jenis artifak dari temuan
tinggalan yang terbanyak jumlah satuannya, dibandingkan artifak megalitik
lainnya di Pasemah.
Ketika manusia awal memulai hidup dan
kehidupannya di muka bumi, mereka adalah pioneer tentu sangat wajar bila
dalam berbagai hal menyangkut kehidupannya masih hidup dalam taraf serba
sederhana. Secara kodrati dalam hidupnya manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan
baik yang bersifat material (fisik) maupun spiritual (rohani). Untuk pemenuhan
kebutuhan-kebutuhannya itu, maka manusiapun menciptakan segala sesuatu sesuai
kebutuhan atau membuat piranti sebagai alat bantunya. Keberadaan
piranti-piranti itu ada yang berwujud (kongkrit) benda-benda dan ada pula yang
tak berwujud (abstrak) seperti aturan-aturan, nilai-nilai, bahasa, kesenian,
kepercayaan, dan sebagainya. Sehubungan dengan hal-hal yang menyangkut
kebutuhan dan upaya pemenuhan kebutuhan hidup manusia itulah, yang kemudian
dalam batasan tertentu disebut kebudayaan.
Berdasarkan
hasil-hasil penelitian pada temuan artifak purba para ahli prasejarah sepakat,
bahwa pada saat kebudayaan Neolitikum masih berlangsung ternyata manusia
prasejarah memiliki pula kecenderungan memanfaatkan batu besar dalam aktivitas
kehidupannya, khususnya yang berkaitan dengan keberadaan “arwah” dalam
aktivitas kerohaniannya. Penggunaan media yang berupa batu-batu besar dikenal
sebagai era kebudayaan Batu Besar (Megalitikum). Tradisi penggunaan batu besar
ini ternyata terus berlangsung hingga masuk ke zaman kebudayaan logam, bahkan
menurut para ahli di zaman Logam inilah kebudayaan Megalitikum itu mencapai
puncak kesempurnaannya, mengingat sudah dipergunakannya alat-alat yang terbuat
dari bahan logam.
Dari patung-patung yang berobjek tunggal,
jelas bahwa para pematung Pasemah di kala itu memang merupakan pematung batu
yang handal dan berkualitas. Patung manusia membawa nekara di Belumai III
termasuk salah satu dari artifak patung megalitik Pasemah yang kondisinya masih
lengkap. Patung di Belumai III ini secara teknis juga tergolong sempurna,
karena dilihat dari unsur-unsur visualnya seperti karakter garis, volume, tekstur,
warna, dan bentuk.
Patung
megalitik di Pasemah berbeda dengan patung megalitik lainnya, sehinggga tidak
dapat dijadikan objek pembanding bagi patung megalitik Nusantara. Pendapat ini
diungkapkan oleh Haris Sukendar sebagai seorang pakar megalitik Indonesia, yang
sepakat akan hal itu bahkan menambahkan, bahwa patung megalitik di Pasemah itu
memiliki keunikannya yang “tersendiri” dan tidak dimiliki oleh patung megalitik
lainnya yang sezaman. Lebih lanjut menurut Haris, di wilayah lain patung megalitik
yang sezaman masih tergolong “arca menhir”, dicirikan dalam hal perwujudannya
bersifat statis-frontal dan masih sederhana (cenderung lebih mengutamakan
kepala), atau belum selengkap seperti perupaan sosok tubuh pada patung
megalitik di Pasemah.
Pesona menhir di bumi Pasemah, membuktikan
tingkat kemajuan peradaban kebudayaan leluhur zaman dahulunya, dan menhir menhir ini menjadi museum alam yang
mana dapat menjadi objek pendidikan buat generasi muda dalam memahami
sejarah,budayanya,yang selanjutnya terbentuk pemikiran buat melindungi cagar
budaya,melestarikan dalam tindakan penjagaan dari kerusakan kerusakan, secara
jangka panjang pengamatan terhadap menhir pasemah di harapkan dapat membentuk
karakteristik generasi yang paham akan budaya bangsanya.
#M. Ali Surakhman
http://haluanews.com/menelusuri-jejak-karya-leluhur-di-negeri-seribu-menhir-pasemah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar