Kamis, 06 September 2018

TRANSFORMASI KOLONIAL DALAM TUBUH PRIBUMI


Pakaian adalah kode-kode bermakna, mozaik simbolisme peradaban manusia, mulai dari sosio-antropologis, politik, identitas, ideologi sampai dengan teknologi. Orang-orang zaman pra sejarah diketahui menggunakan pakaian dari kulit kayu yang disebut fuya atau tapa. Hal ini diperkuat dengan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di Sulawesi, Kalimantan, Seram, Halmahera, Nias, dan pantai barat Irian Jaya (Kartodirdjo dkk, 1977: 276).
Pada zaman Hindu Budha, orang-orang menggunakan kain panjang tanpa jahitan untuk menutupi tubuh para wanita ataupun pinggang para pria. Kain tanpa potongan dianggap suci dan sakral bagi masyarakat Jawa. Ketika Islam datang, pakaian disempurnakan sesuai norma-norma keislaman. Sarung atau kain panjang yang tadinya dililitkan di sekitar pinggang kemudian diangkat lebih tinggi untuk menutupi dada. Hal ini tampak di kota-kota pelabuhan Jawa pada abad XVI. Tubuh yang kurang tertutup oleh pakaian menjadi penanda bagi golongan non-muslim, orang miskin, budak dan anak-anak (Taylor, 2005: 131)
Di masa kolonial, pakaian menjadi penanda jelas agama, kebudayaan, ideologi dan stratifikasi kaum kulit putih. Terlebih untuk sebagian besar perempuan Eropa, dunia mode menjadi penting. Toko fashion didirikan di kota-kota. Salah satunya yang terkenal, menurut catatan Locher-Scholten (2000: 131), adalah toko busana Gerzons Modemagazijnen, yang memulai layanan mail-order pada tahun 1922, membuka toko di Batavia dan Surabaya pada tahun 1933, lalu tahun-tahun berikutnya di Bandung dan Medan. Toko-toko usaha busana Belanda di Hindia ini berada dibawah pengawasan ketat kantor pusat Amsterdam. Manajer toko dan tenaga penjualan dikirim dari Belanda, hanya karyawan bayaran rendah adalah orang pribumi. Bentuk pakaian dan barang-barang datang dari kota-kota mode Eropa seperti Paris, Berlin, London, dan Zurich, dengan harga yang ditetapkan oleh kantor Amsterdam.  
Klien Gerzon terdiri dari sebagian perempuan Belanda yang lahir di Hindia dan sebagian perempuan totok dari kelas atas Eropa - termasuk istri Gubernur Jenderal, wanita nomer satu di Hindia. Tahun 1933-1936, akibat komersialisasi yang sedang berlangsung dalam bidang pakaian modern dan permintaan konsumen yang berubah dengan cepat di Eropa, Gerzon mencapai kejayaannya. Tren-tren baru dikenal di Hindia melalui meningkatnya jumlah jurnal fashion dan halaman perempuan di surat kabar harian. Menurut  Riyanto (2000) hal ini juga dilakukan, tidak hanya melalui iklan pakaian tetapi iklan-iklan lain yang menampilkan gambar-gambar seseorang dengan pakaian barat. Akibatnya, seiring berpengaruhnya budaya Eropa di Hindia, kain panjang mulai ditinggalkan terutama bagi kaum pria dan perlahan digantikan dengan pakaian gaya Eropa.

Industrialisasi
Fenomena dunia mode di Hindia Belanda pada waktu itu dibentuk oleh produksi, komoditi, pemasaran, strata sosial dan pencitraan oleh media (Ash dan Wright dalam Jusuf, 2005). Meskipun ada aturan ketat yang diterapkan oleh VOC mengenai cara berpakaian berbagai bangsa di Hindia, peminjaman dan saling meniru unsur-unsur pakaian tetap nampak.
Ironisnya, pakaian ala Barat yang “dipinjam” itu diciptakan orang kulit putih dengan sangat teliti dan detail untuk membedakan kelompok mereka dari “penduduk asli”. Padahal, pada tahun 1896 J.M.J. Catenius-van der Meijden, perempuan Belanda yang lahir di Hindia, masih menuliskan saran untuk para istri Belanda agar memiliki: 6 sarung tidur, 2-3 sarung rapi, 6 kebaya tidur, 6 kebaya rapi, untuk tinggal di Hindia Belanda (Locher-Scholten, 2000: 126).
Perubahan dalam hal berpakaian bagi masyarakat tidak terlepas dari perkembangan industrialisasi yang telah menggejala pada akhir abad ke-19. Industri pakaian tidak lagi menjadi industri rumah tangga seperti pada masa-masa sebelumnya ketika pakaian dari banyak perempuan Eropa kolonial dibuat di rumah. Para perempuan Eropa ini menjahit pakaian mereka sendiri atau dibuat oleh penjahit pribumi, yang mereka sebut jabit.
Menjahit adalah keterampilan mutlak yang diperlukan wanita Eropa yang akan ke Hindia. Menjahit masuk menjadi bagian dari kurikulum sekolah remaja putri dan kaum perempuan kolonial. Menjahit menjadi hobi bagi sebagian besar perempuan kulit putih tersebut. Dengan bahan, seperti katun, sutra, dan shantung, yang dapat ditemukan murah di Toko Bombay (yang dikelola oleh orang India) atau di toko-toko Jepang, industri rumah tangga pembuatan pakaian menjadi pekerjaan perempuan di Jawa.
Penjahit pribumi mempunyai peran penting dalam rumah para perempuan Eropa, selain baboe, koki, jongos, opas, dan kusir yang mengurus kebutuhan keseharian para tuan. Berbeda dengan para pembantu lainnya, penjahit tidak memiliki kamar di rumah tuannya. Setiap hari ia akan datang jam 7 pagi dan pulang menjelang petang. Penjahit pribumi terkenal sebagai pekerja yang rajin, tekun dan teliti. Asosiasi Para Ibu Rumah Tangga Hindia Belanda selalu menekankan kepada para anggotanya, dengan adanya jabit dalam rumah tangga kolonial, segala urusan menjadi lebih mudah (Locher-Scholten, 2000: 133).
Dalam perspektif kolonial, jabit (baca: pribumi) tetap saja menjadi subordinan dalam kerangka domestifikasi masyarakat terjajah, sebagai sekrup modernitas yang kemudian melanda. Sejarah pakaian adalah penanda kolonisasi tubuh pribumi, (dan berikutnya) 'totokisasi' masyarakat Hindia. Pakaian dalam sejarah Hindia Belanda, bisa jadi dapat dilihat sebagai perpanjangan tubuh, namun bukan benar-benar bagian dari tubuh, yang tidak sengaja menghubungkan tubuh dengan dunia sosial-politik, tetapi pada saat yang sama, juga memisahkan keduanya. Politik kekuasaan berkelindan dengan imaji identitas melaju cepat dalam perputaran jaman, meninggalkan ruang hampa bagi sejarah peradaban sebuah bangsa, atas nama modernitas.

Dari berbagai sumber
#M. Ali Surakhman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar