#M. Ali Surakhman
Bagi pengarang, catatan peristiwa merupakan serpihan korpus inspirasi, seterusnya menjelma menjadi sebuah ide dasar suatu cerita dalam bentuk karya sastra. Menjadi sebuah karya fiksi yang akan bercampur baur dengan kuantitas, kualitas imajinasi serta pengalaman batin pengarangnya. Maka, cerpenis, novelis pun bermunculan dengan karyanya yang secara tulus membuahkan cerita anak manusia dalam bentuk komedi, tragedi atau bahkan romantis. Yang diwakilkan oleh karakter tokoh yang tercipta atas inspirasi dunia realitas.
Lain halnya dengan penyair atau pujangga yang adalah seseorang yang bernapas dengan rangkaian kata-kata dalam pergulatan dirinya menukil makna teks sebagai karya kesusastera. Tiap berkas kisah yang ada dicerabut akar peristiwanya, lalu dipilah-pilah menjadi serpihan ide tekstual yang akan menggugah perasaan pula logika apabila dibaca, sebagai bait-bait kata yang bersayap.
Pengarang dan penyair memiliki ibu bahasa yang sama, yakni bahasa Indonesia, akan tetapi remah filsafatnya saja yang berbeda. Sehingga terdapat dua taksonomi karya sastra yang berbeda dalam satu atap kesusastra Indonesia. Penyair menggali aset konotasi yang denotatif serta bentuk-bentuk kiasan dalam bahasa Indonesia, untuk menerangkan keindahan dari suatu realitas yang pedih sekalipun melalui teks-teks malaikat. Ruh dalam teks malaikat yang demikian itu lebih menekankan pada ungkapan rasa dan cita rasa imajinasi yang berelaborasi dengan pengalaman batin dirinya sebagai penyair. Dengan demikian, teks-teks puisi atau sajak lebih padat dan kompleks, dan atau multi-hermeneutis kehadirannya.
Pengarang dan penyair memiliki ibu bahasa yang sama, yakni bahasa Indonesia, akan tetapi remah filsafatnya saja yang berbeda. Sehingga terdapat dua taksonomi karya sastra yang berbeda dalam satu atap kesusastra Indonesia. Penyair menggali aset konotasi yang denotatif serta bentuk-bentuk kiasan dalam bahasa Indonesia, untuk menerangkan keindahan dari suatu realitas yang pedih sekalipun melalui teks-teks malaikat. Ruh dalam teks malaikat yang demikian itu lebih menekankan pada ungkapan rasa dan cita rasa imajinasi yang berelaborasi dengan pengalaman batin dirinya sebagai penyair. Dengan demikian, teks-teks puisi atau sajak lebih padat dan kompleks, dan atau multi-hermeneutis kehadirannya.
Berangkat dari paradigma dasar tersebut di atas, maka penulis akan mencermati fenomena yang sedang menjamur di ranah puisi-puisi saat ini. Dengan catatan, bahwa mazhab yang terlibat di dalamnya terjadi suatu hubungan lintas generasi dan bahasa jamannya. Ini menjadi menarik bila dilihat dari kecenderungan penulisan puisi orde sekarang yang terserap oleh tema-tema sosialisme yang religius. Bahwa dunia keseharian dengan bahasanya yang sederhana telah nyata-nyata membumi di dunia perpuisian. Yang kemudian mendorong penyair-penyair baru untuk berkarya dengan teks-teks sejenis puitis ini. dalam konteks kepenyairan ini, seseorang yang hidup di dalamnya lebih terbuka dan mengasah fikir dan rasanya terhadap beragam peristiwa yang ditemuinya di jalan, di rumah, di ruang-ruang publik. Salah satu kekayaan magis dari dunia keseharian adalah bahasa yang hidup.
Metafora atau personifikasi yang dikodifikasi oleh penyair itu diambilnya dari kisah manusia yang hidup di lingkungan masyarakat Yogyakarta, dengan konsep juxtaposisi, asosiatif atau bisosiatif, seperti yang termuat dalam karya Romo Sindhunata misalnya. Penyair lain yang muncul dan mendapat penghargaan dengan karya-karyanya adalah Joko Pinurbo. Pada beberapa karaya penyair, bahasa sehari-hari bisa langsung diadopsi menjaadi bait-bait puisi. Pasalnya, pembaca karya sastra ini tidak keberatan dengan gaya bahasa seperti demikian. Malahan muncul wacana bahwa puisi yang muncul pada jaman sekarang, justru lebih mengakar dan akrab dengan dunia pembaca. Karena doktrin bahasa yang melulu bermetafora yang agak sulit dibaca dan menangkap artinya justru telah ditinggalkan. Ini berlaku pada karya-karya Joko Pinurbo. Namun demikian, puisi-puisi yang lirih dan seindah syair dengan pola rima yang kental masih juga diterima oleh kalayak pembaca dengan sebaik karya yang lainnya. “Ikan Terbang Tak Berkawan,” kumpulan puisi Warih Wisatsana misalnya, saya membaca kumpulan puisi itu begitu kentara racikan rasa pada diksi dan rimanya. Yang sepintas terkesan seperti syair yang mengisahkan pengalaman penyairnya dengan dunia manusia yang sangat humanis. Dalam sebuah wacana perihal identitas karya dalam tulisan Agus Hernawan (28/3 – Media Indonesia) coba membaca pemetaan karya dari setiap jaman, bahwa setiap generasi dengan karya menunjukan identitas dirinya yang terbebas dari dikotomi bahwa paradigma ‘pengikut’ masih menjamur.
Puisi menemukan ruang kreatif yang bebas dan terbuka. Siapapun boleh jadi penyair, walaupun mungkin orang mengenalnya sebagai penulis novel atau penulis cerita. Karena tidak sedikit cerpen atau novel yang diterbitkan itu sangat puitis sebagai sebuah puisi yang panjang. Maka biarlah puisi terus berpuisi dimana pun mereka hadir sebagai karya jenis apa. Dengan korpus inspirasinya mengambil dari dunia realitas atau peristiwa keseharian. Karena puisi tak bisa dipisahkan dengan manusia pembaca yang merasa terwakilkan perasaan keindahannya terhadap puisi-puisi yang dibacanya.
Tetapi saya lebih melihat itu sebagai sebuah catatan sejarah saja. Yang penting saat ini dan kemudian hari adalah bagaimana karya sastra tetap diperlakukan sebagai karya sastra. Tidak lagi diperlakukan sebagai suatu produk suatu orde yang kemunculannya disokong oleh kekuasaan politik penguasa kesusastra di jamannya. Penyair itu bebas, tidak terikat oleh kelompok-kelompok yang berpretensi menjadi agen kesusastra penguasanya, karena kehadirannya berada di tengah masyarakat dengan segala persoalan hidup mereka yang pelik.
Puisi menurut saya adalah bahasa sejarah itu sendiri. Dari karya itu kita bisa melihat bagaimana manusia hidup, mengahadapi dan menyelesaikan persoalan yang menghadangnya. Karena puisi adalah bahasa nurani, dimana kejujuran, ketulusan manusia dan geliat jiwa yang tak teruraikan ada, namun coba dihidupkan melalui kata-kata. Kehadiran puisi di tengah kehidupan kita merupakan cermin siapa sebenarnya diri kita? Karenanya puisi selalu dicari, dibaca, dimaknai, dan diartikan layaknya pertanyaan hidup yang seringkali tidak terjawab. Namun justru jawaban itu bersembunyi di balik keindahan sebuah puisi. Dimana kekuatan-kekuatan alam yang tak terbaca oleh kasat mata itu dihirup sebagai udara oleh seorang penyair, lalu dihembuskannya di atas sebuah kertas menjadi kekuatan magis yang lahir dari suatu realitas.