Di
Afrika Sejarah minuman kopi dimulai sekitar tahun 800 SM. Pada saat itu, banyak
warga Ethiopia yang mengkonsumsi biji kopi yang dicampur dengan lemak hewan dan
anggur untuk memenuhi kebutuhan protein dan energi tubuh. Berdasarkan legenda,
seorang pengembala yang bernama Khallid dari Ethiopia, secara tidak sengaja
mengamati sekawanan kambingnya yang tetap terjaga dan selalu kuat dalam
menempuh perjalanan,setelah memakan sejenis buah berry, meskipun matahari telah
terbenam.Lalu si pengembara ini mencoba mengkonsumsi biji yang juga dimakan
oleh kawanan kambingnya itu dan biji itu ternyata biji kopi liar. Setelah
beberapa ratus tahun berkembangnya kabar kopi di Ethiopia, barulah kopi ini
dibawa melalui Laut Merah menuju Arab, dan disajikan dengan metode pengolahan
yang lebih canggih pada saat itu.
Penyebaran
Kopi di Arab Bangsa Arab, memiliki peradaban yang lebih maju dari pada Afrika
pada saat itu, tidak hanya memasak biji kopi, tetapi juga direbus untuk
mengambil sarinya. Salah satu catatan tertulis pertama bercerita tentang Syeikh
Omar, yang membawa kopi ke kota Mochapada tahun 1250.Kota ini sering disebut
Mukhayang sekarang berada di Yaman modern.
Kedai
kopi pertama di dunia dibuka di Makkah pada awal abad ke 15. Kedai kedai itu
adalah tempat yang nyaman, dan tempat orang-orang memanjakan diri dan
berdiskusi politik sambil menghadapi secangkir kopi. Pada tahun 1600, seorang
peziarah bernama Baba Budan berhasil membawa biji kopi fertile keluar dari
Mekkah, dan menumbuhkannya di daerah luar Ara Di Indonesia sendiri,
catatan tertulis menunjukkan bahwa Gubernur Belanda di Malabar, India mengirim
bibit kopi Yaman atau kopi arabika kepada Gubernur Belanda di Batavia (yang
sekarang dikenal Jakarta) pada tahun 1696. Bibit pertama gagal tumbuh
dikarenakan banjir di Batavia pada saat itu. Pengapalan kedua biji kopi ke Batavia
dilaporkan terjadi pada tahun 1699. Dan tanaman ini berhasil tumbuh pada tahun 1711,
dan ekspor pertama dikirim dari Jawa ke Eropa oleh perusahaan dagang Belanda
yang dikenal dengan VOC (Verininging Oogst Indies Company) yang didirikan pada
tahun 1602.
Selama 10 tahun, ekspor meningkat menjadi 60 ton
pertahun, dan Indonesia adalah tempat pertama kali kopi dibudidayakan secara
luas diluar Arab dan Ethiopia. Kopi tersebut dikapalkan ke Eropa melalui
pelabuhan Batavia.Pada tahun 1700, kopi yang dikapalkan dari Batavia dijual
seharga 3 Guilders per kilogramnya di Amsterdam. Income tahunan Belanda di
tahun itu sekitar 200-400 Guilders, hal ini sebanding dengan beberapa ratus
dollar tiap kilogram saat ini. Di akhir abad 18 harga jatuh menjadi 0,5 Guilders
per kilogram dan tradisi minum kopi meluas mulai dari kalangan elit sampai
masyarakat kebanyakan.
Di pertengahan abad 17,
VOC mengembangkan area tanam kopi arabika di Sumatera, Bali, Sulawesi, dan
Kepulauan Timor. Di Sulawesi kopi pertama kali di tanam tahun 1750. Di dataran
tinggi Sumatera Utara, kopi pertama kali tumbuh di dekat Danau Toba pada tahun
1888, diikuti oleh dataran tinggi Aceh (Gayo) dekat Danau Laut Tawar pada tahun
1924.
Kopi Di Kerinci.
Sejak 1906 Kerinci
dipertahankan sebagai daerah otonom, dalam arti tidak termasuk bagian dari
Sumatera Barat dan bukan juga bagian dari Jambi sebagaimana yang dikenal saat
ini. Karena struktur tanahnya yang banyak mengandung alluvial, granite dan
andesit di dataran tinggi Kerinci Utara dan Kerinci Selatan menyebabkan tanah
di kawasan ini sangat cocok untuk ditanami aneka tanaman perkebunan untuk
eksport seperti teh, kopi, kina, dll. Disamping itu semua jenis sayur mayur
dapat tumbuh dan hidup dengan subur di dataran tinggi alam Kerinci.
Sebelum tahun 1924,
hampir seluruh tanah “erfpacht perceel” di daerah Sumatera Barat termasuk
Kerinci dilakukan penanaman Kopi, pada awal tahun 1924 dilakukan penggantian
tanaman kopi, karena pada saat itu harga kopi dipasaran internasional kurang
memuaskan dan pada saat itu terjadi serangan penyakit yang menyerang tanaman
kopi. Keadaan tersebut menyebabkan munculnya penanaman teh dan kina di daerah
Keresidenan Sumatera Barat, sebenarnya jauh sebelumnya yakni tahun 1903 telah
dilakukan penanaman teh dan Kopi di Pulau Sumatera di daerah Akar Gadang ( 1903
) dan Kebun Kina di Kebun Taluk Gunung (1907), namun usaha perkebunan tersebut
belum dilakukan secara optimal. Penanaman secara besar-besaran mulai dilakukan
setelah tahun 1924. Khusus untuk perkebunan teh di wilayah Keresidenan Sumatera
Barat mencapai 5.473.925 hektar dan lahan kopi seluas 831 hektar yang merupakan
lahan “erfpacht”. Untuk hasil perkebunan teh pada saat itu cukup menggembirakan
dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan lainnya.
Pada masa Kolonial
Belanda di alam Kerinci terdapat pusat Onderneming dengan 3 lokasi perkebunan
yang dibangun oleh Belanda yakni Kopi di kawasan Batang Merangin (1928), Kina
dan teh di Pulau Sangkar dan Kayu Aro.
Untuk mewujudkan
pembangunan kebun Kopi, kina dan teh pada tiga lokasi onderneming tersebut,
Belanda mendatangkan tenaga kerja (Koeli Kontrak) dari pulau Jawa. Usaha
perkebunan Kopi Belanda membuka lahan perkebunan di kawasan Pematang Lingkung
Batang Merangin, bedeng 4,5,6,7,8 dan bedeng 12. untuk Kina/Teh dibanggun
pemukiman di kebun baru dan kebun lima, sementara untuk teh dan kopi di wilayah
Kebun Baru-Pulau Sangkar dan Batang Merangin, dan teh pembangunan dihentikan
dan dibangun di kawasan Kayu aro di kaki Gunung Kerinci dengan pusat di kawasan Bedeng
VIII, Sungai Jambu, Kersik Tuo hingga ke kaki gunung Kerinci
Namun
sebelum belanda tanaman kopi di Kerinci sudah ada, berdasarkan catatan William
Marsden seorang pegawai EIC ( East India Company) dalam bukunya History Of
Sumatera 1780, ia bersama adiknya seorang Dokter John Marsden dan rekan rekannya di Bengkulu Charles Miller dan
John Chrisp yang punya peranan penting memberi informasi sebelum William datang
lansung, di bukunya William Marsden menulis, ia menemukan tanaman kopi sudah
banyak di tanam oleh penduduk setempat di daerah Bengkulu dan Kerinci, namun
kualitasnya jelek, dan jarak tanamnya terlalu dekat dan tidak beraturan, dalam
catatan lain seorang Kapten Belanda 1902, menyebutkan masyarakat Kerinci sudah
ada tradisi minum kopi, namun tidak buahnya tapi dari daunnya yang di tuang di
dalam bambu.
Dalam
tradisi masyarakat dataran tinggi Kerinci, daun kopi di kenal dengan “Minun
Kawoa”, Kawoa atau Kawa untuk pengertian masyarakat Kerinci adalah Kopi
Daun, Daun Kopi muda yang sudah melalui
proses penjemuran dan pengasapan. Kemudian diseduh di dalam tabung kawoa, yang
terbuat dari bambu betung tua dan pegangannya dari kayu sigi (Pinus Strain
Merkusi) atau kayu Pacat endemik Kerinci, serta di minum di batok kelapa di
campur gula enau (Aren).
Kalau di tilik dari tradisi minun kawoa tanaman kopi sudah ada di Kerinci sejak abad ke 14
mungkin bisa jadi diatas abad 14, kenapa penulis mengatakan tradisi minun kawoa
sudah ada sejak abad 14, sesuai temuan tabung kawo di dusun Sungai Penuh, yang
menurut antropolog Leiden University Dr. Jet Bakels, yang meneliti di Kerinci
tahun 1992-1996, ragam hias di tabung kawoa tersebut sama dengan ragam hias
temuan gerabah dan arsitektur traditional Kerinci, tapi yang pastinya belum ada
uji karbon atau carbon dating tentang ini.
Hubungan motif atau ragam hias “tabung kawoa” dengan temuan
arkeologi dari zaman perunggu, ada baiknya sedikit kita ulas tentang kebudayaan
perunggu ini, bukti arkeologi menunjukkan bahwa artefak logam tertua ditemukan
di Turki yang diperkirakan berasal dari tahun millennium ke 6 SM (Haryono,
2001: 2). Sementara itu, di Asia Tenggara zaman logam diperkirakan di mulai pada tahun 2000 SM. Hal
ini berdasarkan pada tinggalan-tinggalan produk budaya bendawi berupa artefak
logam perunggu yang ditemukan di
Thailand (Haryono, 2001). Van-Heekeren
(1958:1) mengemukakan bahwa di Indonesia tidak dikenal adanya zaman tembaga
atau zaman perunggu karena temuan perunggu di Indonesia pada umumnya terdapat
pada lapisan yang sama dengan temuan besi, karena itu dia menggunakan
terminologi zaman perunggu-besi untuk menyatakan zaman logam di Indonesia.
Heekeren juga berpendapat bahwa kebudayaan perunggu Indonesia
berasal dari luar yaitu dari Dong Son, wilayah Vietnam Utara saat ini. Para
ahli berbeda pendapat dalam hal ihwal kapan dimulainya zaman perunggu di
wilayah Dong Son, namun H. Geldern menduga bahwa masa perunggu Dong Son di
mulai sekitar abad ke-8 dan ke-7 SM
(Haryono, 2001: 50). Berbagai bentuk budaya Dong Son telah diimpor ke
Nusantara di masa perundagian, baik itu yang sifatnya bendawi maupun ilmu
pengetahuan dalam teknik pembuatannya. Menurut Hoop (1932) masuknya logam di
Indonesia diperkirakan pada tahun 500-300 SM.
Di antara artefak logam temuan Indonesia yang menunjukkan
ciri kentara pengaruh kebudayaan Dong Son adalah nekara perunggu, kapak
perunggu, patung perunggu, dan bejana perunggu. Pada masa selanjutnya artefak
perunggu sudah diproduksi secara lokal seperti contohnya nekara tipe pejeng
ataupun moko yang ditemukan di Bali dan Nusa Tenggara Timur (Bintarti,
2001). Bejana perunggu salah satu produk
budaya bendawi masa perundagian, telah menjadi objek peneilitian menarik dalam
ilmu arkeologi. penelitian yang berkembang hanya menyangkut aspek teknis untuk
mengetahui bagaimana bejana dibuat pada masa silam atau lebih menekankan
analisis bahan dengan pendekatan saintifik untuk melihat bagaimana persamaan
komposisi bahannya dengan artefak perunggu lainnya yang dihubungkan dengan
paradigma difusi. Sayangnya, dari sisi keartistikan dan estetika dengan
berbagai motif indah pada permukaan bejana sedikit sekali peneliti yang
berminat untuk mengkajinya.
Haffiful Hadi Suliensyar dalam kajian ragam hias bejana
perunggu di Kerinci menyatakan : dalam pola dan ragam hias yang ada pada bejana
menunjukkan ciri khusus yang ada padanya.
Van-Heekeren (1958) mencatat bahwa kajian-kajian terhadap bejana
perunggu yang telah dilakukan pada saat itu hanya terbatas pada deskripsi
bentuk, motif hias dan teknik pembuatannya saja. Analisis bahan hanya dilakukan
pada satu objek bejana saja yaitu yang ditemukan di Asemjaran, Madura.
Sementara itu, Sumardjo (2002) pernah melakukan penafsiran terhadap makna pola hias bejana perunggu Kerinci secara
hermeneutis-historis. Setelah itu, penulis belum menemukan referensi
tentang kajian-kajian berikutnya dengan
objek bejana perunggu tersebut. Ahimsa-Putra
(1999) dalam artikelnya telah menawarkan cara baru dalam mengupas masalah masalah
arkeologi terutama arkeologi semiotik, yaitu melalui pendekatan strukturalisme
Levi Strauss. Lebih lanjut Tanudirjo (2016) mengemukakan bahwa analisis
struktural mencoba menemukan prinsip-prinsip dasar pikiran manusia sebagaimana
yang tertuang dalam unsur budaya dominan seperti pola perkampungan, pola
hiasan, kekerabatan mitos dan lainnya.
Penulis mencoba menggunakan cara analisis dengan pendekatan
struktural Levi-Strauss pada objek bejana perunggu dengan tujuan untuk
mengetahui makna dan struktur apa yang terdapat dalam motif hias bejana-bejana
perunggu yang ditemukan di Kerinci.
Pendekatan struktural dalam arkeologi dapat didefinisikan
sebagai penafsiran data arkeologi yang didasari oleh anggapan bahwa tindakan
manusia dipadu oleh kepercayaan dan konsepsi simbolis yang sebenarnya berakar
dari struktur pikiran manusia (Tanudirjo, 2016). Dalam perspektif arkeologi
(terutama pasca-prosesual), budaya dianggap sebagai struktur simbol yang dianut
bersama dan merupakan hasil akumulasi hasil pikir manusia. Analisis struktural
yang dilakukan bertujuan untuk
menemukan prinsip-prinsip dasar pikiran manusia yang tertuang
dalam unsur-unsur budaya dominan seperti budaya bendawi (Tanudirjo, 2016).
Ada beberapa premis dalam strukturalis yang dikemukakan oleh
Tanudirjo. Pertama, ada pola pikir manusia yang berulang-ulang dalam
tindakan-tindakan yang akhirnya memberi ciri khas pada suatu budaya tertentu. Kedua, struktur
pikiran dalam suatu lingkungan budaya tertentu secara terpadu melatarbelakangi
berbagai aspek kehidupan manusia dalam. Ketiga, pola pikiran disatu aspek
kehidupan akan tercermin dalam aspek kehidupan lain, misalnya pola hias pada
bejana perunggu mencerminkan pola religi masyarakat pendukungnya.
Dari serangkaian konsepkonsep yang dikemukakan oleh
Levi-Strauss, dikatakan bahwa benda-benda arkeologis juga dapat dianalisis
seperti yang dilakukan oleh ahli bahasa. Hal ini bila dilihat dari perspektif
bahwa artefak-artefak atau materi kebudayaan bukan sekedar diciptakan untuk
tujuan ekonomis semata, tetapi merupakan suatu sistem simbol dan sistem tanda.
Melalui benda-benda tinggalan tersebut dapat diungkap ide-ide, pandangan
mereka, yang semuanya merupakan pesan yang bersifat sosial ataupun individual
(Ahimsa-Putra, 1999b).
Motif ragam hias bejana perunggu di Kerinci yang terdapat di
tabung Kawoa, adalah motif tumbuhan dan ragam hias segitiga (tumpal),
bentuk huruf kapital ‘J’ dan motif
spiral pada dasarnya tidak hanya ditemukan pada pada bejana perunggu saja
tetapi terdapat pula pada produk-produk bendawi lainnya yang dihasilkan oleh
berbagai etnik di Nusantara seperti pada ukiran kayu dan motif kain
tradisional. Suku Kerinci yang mendiami
Dataran Tinggi Jambi menyebut motif segitiga (tumpal) dengan sebutan motif
pucuk rebung, dan motif huruf ‘J’
disebut dengan motif keluk paku.
Motif ini diambil dari dua jenis tumbuhan yaitu tumbuhan paku-pakuan
dan tumbuhan bambu. Seperti yang diketahui bahwa tumbuhan paku memiliki ciri
khas dengan daun yang masih muda menggulung. Pola-pola relung daun paku muda
inilah yang dinamakan sebagai motif keluk paku oleh orang Kerinci. Sementara
itu, tunas bambu muda akan terlihat berpola seperti segitiga. Motif berbentuk
pola-pola segitiga (tumpal) dikatakan sebagai motif pucuk rebung. Baik bambu
maupun pakis keduanya adalah dua jenis tanaman yang banyak dijumpai di daerah
Kerinci. begitu pula dengan wilayah lainnya di Indonesia yang beriklim tropis
basah.
Tanaman pakis dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh
beberapa suku di Indonesia sama halnya dengan rebung. Akan tetapi tanaman bambu
lebih banyak dimanfaatkan dalam berbagai hal. Tanaman paku-pakuan merupakan
tanaman yang berkembang biak sangat cepat terutama pada iklim tropis basah.
tanaman paku muda tumbuh melalui spora yang tersebar dari tanaman induknya. Hal
ini menjadikan tanaman paku memiliki nilai filosofis tersendiri bagi orang
Kerinci. Istilah adat mereka menyebutkan istilah patah tumbauh ila bagentoi (patah tumbuh hilang berganti) dan mati so tumbu saribu (mati satu akan
tumbuh seribu), kedua kalimat adat diterjemahkan bahwa segala sesuatu yang
sudah mati tidak akan lenyap begitu saja tetapi akan terus meregenerasi menjadi
ratusan bahkan ribuan pengganti yang lebih baik.
Secara singkat, motif keluk paku menjadi lambang bagi
kesuburan. Oleh karena tunas paku
menjadi lambang kesuburan bagi suku Kerinci, motif ini juga terdapat pada
ukiran-ukiran kayu di rumah dan lumbung padi mereka.
Motif Hias Pucuk Rebung pada Naskah Surat Incung,
suku Kerinci memanfaatkan potongan bambu sebagai atap rumah. Bambu yang dipecah
disebut pelupuh digunakan sebagai dinding dan lantai rumah (Schefold, 2008). P.
Voorhoeve (1970) mengatakan bahwa surat Incung orang Kerinci yang berisi
ratapan-ratapan ditulis pada media tabung bambu karena bambu dinilai mempunyai
daya magis.
Motif spiral dalam masyarakat Kerinci disebut sebagai motif
pilin (Rassuh, 2008), Melihat bahwa dalam motif ini, pola relung paku berada
pada sisi berbeda dan arah hadap berlawanan tetapi disatukan dalam batangan
lurus, kemungkinan merupakan simbol dari penyatuan oposisioposisi yang ada di
alam semesta. Sumardjo (2002: 121) menyebutkan bahwa motif huruf S (spiral)
sebagai lambang dari perpaduan antara lelaki (sifat maskulin) dan perempuan
(sifat feminin) sehingga mewujudkan sebuah harmoni atau keselarasan
semesta.
Motif Persegi Hal yang paling menonjol dalam motif persegi
ini adalah munculnya pola bilangan empat seperti empat buah sisi dan empat buah
sudut yang menjadi pembentuk pola persegi.
Bilangan empat ini banyak muncul dalam aspek sosial-budaya berbagai
etnik di Nusantara. Suku Kerinci dalam tatanan adat mereka mengenal istilah kato nan mpat, negeri nan mpat,
undang-undang nan mpat, adat nan mpat, lembago nan mpat, dan parbokalo bungkan
yang barempat (Yakin, 1986; Zakaria: 1984). Istilah parbakalo bungkan yang
barempat misalnya merujuk kepada empat orang yang dipilih sebagai dewan
pertimbangan dalam pemerintahan adat Kerinci, ke empat orang ini ditempatkan
dalam empat sisi permukiman sebagai lambang keseimbangan.
Bukti lainnya tanaman kopi sudah
ada di Kerinci sejak abad 14 adalah naskah kuno Melayu pasca pallawa Kitab
Undang Undang Tanjung Tanah (KUUTT) sebagai naskah transkrip Melayu tertua di
dunia, yang terdapat di Tanjung Tanah Kerinci, yang sudah ada uji dating
carbonnya, pertama kali di kaji oleh Dr. P. Voorhoeve tahun 1941, kemudian Prof. Uli Kozok, filologi asal Jerman, telah mengejutkan dunia
penelitian bahasa dan sejarah kuno Indonesia. Lewat temuan sebuah naskah Malayu
kuno di Kabupaten Kerinci, yang ia lihat pertama kali di tangan penduduk pada
2002, "Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah" yang ditemukan Kozok
merupakan naskah pertama yang menggunakan aksara Pasca-Palawa berdasar uji
radio karbon di Wellington, New Zealand naskah ini diperkirakan dibuat pada
zaman Kerajaan Adityawarman di Saruwasa (Tanah Datar, Sumatera Barat) antara
1345 hingga 1377.
Dalam naskah itu disebutkan bahwa Kerinci sudah menjadi pusat
pertanian dan perkebunan karena kesuburan tanahnya. Komoditas yang menjadi
andalan adalah teh, sayur mayur, kayu manis dan kopi. Ini membuktikan bahwa
tradisi minun kawa sudah ada sebelum Belanda datang, dan dalam naskah tersebut
di tulis oleh Kuja Ali gelar Depati Selunjur Alam Kerinci, dari nama tersebut
masyarakat Kerinci kuno sudah kontak dengan para pedagang Timur Tengah, bisa
jadi kopi dibawa oleh pedagang Timur Tengah tersebut, karena ditilik dari
sejara awal kopi, adalah minuman sakral para ahli tasauf, dan Islam awal di
Kerinci adalah Islam dengan kajian tasauf, yang juga dibuktikan dengan isi
tambo tambo aksara incung.
Bukti arkeologis lain masyarakat Kerinci kuno sudah
mengadakan hubungan dagang dengan bangsa luar adalah temuan benda keramik Cina dari
dinasti Han (abad ke-1 – 3 M) yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta, yang menurut
Abu Ridho, ketiga benda keramik tersebut berupa bejana penjenazahan dari
dinasti Han (abad 1 – 2 M), mangkuk sesaji dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M),
dan guci tempat anggur bertutup dari dinasti Han (abad 1 – 2 M) (1979:105 –
118).
Pengaruh kebudayaan
Hindu-Budha pun hampir tidak terlihat di Kerinci dan Merangin. Hingga kini
belum ditemukan situs-situs Hindu-Buda di kedua wilayah tersebut, tetapi di
Kerinci ditemukan arca lepas berupa dua buah arca Boddhisattwa perunggu
berukuran kecil (tinggi 16 cm) (Schnitger,1937:13).
Keramik Cina dari
dinasti Sung (960 – 1270 M) banyak ditemukan di dataran tinggi Kerinci, dan
daerah lembah kaki Gunung Raya . Temuan tersebut membuktikan bahwa ketika di
dataran rendah Jambi berkembang pesat kerajaan Malayu bercorak budis, di
dataran tinggi Jambi bertahan kehidupan bercorak tradisi megalitik. Bahkan
tradisi megalitik di dataran tinggi Kerinci bertahan hingga kedatangan Islam.
Tradisi megalitik di kawasan tersebut tampaknya baru berakhir pada abad ke-18,
Sebuah temuan akan
membuka gerai sejarah masa lalu, dan pola hidup masyarakat saat itu, begitu
pula tradisi minun kawao di dataran tinggi Kerinci, yang sudah ada sebelum
bangsa Belanda datang, dan ada istilah pameo “Melayu Kopi Daun”, yang selama
ini dianggap oleh masyarakat istilah yang di berikan Belanda kepada kaum
pribumi, kita tidak menyangkalnya namun tradisi minum kopi daun sudah ada
sebelum Belanda datang, kemudian sejak dikembangkanya perkebunan kopi oleh
Belanda dan tradisi minum serbuk buah kopi, dan kopi pernah menjadi emas hitam
buat Belanda, cara pandang itu berubah, suatu sisi kopi daun sakral buat
masyarakat, satu sisi pandangan penjajah Belanda seolah menertawakan tradisi
tersebut karena yang mereka minum adalah serbuk dari buah kopi yang diluar sana
harganya mahal, dan daun kopi tidak ada harganya.
Parahnya secara turun
temurun pola pikir masyarakat kita “mengiyakan” pandangan ini sehingga mengikis
tradisi kita sendiri dan menukarnya dengan tradisi luar yang dianggap lebih
prestige tinggi, namun kebudayaan itu selalu maju dan berubah, tinggal kita
menyikapi secara bijak dalam memperkuat karakter anak bangsa.
M. Ali Surakhman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar