Pakaian adalah kode-kode bermakna, mozaik
simbolisme peradaban manusia, mulai dari sosio-antropologis, politik,
identitas, ideologi sampai dengan teknologi. Orang-orang zaman pra sejarah
diketahui menggunakan pakaian dari kulit kayu yang disebut fuya atau tapa. Hal
ini diperkuat dengan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di Sulawesi,
Kalimantan, Seram, Halmahera, Nias, dan pantai barat Irian Jaya (Kartodirdjo
dkk, 1977: 276).
Pada zaman Hindu Budha, orang-orang
menggunakan kain panjang tanpa jahitan untuk menutupi tubuh para wanita ataupun
pinggang para pria. Kain tanpa potongan dianggap suci dan sakral bagi
masyarakat Jawa. Ketika Islam datang, pakaian disempurnakan sesuai norma-norma
keislaman. Sarung atau kain panjang yang tadinya dililitkan di sekitar pinggang
kemudian diangkat lebih tinggi untuk menutupi dada. Hal ini tampak di kota-kota
pelabuhan Jawa pada abad XVI. Tubuh yang kurang tertutup oleh pakaian menjadi
penanda bagi golongan non-muslim, orang miskin, budak dan anak-anak (Taylor,
2005: 131)
Di masa kolonial, pakaian menjadi penanda
jelas agama, kebudayaan, ideologi dan stratifikasi kaum kulit putih. Terlebih
untuk sebagian besar perempuan Eropa, dunia mode menjadi penting. Toko fashion
didirikan di kota-kota. Salah satunya yang terkenal, menurut catatan
Locher-Scholten (2000: 131), adalah toko busana Gerzons Modemagazijnen,
yang memulai layanan mail-order pada tahun 1922, membuka toko
di Batavia dan Surabaya pada tahun 1933, lalu tahun-tahun berikutnya di Bandung
dan Medan. Toko-toko usaha busana Belanda di Hindia ini berada dibawah
pengawasan ketat kantor pusat Amsterdam. Manajer toko dan tenaga penjualan
dikirim dari Belanda, hanya karyawan bayaran rendah adalah orang pribumi.
Bentuk pakaian dan barang-barang datang dari kota-kota mode Eropa seperti
Paris, Berlin, London, dan Zurich, dengan harga yang ditetapkan oleh kantor
Amsterdam.
Klien Gerzon terdiri dari sebagian perempuan
Belanda yang lahir di Hindia dan sebagian perempuan totok dari kelas atas Eropa
- termasuk istri Gubernur Jenderal, wanita nomer satu di Hindia. Tahun
1933-1936, akibat komersialisasi yang sedang berlangsung dalam bidang pakaian
modern dan permintaan konsumen yang berubah dengan cepat di Eropa, Gerzon
mencapai kejayaannya. Tren-tren baru dikenal di Hindia melalui meningkatnya
jumlah jurnal fashion dan halaman perempuan di surat kabar harian.
Menurut Riyanto (2000) hal ini juga dilakukan, tidak hanya melalui iklan
pakaian tetapi iklan-iklan lain yang menampilkan gambar-gambar seseorang dengan
pakaian barat. Akibatnya, seiring berpengaruhnya budaya Eropa di Hindia, kain
panjang mulai ditinggalkan terutama bagi kaum pria dan perlahan digantikan
dengan pakaian gaya Eropa.
Industrialisasi
Fenomena dunia mode di Hindia Belanda pada
waktu itu dibentuk oleh produksi, komoditi, pemasaran, strata sosial dan
pencitraan oleh media (Ash dan Wright dalam Jusuf, 2005). Meskipun ada aturan
ketat yang diterapkan oleh VOC mengenai cara berpakaian berbagai bangsa di
Hindia, peminjaman dan saling meniru unsur-unsur pakaian tetap nampak.
Ironisnya, pakaian ala Barat yang “dipinjam”
itu diciptakan orang kulit putih dengan sangat teliti dan detail untuk
membedakan kelompok mereka dari “penduduk asli”. Padahal, pada tahun 1896
J.M.J. Catenius-van der Meijden, perempuan Belanda yang lahir di Hindia, masih
menuliskan saran untuk para istri Belanda agar memiliki: 6 sarung tidur, 2-3
sarung rapi, 6 kebaya tidur, 6 kebaya rapi, untuk tinggal di Hindia Belanda
(Locher-Scholten, 2000: 126).
Perubahan dalam hal berpakaian bagi masyarakat
tidak terlepas dari perkembangan industrialisasi yang telah menggejala pada
akhir abad ke-19. Industri pakaian tidak lagi menjadi industri rumah tangga
seperti pada masa-masa sebelumnya ketika pakaian dari banyak perempuan Eropa
kolonial dibuat di rumah. Para perempuan Eropa ini menjahit pakaian mereka
sendiri atau dibuat oleh penjahit pribumi, yang mereka sebut jabit.
Menjahit adalah keterampilan mutlak yang
diperlukan wanita Eropa yang akan ke Hindia. Menjahit masuk menjadi bagian dari
kurikulum sekolah remaja putri dan kaum perempuan kolonial. Menjahit menjadi
hobi bagi sebagian besar perempuan kulit putih tersebut. Dengan bahan, seperti
katun, sutra, dan shantung, yang dapat ditemukan murah di Toko Bombay (yang
dikelola oleh orang India) atau di toko-toko Jepang, industri rumah tangga
pembuatan pakaian menjadi pekerjaan perempuan di Jawa.
Penjahit pribumi mempunyai peran penting dalam
rumah para perempuan Eropa, selain baboe, koki, jongos, opas, dan
kusir yang mengurus kebutuhan keseharian para tuan. Berbeda dengan para
pembantu lainnya, penjahit tidak memiliki kamar di rumah tuannya. Setiap hari
ia akan datang jam 7 pagi dan pulang menjelang petang. Penjahit pribumi
terkenal sebagai pekerja yang rajin, tekun dan teliti. Asosiasi Para Ibu Rumah
Tangga Hindia Belanda selalu menekankan kepada para anggotanya, dengan
adanya jabit dalam rumah tangga kolonial, segala urusan
menjadi lebih mudah (Locher-Scholten, 2000: 133).
Dalam perspektif kolonial, jabit (baca:
pribumi) tetap saja menjadi subordinan dalam kerangka domestifikasi masyarakat
terjajah, sebagai sekrup modernitas yang kemudian melanda. Sejarah pakaian
adalah penanda kolonisasi tubuh pribumi, (dan berikutnya) 'totokisasi'
masyarakat Hindia. Pakaian dalam sejarah Hindia Belanda, bisa jadi dapat
dilihat sebagai perpanjangan tubuh, namun bukan benar-benar bagian dari tubuh,
yang tidak sengaja menghubungkan tubuh dengan dunia sosial-politik, tetapi pada
saat yang sama, juga memisahkan keduanya. Politik kekuasaan berkelindan dengan
imaji identitas melaju cepat dalam perputaran jaman, meninggalkan ruang hampa
bagi sejarah peradaban sebuah bangsa, atas nama modernitas.
Dari
berbagai sumber
#M. Ali Surakhman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar