Sabtu, 22 September 2018

JEJAK TINGGALAN TRADISI ZAMAN PERUNGGU DI BUMI SERIBU SYAIR


Dataran tinggi Kerinci dapat dikatakan merupakan kawasan pedalaman yang jauh dari jalur perdagangan maritim. Selain itu juga bergunung-gunung dan berbukit-bukit dengan sungai-sungai bertebing terjal, sehingga menghambat mobilitas horisontal. Namun, ternyata kawasan tersebut tidak benar-benar terisolasi. Museum Nasional Jakarta mengumpulkan temuan lepas dari Kerinci berupa tiga buah benda keramik Cina dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M). Menurut Abu Ridho, ketiga benda keramik tersebut berupa bejana penjenazahan dari dinasti Han (abad 1 – 2 M), mangkuk sesaji dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M), dan guci tempat anggur bertutup dari dinasti Han (abad 1 – 2 M) (1979:105 – 118). Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha pun hampir tidak terlihat di Kerinci dan Merangin. Hingga kini belum ditemukan situs-situs Hindu-Budha di kedua wilayah tersebut, tetapi di Kerinci ditemukan arca lepas berupa dua buah arca Boddhisattwa perunggu berukuran kecil (tinggi 16 cm) (Schnitger,1937:13).

Keramik Cina dari dinasti Sung (960 – 1270 M) banyak ditemukan di dataran tinggi Kerinci, dan daerah lembah kaki Gunung Raya . Temuan tersebut membuktikan bahwa ketika di dataran rendah Jambi berkembang pesat kerajaan Malayu bercorak Budis, di dataran tinggi Jambi bertahan kehidupan bercorak tradisi megalitik. Bahkan tradisi megalitik di dataran tinggi Kerinci bertahan hingga kedatangan Islam. Tradisi megalitik di kawasan tersebut tampaknya baru berakhir pada abad ke-18,

Masyarakat bercorak tradisi megalitik di dataran tinggi Kerinci mungkin sekali menghuni lahan di sekitar batu monolit yang mempunyai nama lokal batu gong, batu bedil atau batu larung. Bukti-bukti hunian di sekitar batu megalitik ditemukan dalam ekskavasi Bagyo Prasetyo tahun 1994 di Bukit Talang Pulai, Kerinci . Tinggalan artefak menonjol di situs megalit adalah pecahan tembikar yang merupakan bukti pemukiman.

Kehidupan bercorak megalitik di dataran tinggi Kerinci telah mengenal pula penguburan dengan wadah tempayan tanah liat sebagaimana di dataran tinggi Sumatera Selatan (lihat Soeroso,1998). Di desa Renah Kemumu, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, ditemukan tinggalan megalit di Bukit Batu Larung, tetapi juga puluhan tempayan tanah liat insitu di suatu tempat yang berjarak sekitar 1 kilometer dari megalit. Keadaan tinggalan tempayan-tempayan tersebut tidak utuh karena pengaruh erosi dan aktivitas manusia sekarang yang menghuni situs tersebut. Melalui analisis C-14 yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, arang yang ditemukan dalam tempayan diketahui berumur 810 ± 120 BP (tahun 1020 - 1260 M). Sementara itu, situs Bukit Batu Larung berumur 970 ± 140 BP (tahun 840 -1120).

Hasil awal tradisi melagitik yang belum mengenal tulisan, yang di kenal juga dengan tradisi lisan ini salah satunya upacara ritual Asyeik. Sebagian masyarakat menyebutnya dengan upacara ritual suku Kerinci, upacara ritual ini merupakan upacara pemanggilan roh-roh nenek moyang, dengan mengunakan obyek-obyek tertentu ( pusaka, tumbuh-tumbuhan, makanan, batu-batuan ) dengan tujuan untuk menolak bala dan menuntun anak cucu (masyarakat Kerinci) kearah kebenaran dan kebaikan.

Tradisi lisan merupakan identitas komunitas  dan salah satu sumber penting dalam pembentukan karakter bangsa melalui nilai-nilai luhur yang diwariskannya. Tradisi lisan juga dapat menjadi pintu masuk guna memahami permasalahan yang dihadapi masyarakat pendukung tradisi tersebut. Di dalam tradisi itu, kita dapat mengenal kehidupan komunitas suatu masyarakat mulai dari kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan relegi.
Kebudayaan Bacson-Hoabinh diperkirakan berasal dari tahun 10.000 SM-4000 SM, kira-kira tahun 7000 SM.  Kebudayaan ini berlangsung pada kala Holosen. Awalnya masyarakat Bacson-Hoabinh hanya menggunakan alat dari gerabah yang sederhana berupa serpihan-serpihan batu tetapi pada tahun 600 SM mengalami perubahan dalam bentuk batu-batu yang menyerupai kapak yang berfungsi sebagai alat pemotong. Ciri khas alat-alat batu kebudayaan Bacson-Hoabinh adalah penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan batu kali yang berukuran ± 1 kepalan dan seringkali seluruh tepiannya menjadi bagian yang tajam. Hasil penyerpihannya itu menunjukkan berbagai bentuk seperti lonjong, segi empat, segitiga dan beberapa di antaranya ada yang mempunyai bentuk berpinggang. Alat-alat dari tulang dan sisa-sisa tulang belulang manusia dikuburkan dalam posisi terlipat serta ditaburi zat warna merah. Kebudayaan Bacson-Hoabinh ini diperkirakan berkembang pada zaman Mesolitikum.
Pusat kebudayaan zaman Mesolitikum di Asia berada di dua tempat yaitu di Bacson dan Hoabinh. Kedua tempat tersebut berada di wilayah Tonkin di Indocina (Vietnam). Istilah Bacson Hoabinh pertama kali digunakan oleh arkeolog Prancis yang bernama Madeleine Colani pada tahun 1920-an. Nama tersebut untuk menunjukkan tempat pembuatan alat-alat batu yang khas dengan ciri dipangkas pada satu atau dua sisi permukaannya.

Menurut C.F. Gorman dalam bukunya The Hoabinhian and after : Subsistance patterns in South East Asia during the latest Pleistocene and Early Recent Periods (1971) menyatakan bahwa penemuan alat-alat dari batu paling banyak ditemukan dalam penggalian di pegunungan batu kapur di daerah Vietnam bagian utara, yaitu di daerah Bacson pegunungan Hoabinh.
Di samping alat-alat dari batu yang berhasil ditemukan, juga ditemukan alat-alat serpih, batu giling dari berbagai ukuran, alat-alat dari tulang dan sisa tulang belulang manusia yang dikubur dalam posisi terlipat serta ditaburi zat warna merah.
Sementara itu, di daerah Vietnam ditemukan tempat-tempat pembuatan alat-alat batu, sejenis alat batu dari kebudayaan Bacson-Hoabinh. Bahkan di Gua Xom Trai  (dalam buku Pham Ly Huong ; Radiocarbon Dates of The Hoabinh Culture in Vietnam, 1994) ditemukan alat-alat batu yang sudah diasah pada sisi yang tajam. Alat-alat batu dari Goa Xom Trai tersebut diperkirakan berasal dari 18.000 tahun yang lalu,  kemudian dalam perkembangannya alat-alat dari batu atau yang dikenal dengan kebudayaan Bacson-Hoabinh tersebar dan berhasil ditemukan hampir di seluruh daerah Asia Tenggara, baik darat maupun kepulauan, termasuk wilayah Indonesia.

Hasil-hasil Kebudayaan Bacson-Hoabinh di Indonesia adalah, kapak genggam, kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit karang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di Kerinci pulau Sumatera, kapak dari tulang dan tanduk, di sekitar daerah Nganding dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun (Jawa Timur), Flakes adalah berupa alat alat kecil terbuat dari batu yang disebut dengan flakes atau alat serpih. Flakes selain terbuat dari batu biasa juga ada yang dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti calsedon, dan Kjokkenmoddinger adalah bukit-bukit sampah kerang yang berdiameter sampai 100 meter dengan kedalaman 10 meter. Peninggalan ini ditemukan di Sumatra. Lapisan kerang tersebut diselang-selingi dengan tanah dan abu. Tempat penemuan bukit kerang ini pada daerah dengan ketinggian yang hampir sama dengan permukaan air laut sekarang dan pada kala Holosen daerah tersebut merupakan garis pantai.

Kebudayaan Bacson - Hoabinh yang terdiri dari pebble, kapak pendek serta alat-alat dari tulang masuk ke Indonesia melalui jalur barat. Sedangkan kebudayaan yang terdiri dari flakes masuk ke Indonesia melalui jalur timur.

Pengaruh utama budaya Hoabinh terhadap perkembangan budaya masyarakat awal kepulauan Indonesia adalah berkaitan dengan tradisi pembuatan alat terbuat dari batu. Beberapa ciri pokok budaya Bacson-Hoabinh ini antara lain: Pembuatan alat kelengkapan hidup manusia yang terbuat dari batu. Batu yang dipakai untuk alat umumnya berasal dari batu kerakal sungai. Alat batu ini telah dikerjakan dengan teknik penyerpihan menyeluruh pada satu atau dua sisi batu. Hasil penyerpihan menunjukkan adanya keragaman bentuk. Ada yang berbentuk lonjong, segi empat, segi tiga dan beberapa diantaranya ada yang berbentuk berpinggang. Pengaruh budaya Hoabihn di Kepulauan Indonesia sebagian besar terdapat di daerah Sumatra. Hal ini lebih dikarenakan letaknya yang lebih dekat dengan tempat asal budaya ini.

Kebudayaan Dongson. Sejarah awal kebudayaan Dongson adalah kebudayaan zaman Perunggu yang berkembang di Lembah Sông Hồng, Vietnam. Kebudayaan ini juga berkembang di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia dari sekitar 1000 SM sampai 1 SM.
Kebudayaan Dongson ini berawal dari evolusi kebudayaan Austronesia. Asal usulnya sendiri telah dicari adalah bangsa Yue-tche yang merupakan orang-orang barbar yang muncul di barat daya China sekitar abad ke-8 SM. Kebudayaan Dongson secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam, yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 Sebelum Masehi. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh hoa.

Pengolahan logam menunjukkan taraf kehidupan yang semakin maju, sudah ada pembagian kerja yang baik, masyarakatnya sudah teratur. Teknik peleburan logam merupakan teknik yang tinggi. Pendukung kebudayaan ini adalah bangsa Austronesia, juga pendukung kapak persegi.
Pengetahuan mengenai perkembangan kebudayaan logam ini mulai banyak dikenal setelah Payot mengadakan penggalian di sebuah kuburan Dongson (Vietnam) pada tahun 1924. Namun perlu diketahui bahwa benda-benda perunggu yang telah ada sebelum tahun 500 SM terdiri atas kapak corong (corong merupakan pangkal yang berongga untuk memasukkan tangkai atau pegangannya) dan ujung tombak, sabit bercorong, ujung tombak bertangkai, mata panah dan benda-benda kecil lainnya seperti pisau, kail, gelang dan lain-lain.

Penemuan benda-benda dari kebudayaan Dongson sangat penting karena benda-benda logam yang ditemukan di wilayah Indonesia umumnya bercorak Dong Son, dan bukan mendapat pengaruh budaya logam dari India maupun Cina. Budaya perunggu bergaya Dongson tersebar luas di wilayah Asia Tenggara dan kepulauan Indonesia. Hal ini terlihat dari kesamaan corak hiasan dan bahan-bahan yang dipergunakannya. Misalnya nekara, menunjukkan pengaruh yang sangat kuat. Nekara dari tipe Heger 1 memiliki kesamaan dengan nekara yang paling bagus dan tertua di Vietnam. Benda-benda perunggu lainnya yang berhasil ditemukan di daerah Dongson serta beberapa kuburan seperti daerah Vie Khe, Lang Cha, Lang Var. Satu nekara yang ditemukan yang besar berisi 96 mata bajak perunggu bercorang. Dari penemuan itu terdapat alat-alat dari  besi, meskipun jumlahnya sangat sedikit. Dari penemuan benda-benda budaya Dongson itu, diketahui cara pembuatannya dengan menggunakan teknik cetak lilin hilang yaitu dengan membuat bentuk benda dari lilin, kemudian lilin itu di balut dengan tanah liat dan dibakar hingga terdapat lubang pada tanah liat tersebut.


Budaya Dongson sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan budaya perunggu di Indonesia. Bahkan tidak kurang dari 56 nekara yang berhasil ditemukan di beberapa wilayah Indonesia dan terbanyak nekara ditemukan di Sumatera Kerinci , Jawa, Maluku Selatan.


Benda-benda arkeologi dari Dongson sangat beraneka ragam, karena mendapat berbagai macam pengaruh dan aliran. Hal tersebut nampak dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual yang sangat rumit sekali. Perunggu adalah bahan pilihan. Benda-benda seperti kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang kaya dan indah. Kemudian gerabah dan jambangan rumah tangga, mata timbangan dan kepala pemintal benang, perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain. Semua benda tersebut atau hampir semuanya diberi hiasan. Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari kesenian ini diantaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan spiral yang tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan.

Dari motif-motif yang dijumpai pada nekara yang sering disebut-sebut sebagai nekara hujan, ditampilkan dukun-dukun atau syaman-syaman yang kadang-kadang menyamar sebagai binatang bertanduk, menunjukkan pengaruh China atau lebih jauhnya pengaruh masyarakat kawasan stepa. Jika bentuk ini disimbolkan sebagai perburuan, maka ada lagi simbol yang menunujukkan kegiatan pertanian yakni matahari dan katak (simbol air). Sebenarnya, nekara ini sendiri dikaitkan dengan siklus pertanian. Dengan mengandalkan pengaruh ghaibnya, nekara ini ditabuh untuk menimbulkan bunyi petir yang berkaitan dengan datangnya hujan.

Pada nekara-nekara tersebut, yang seringkali disimpan di dalam makam terlihat motif perahu yang dipenuhi orang yang berpakaian dan bertutup kepala dari bulu burung. Hal tersebut boleh jadi menggambarkan arwah orang yang sudah mati yang berlayar menuju surga yang terletak di suatu tempat di kaki langit sebelah timur lautan luas. Pada masyarakat lampau, jiwa sering disamakan dengan burung dan mungkin sejak periode itu hingga sekarang masih dilakukan kaum syaman yang pada masa kebudayaan Dongson merupakan pendeta-pendeta menyamar seperti burung agar dapat terbang ke kerajaan orang-orang mati untuk mendapatkan pengetahuan mengenai masa depan.

Lagi pula nekara-nekara tersebut sendiri didapatkan pada awal abad ke-19 masih digunakan untuk upacara ritual keagamaan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pada nekara tesebut digambarkan kehidupan orang-orang Dongson mulai perburuan, pertanian hingga kematian.

Banyaknya perlengkapan pemakaman tersebut menunjukkan ritual yang dilakukan masyarakat Dongson. Antara lain masalah jenazah yang dikelilingi semua benda-benda sehari-hari miliknya agar dapat hidup secara normal di alam baka. Belakangan sebagai upaya penghematan, yang ikut dikuburkan bersama jenazah adalah benda-benda berukuran kecil saja. Kemudia pada masa akhir kebudayaan Dongson, muncul bentuk ritual baru. Sebelumnya makamnya berbentuk peti mati sederhana dari kayu yang dikubur, sementara pada berikutnya yang dinamakan periode Lach-truong, yang mungkin diawali pada abad pertama sebelum Masehi, telah ditemukan makam dari batu bata yang berbentuk terowongan atau lebih tepatnya gua yang terbagi menjadi tiga kamar oleh tembok-tembok lengkung beratap. Semula perlengkapan ini dikait-kaitkan dengan pengaruh Yunani tentang kehidupan alam baka, meski sebenarnya menunjukkan pengaruh China yang terus-terus bertambah besar yang beranggapan bahwa arwah orang mati bersembunyi dalam gua-gua yang terdapat di lereng-lereng gunung suci, tempat bersemayam para arwah yang abadi.

Makam yang berbentuk terowongan itu boleh dikatakan tiruan dari gua alam gaib tersebut. Peletakan peti mati di kamar tengah, kemudian di ruangan bersebelahan ditumpuk sesajen sebagai makanan untuk arwah dan ruangan ketiga disediakan altar yang terdapat lampu-lampu yang dibawa atau dijaga oleh patung-patung terbuat dari perunggu. Secara sekilas terasa pengaruh Hellenisme yang menandai akhir kebudayaan Dongson.

Hubungan tradisi lisan dalam ritual Asyeik di Kerinci di mulai saat pertebaran bangsa Austronesia (MelayuTua) yang berlangsung pada zaman Prahistoria antara (10.000-2.000) tahun SM dengan ditemukan alat-alat Neolitikum. Alat-alat prahistoria yang sangat tua dan unik itu salah satunya ditemukan di dataran tinggi daerah Kerinci. Khusus mengenai alat serpihan obsidian, daerah Kerinci disebut menjadi inti dari kebudayaan alat serpih (flakes culture) termasuk dalam zaman Mesolitikum. Peninggalan bersejarah dari masa prahistoria di Kerinci sejenis menhir batu, keadaannya sangat unik berbentuk silindrik dengan posisi tergeletak di permukaan tanah. Posisi semacam ini belum pernah di temukan pada daerah  lainnya di Indonesia, keadaan silindrik di Kerinci merupakan penyimpangan dari tradisi umum megalitik di Indonesia. Batu silindrik yang ada di Kerinci saat sekarang sebanyak tujuh buah, bermotifkan relief manusia kangkang, matahari, lingkaran aura dan sebagainya. Ada yang polos tanpa motif, secara kronologis  berasal dari masa 12.000 tahun SM. Motif ini berhubungan erat dengan bentuk tarian dan alat yang di gunakan pada upacara ritual “Asyeik”.

Benda-benda yang berasal dari zaman perunggu yang di temukan di daerah Kerinci yaitu gelang, giring-giring, cakram, nekara dan sebuah bejana. Nekara perunggu Kerinci termasuk dalam kelompok Heger –1, menunjukan persamaan dengan temuan di Dongson dan Phom Penh. Sedangkan bejana perunggu memiliki motif persamaan dengan seni hias yang terdapat pada bangunan tradisional Kerinci, serta pada bangunan ibadah lainnya.  Benda-benda  perunggu ini dikatakan sebagai peninggalan zaman Paleometalik berasal dari 1.000-500 tahun SM.

Temuan tertua lain di daerah Kerinci berupa keramik kuno yang berasal dari masa pemerintahan Dinasti Han di Cina (Tahun 202 SM-221 Masehi). Adanya keramik Han di daerah Kerinci, memperkuat dugaan kita akan kemampuan penduduk prasejarah Kerinci dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan daratan Cina. Besar kemungkinan daerah Kerinci pada zaman itu sebagai pusat sebuah peradaban tertua di Sumatra, mengingat catatan yang di buat oleh K’ang-tai dan Wan-Chen dari dinasti wangsa Wu (222-280 SM), diterangkan sebuah kerajaan di Sumatra terdapat banyak gunung api dan di selatannya ada sebuah teluk bernama Wen.

Dari penggalian arkeologi di dataran tinggi Kerinci, merupakan salah satu sasaran penelitian arkeologi sejak tahun 1932 dengan perintisnya adalah A.N.J.Th a Th van der Hoop. Tinggalan menonjol di kawasan tersebut adalah alat obsidian dan megalit. Sejak tahun 2005 mulai ditemukan sejumlah situs kubur tempayan yang berasosiasi dengan tinggalan megalit, sehingga diperkirakan kedua unsur budaya tersebut hidup sezaman.  Penelitian kubur tempayan selama ini mengungkapkan bahwa di dataran tinggi Kerinci berkembang tradisi penguburan dengan tempayan sebagaimana terdapat juga di berbagai situs arkeologi di Indonesia. Penelitian kubur tempayan juga mengungkapkan adanya pemberian bekal kubur yang menunjukkan kepercayaan adanya kehidupan setelah mati.

Penelitian kubur tempayan  di Desa Muak, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi yang dilaksanakan pada bulan Juli 2007 merupakan salah satu rangkaian penelitian yang dilakukan sebelumnya yang bertujuan untuk merekonstruksi aspek-aspek kehidupan tradisi megalitik di dataran tinggi Jambi. Penelitian tersebut dipimpin oleh Drs. Tri Marhaeni SB dengan anggota inti Sondang M. Siregar, SS (arkeolog), Sigit Eko Prasetyo, S.Hum (arkeolog), dan Armadi, ST (pemetaan).

Ekskavasi di Desa Muak dilakukan di tiga tempat, yaitu dua situs kubur tempayan dan satu situs megalit.  Di situs Ulu Muak dibuka satu lobang ekskavasi  berukuran 2x2 meter. Di kotak tersebut ditemukan lima buah wadah tembikar yang bentuk dan ukurannya bervariasi serta kedalaman penemuannya berbeda. Temuan wadah yang dikenali tiga buah, yaitu satu buah periuk bertutup periuk, satu buah tempayan bertutup belanga, dan satu buah guci bertutup  pasu. Dalam tempayan tidak ditemukan tinggalan arkeologis.

Ekskavasi kubur tempayan lainnya dilakukan di situs Dusun Baru Muak. Situs ini terletak sekitar 150 meter dari Ulu Muak. Di situs Dusun Bartu Muak dibuka empat kotak ekskavasi yang masing-masing berukuran 2x2 meter. Ekskavasi tersebut menemukan enam buah wadah tembikar yang diperkirakan semuannya berbentuk tempayan. Keadaannya retak dan pecah, sehingga tidak dapat dikenali bentuknya. Dalam tempayan tidak ditemukan tinggalan arkeologis. Dibanding dengan temuan di Ulu Muak, wadah tembikar dari situs ini lebih homogen bentuknya (mungkin semuanya tempayan) serta lebih besar ukurannya. Wadah tembikar yang dipergunakan sebagai wadah kubur di Ulu Muak pun berbeda bentuknya dengan yang ditemukanb di Lolo Gedang, sebuah situs kubur tempayan lain yang berada sekitar 2,3 km dari Ulu Muak.

 Ekskavasi delapan buah kotak berukuran 2x2 meter dilakukan di situs Batu Patah, sekitar 500 meter dari Ulu Muak. Ekskavasi  dimaksudkan untuk mengetahui lapisan budaya di sekitar megalit karena di permukaan situs telah ditemukan pecahan tembikar dari galian cangkul untuk menanam ubi jalar. Ternyata lapisan budaya dengan temuan menonjol pecahan wadah tembikar  terbatas pada lapisan lempung coklat di atas lanau kuning. Kedalamannya  dari permukaan tanah bervariasi antara 40--60 cm. Temuan lapisan budaya ini sekaligus membuktikan bahwa di sekitar megalit terdapat hunian yang diperkirakan sezaman karena pola demikian ditemukan pula di situs-situs di dataran tinggi Jambi lainnya. Perbedaannya dengan situs-situs lainnya di kawasan yang sama, yaitu keletakan antara megalit dan kubur tempayan di Muak lebih berdekatan (sementara ini 500 meter), sedangkan di tempat lain tidak kurang dari 1 km.

Dari pengalian arkeologi ini menegaskan tradisi lisan dalam ritual Asyeik sudah ada sejak zaman pra-aksara dimana zaman ketika manusia belum mengenal tulisan, ditandai dengan belum ditemu­kannya keterangan tertulis mengenai kehidupan manusia. Periode ini ditandai dengan cara hidup berburu dan mengambil bahan makanan yang tersedia di alam. Pada zaman pra-aksara pola hidup dan berpikir manusia sangat bergantung dengan alam. Tempat tinggal mereka berpindah-pindah berdasarkan ketersediaan sumber makanan. Zaman pra-aksara sering disebut juga dengan zaman nirleka. Nir artinya tanpa dan leka artinya tulisan.Zaman pra-aksara berakhir ketika masyarakatnya sudah mengenal tulisan.

Pembabakan masa pra-aksara Indonesia telah dimulai sejak 1920-an oleh beberapa peneliti asing seperti P.V. van Stein Callenfels, A.N.J. Th. van der Hoop, dan H.R. van Heekern. Pembabakan masa pra-aksara Indonesia didasarkan pada penemuan-penemuan alat-alat yang digunakan manusia pra-aksara yang tinggal di Kepulauan Nusantara. Para ahli arkeologi dan paleontologi membagi masa pra-aksara Indonesia ke dalam dua zaman, yaitu zaman batu dan zaman logam. 

#M.Ali Surakhman#
https://metrojambi.com/tag/m-ali-surakhman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar