Sabtu, 22 September 2018

JEJAK TINGGALAN TRADISI ZAMAN PERUNGGU DI BUMI SERIBU SYAIR


Dataran tinggi Kerinci dapat dikatakan merupakan kawasan pedalaman yang jauh dari jalur perdagangan maritim. Selain itu juga bergunung-gunung dan berbukit-bukit dengan sungai-sungai bertebing terjal, sehingga menghambat mobilitas horisontal. Namun, ternyata kawasan tersebut tidak benar-benar terisolasi. Museum Nasional Jakarta mengumpulkan temuan lepas dari Kerinci berupa tiga buah benda keramik Cina dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M). Menurut Abu Ridho, ketiga benda keramik tersebut berupa bejana penjenazahan dari dinasti Han (abad 1 – 2 M), mangkuk sesaji dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M), dan guci tempat anggur bertutup dari dinasti Han (abad 1 – 2 M) (1979:105 – 118). Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha pun hampir tidak terlihat di Kerinci dan Merangin. Hingga kini belum ditemukan situs-situs Hindu-Budha di kedua wilayah tersebut, tetapi di Kerinci ditemukan arca lepas berupa dua buah arca Boddhisattwa perunggu berukuran kecil (tinggi 16 cm) (Schnitger,1937:13).

Keramik Cina dari dinasti Sung (960 – 1270 M) banyak ditemukan di dataran tinggi Kerinci, dan daerah lembah kaki Gunung Raya . Temuan tersebut membuktikan bahwa ketika di dataran rendah Jambi berkembang pesat kerajaan Malayu bercorak Budis, di dataran tinggi Jambi bertahan kehidupan bercorak tradisi megalitik. Bahkan tradisi megalitik di dataran tinggi Kerinci bertahan hingga kedatangan Islam. Tradisi megalitik di kawasan tersebut tampaknya baru berakhir pada abad ke-18,

Masyarakat bercorak tradisi megalitik di dataran tinggi Kerinci mungkin sekali menghuni lahan di sekitar batu monolit yang mempunyai nama lokal batu gong, batu bedil atau batu larung. Bukti-bukti hunian di sekitar batu megalitik ditemukan dalam ekskavasi Bagyo Prasetyo tahun 1994 di Bukit Talang Pulai, Kerinci . Tinggalan artefak menonjol di situs megalit adalah pecahan tembikar yang merupakan bukti pemukiman.

Kehidupan bercorak megalitik di dataran tinggi Kerinci telah mengenal pula penguburan dengan wadah tempayan tanah liat sebagaimana di dataran tinggi Sumatera Selatan (lihat Soeroso,1998). Di desa Renah Kemumu, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, ditemukan tinggalan megalit di Bukit Batu Larung, tetapi juga puluhan tempayan tanah liat insitu di suatu tempat yang berjarak sekitar 1 kilometer dari megalit. Keadaan tinggalan tempayan-tempayan tersebut tidak utuh karena pengaruh erosi dan aktivitas manusia sekarang yang menghuni situs tersebut. Melalui analisis C-14 yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, arang yang ditemukan dalam tempayan diketahui berumur 810 ± 120 BP (tahun 1020 - 1260 M). Sementara itu, situs Bukit Batu Larung berumur 970 ± 140 BP (tahun 840 -1120).

Hasil awal tradisi melagitik yang belum mengenal tulisan, yang di kenal juga dengan tradisi lisan ini salah satunya upacara ritual Asyeik. Sebagian masyarakat menyebutnya dengan upacara ritual suku Kerinci, upacara ritual ini merupakan upacara pemanggilan roh-roh nenek moyang, dengan mengunakan obyek-obyek tertentu ( pusaka, tumbuh-tumbuhan, makanan, batu-batuan ) dengan tujuan untuk menolak bala dan menuntun anak cucu (masyarakat Kerinci) kearah kebenaran dan kebaikan.

Tradisi lisan merupakan identitas komunitas  dan salah satu sumber penting dalam pembentukan karakter bangsa melalui nilai-nilai luhur yang diwariskannya. Tradisi lisan juga dapat menjadi pintu masuk guna memahami permasalahan yang dihadapi masyarakat pendukung tradisi tersebut. Di dalam tradisi itu, kita dapat mengenal kehidupan komunitas suatu masyarakat mulai dari kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan relegi.
Kebudayaan Bacson-Hoabinh diperkirakan berasal dari tahun 10.000 SM-4000 SM, kira-kira tahun 7000 SM.  Kebudayaan ini berlangsung pada kala Holosen. Awalnya masyarakat Bacson-Hoabinh hanya menggunakan alat dari gerabah yang sederhana berupa serpihan-serpihan batu tetapi pada tahun 600 SM mengalami perubahan dalam bentuk batu-batu yang menyerupai kapak yang berfungsi sebagai alat pemotong. Ciri khas alat-alat batu kebudayaan Bacson-Hoabinh adalah penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan batu kali yang berukuran ± 1 kepalan dan seringkali seluruh tepiannya menjadi bagian yang tajam. Hasil penyerpihannya itu menunjukkan berbagai bentuk seperti lonjong, segi empat, segitiga dan beberapa di antaranya ada yang mempunyai bentuk berpinggang. Alat-alat dari tulang dan sisa-sisa tulang belulang manusia dikuburkan dalam posisi terlipat serta ditaburi zat warna merah. Kebudayaan Bacson-Hoabinh ini diperkirakan berkembang pada zaman Mesolitikum.
Pusat kebudayaan zaman Mesolitikum di Asia berada di dua tempat yaitu di Bacson dan Hoabinh. Kedua tempat tersebut berada di wilayah Tonkin di Indocina (Vietnam). Istilah Bacson Hoabinh pertama kali digunakan oleh arkeolog Prancis yang bernama Madeleine Colani pada tahun 1920-an. Nama tersebut untuk menunjukkan tempat pembuatan alat-alat batu yang khas dengan ciri dipangkas pada satu atau dua sisi permukaannya.

Menurut C.F. Gorman dalam bukunya The Hoabinhian and after : Subsistance patterns in South East Asia during the latest Pleistocene and Early Recent Periods (1971) menyatakan bahwa penemuan alat-alat dari batu paling banyak ditemukan dalam penggalian di pegunungan batu kapur di daerah Vietnam bagian utara, yaitu di daerah Bacson pegunungan Hoabinh.
Di samping alat-alat dari batu yang berhasil ditemukan, juga ditemukan alat-alat serpih, batu giling dari berbagai ukuran, alat-alat dari tulang dan sisa tulang belulang manusia yang dikubur dalam posisi terlipat serta ditaburi zat warna merah.
Sementara itu, di daerah Vietnam ditemukan tempat-tempat pembuatan alat-alat batu, sejenis alat batu dari kebudayaan Bacson-Hoabinh. Bahkan di Gua Xom Trai  (dalam buku Pham Ly Huong ; Radiocarbon Dates of The Hoabinh Culture in Vietnam, 1994) ditemukan alat-alat batu yang sudah diasah pada sisi yang tajam. Alat-alat batu dari Goa Xom Trai tersebut diperkirakan berasal dari 18.000 tahun yang lalu,  kemudian dalam perkembangannya alat-alat dari batu atau yang dikenal dengan kebudayaan Bacson-Hoabinh tersebar dan berhasil ditemukan hampir di seluruh daerah Asia Tenggara, baik darat maupun kepulauan, termasuk wilayah Indonesia.

Hasil-hasil Kebudayaan Bacson-Hoabinh di Indonesia adalah, kapak genggam, kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit karang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di Kerinci pulau Sumatera, kapak dari tulang dan tanduk, di sekitar daerah Nganding dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun (Jawa Timur), Flakes adalah berupa alat alat kecil terbuat dari batu yang disebut dengan flakes atau alat serpih. Flakes selain terbuat dari batu biasa juga ada yang dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti calsedon, dan Kjokkenmoddinger adalah bukit-bukit sampah kerang yang berdiameter sampai 100 meter dengan kedalaman 10 meter. Peninggalan ini ditemukan di Sumatra. Lapisan kerang tersebut diselang-selingi dengan tanah dan abu. Tempat penemuan bukit kerang ini pada daerah dengan ketinggian yang hampir sama dengan permukaan air laut sekarang dan pada kala Holosen daerah tersebut merupakan garis pantai.

Kebudayaan Bacson - Hoabinh yang terdiri dari pebble, kapak pendek serta alat-alat dari tulang masuk ke Indonesia melalui jalur barat. Sedangkan kebudayaan yang terdiri dari flakes masuk ke Indonesia melalui jalur timur.

Pengaruh utama budaya Hoabinh terhadap perkembangan budaya masyarakat awal kepulauan Indonesia adalah berkaitan dengan tradisi pembuatan alat terbuat dari batu. Beberapa ciri pokok budaya Bacson-Hoabinh ini antara lain: Pembuatan alat kelengkapan hidup manusia yang terbuat dari batu. Batu yang dipakai untuk alat umumnya berasal dari batu kerakal sungai. Alat batu ini telah dikerjakan dengan teknik penyerpihan menyeluruh pada satu atau dua sisi batu. Hasil penyerpihan menunjukkan adanya keragaman bentuk. Ada yang berbentuk lonjong, segi empat, segi tiga dan beberapa diantaranya ada yang berbentuk berpinggang. Pengaruh budaya Hoabihn di Kepulauan Indonesia sebagian besar terdapat di daerah Sumatra. Hal ini lebih dikarenakan letaknya yang lebih dekat dengan tempat asal budaya ini.

Kebudayaan Dongson. Sejarah awal kebudayaan Dongson adalah kebudayaan zaman Perunggu yang berkembang di Lembah Sông Hồng, Vietnam. Kebudayaan ini juga berkembang di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia dari sekitar 1000 SM sampai 1 SM.
Kebudayaan Dongson ini berawal dari evolusi kebudayaan Austronesia. Asal usulnya sendiri telah dicari adalah bangsa Yue-tche yang merupakan orang-orang barbar yang muncul di barat daya China sekitar abad ke-8 SM. Kebudayaan Dongson secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam, yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 Sebelum Masehi. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh hoa.

Pengolahan logam menunjukkan taraf kehidupan yang semakin maju, sudah ada pembagian kerja yang baik, masyarakatnya sudah teratur. Teknik peleburan logam merupakan teknik yang tinggi. Pendukung kebudayaan ini adalah bangsa Austronesia, juga pendukung kapak persegi.
Pengetahuan mengenai perkembangan kebudayaan logam ini mulai banyak dikenal setelah Payot mengadakan penggalian di sebuah kuburan Dongson (Vietnam) pada tahun 1924. Namun perlu diketahui bahwa benda-benda perunggu yang telah ada sebelum tahun 500 SM terdiri atas kapak corong (corong merupakan pangkal yang berongga untuk memasukkan tangkai atau pegangannya) dan ujung tombak, sabit bercorong, ujung tombak bertangkai, mata panah dan benda-benda kecil lainnya seperti pisau, kail, gelang dan lain-lain.

Penemuan benda-benda dari kebudayaan Dongson sangat penting karena benda-benda logam yang ditemukan di wilayah Indonesia umumnya bercorak Dong Son, dan bukan mendapat pengaruh budaya logam dari India maupun Cina. Budaya perunggu bergaya Dongson tersebar luas di wilayah Asia Tenggara dan kepulauan Indonesia. Hal ini terlihat dari kesamaan corak hiasan dan bahan-bahan yang dipergunakannya. Misalnya nekara, menunjukkan pengaruh yang sangat kuat. Nekara dari tipe Heger 1 memiliki kesamaan dengan nekara yang paling bagus dan tertua di Vietnam. Benda-benda perunggu lainnya yang berhasil ditemukan di daerah Dongson serta beberapa kuburan seperti daerah Vie Khe, Lang Cha, Lang Var. Satu nekara yang ditemukan yang besar berisi 96 mata bajak perunggu bercorang. Dari penemuan itu terdapat alat-alat dari  besi, meskipun jumlahnya sangat sedikit. Dari penemuan benda-benda budaya Dongson itu, diketahui cara pembuatannya dengan menggunakan teknik cetak lilin hilang yaitu dengan membuat bentuk benda dari lilin, kemudian lilin itu di balut dengan tanah liat dan dibakar hingga terdapat lubang pada tanah liat tersebut.


Budaya Dongson sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan budaya perunggu di Indonesia. Bahkan tidak kurang dari 56 nekara yang berhasil ditemukan di beberapa wilayah Indonesia dan terbanyak nekara ditemukan di Sumatera Kerinci , Jawa, Maluku Selatan.


Benda-benda arkeologi dari Dongson sangat beraneka ragam, karena mendapat berbagai macam pengaruh dan aliran. Hal tersebut nampak dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual yang sangat rumit sekali. Perunggu adalah bahan pilihan. Benda-benda seperti kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang kaya dan indah. Kemudian gerabah dan jambangan rumah tangga, mata timbangan dan kepala pemintal benang, perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain. Semua benda tersebut atau hampir semuanya diberi hiasan. Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari kesenian ini diantaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan spiral yang tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan.

Dari motif-motif yang dijumpai pada nekara yang sering disebut-sebut sebagai nekara hujan, ditampilkan dukun-dukun atau syaman-syaman yang kadang-kadang menyamar sebagai binatang bertanduk, menunjukkan pengaruh China atau lebih jauhnya pengaruh masyarakat kawasan stepa. Jika bentuk ini disimbolkan sebagai perburuan, maka ada lagi simbol yang menunujukkan kegiatan pertanian yakni matahari dan katak (simbol air). Sebenarnya, nekara ini sendiri dikaitkan dengan siklus pertanian. Dengan mengandalkan pengaruh ghaibnya, nekara ini ditabuh untuk menimbulkan bunyi petir yang berkaitan dengan datangnya hujan.

Pada nekara-nekara tersebut, yang seringkali disimpan di dalam makam terlihat motif perahu yang dipenuhi orang yang berpakaian dan bertutup kepala dari bulu burung. Hal tersebut boleh jadi menggambarkan arwah orang yang sudah mati yang berlayar menuju surga yang terletak di suatu tempat di kaki langit sebelah timur lautan luas. Pada masyarakat lampau, jiwa sering disamakan dengan burung dan mungkin sejak periode itu hingga sekarang masih dilakukan kaum syaman yang pada masa kebudayaan Dongson merupakan pendeta-pendeta menyamar seperti burung agar dapat terbang ke kerajaan orang-orang mati untuk mendapatkan pengetahuan mengenai masa depan.

Lagi pula nekara-nekara tersebut sendiri didapatkan pada awal abad ke-19 masih digunakan untuk upacara ritual keagamaan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pada nekara tesebut digambarkan kehidupan orang-orang Dongson mulai perburuan, pertanian hingga kematian.

Banyaknya perlengkapan pemakaman tersebut menunjukkan ritual yang dilakukan masyarakat Dongson. Antara lain masalah jenazah yang dikelilingi semua benda-benda sehari-hari miliknya agar dapat hidup secara normal di alam baka. Belakangan sebagai upaya penghematan, yang ikut dikuburkan bersama jenazah adalah benda-benda berukuran kecil saja. Kemudia pada masa akhir kebudayaan Dongson, muncul bentuk ritual baru. Sebelumnya makamnya berbentuk peti mati sederhana dari kayu yang dikubur, sementara pada berikutnya yang dinamakan periode Lach-truong, yang mungkin diawali pada abad pertama sebelum Masehi, telah ditemukan makam dari batu bata yang berbentuk terowongan atau lebih tepatnya gua yang terbagi menjadi tiga kamar oleh tembok-tembok lengkung beratap. Semula perlengkapan ini dikait-kaitkan dengan pengaruh Yunani tentang kehidupan alam baka, meski sebenarnya menunjukkan pengaruh China yang terus-terus bertambah besar yang beranggapan bahwa arwah orang mati bersembunyi dalam gua-gua yang terdapat di lereng-lereng gunung suci, tempat bersemayam para arwah yang abadi.

Makam yang berbentuk terowongan itu boleh dikatakan tiruan dari gua alam gaib tersebut. Peletakan peti mati di kamar tengah, kemudian di ruangan bersebelahan ditumpuk sesajen sebagai makanan untuk arwah dan ruangan ketiga disediakan altar yang terdapat lampu-lampu yang dibawa atau dijaga oleh patung-patung terbuat dari perunggu. Secara sekilas terasa pengaruh Hellenisme yang menandai akhir kebudayaan Dongson.

Hubungan tradisi lisan dalam ritual Asyeik di Kerinci di mulai saat pertebaran bangsa Austronesia (MelayuTua) yang berlangsung pada zaman Prahistoria antara (10.000-2.000) tahun SM dengan ditemukan alat-alat Neolitikum. Alat-alat prahistoria yang sangat tua dan unik itu salah satunya ditemukan di dataran tinggi daerah Kerinci. Khusus mengenai alat serpihan obsidian, daerah Kerinci disebut menjadi inti dari kebudayaan alat serpih (flakes culture) termasuk dalam zaman Mesolitikum. Peninggalan bersejarah dari masa prahistoria di Kerinci sejenis menhir batu, keadaannya sangat unik berbentuk silindrik dengan posisi tergeletak di permukaan tanah. Posisi semacam ini belum pernah di temukan pada daerah  lainnya di Indonesia, keadaan silindrik di Kerinci merupakan penyimpangan dari tradisi umum megalitik di Indonesia. Batu silindrik yang ada di Kerinci saat sekarang sebanyak tujuh buah, bermotifkan relief manusia kangkang, matahari, lingkaran aura dan sebagainya. Ada yang polos tanpa motif, secara kronologis  berasal dari masa 12.000 tahun SM. Motif ini berhubungan erat dengan bentuk tarian dan alat yang di gunakan pada upacara ritual “Asyeik”.

Benda-benda yang berasal dari zaman perunggu yang di temukan di daerah Kerinci yaitu gelang, giring-giring, cakram, nekara dan sebuah bejana. Nekara perunggu Kerinci termasuk dalam kelompok Heger –1, menunjukan persamaan dengan temuan di Dongson dan Phom Penh. Sedangkan bejana perunggu memiliki motif persamaan dengan seni hias yang terdapat pada bangunan tradisional Kerinci, serta pada bangunan ibadah lainnya.  Benda-benda  perunggu ini dikatakan sebagai peninggalan zaman Paleometalik berasal dari 1.000-500 tahun SM.

Temuan tertua lain di daerah Kerinci berupa keramik kuno yang berasal dari masa pemerintahan Dinasti Han di Cina (Tahun 202 SM-221 Masehi). Adanya keramik Han di daerah Kerinci, memperkuat dugaan kita akan kemampuan penduduk prasejarah Kerinci dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan daratan Cina. Besar kemungkinan daerah Kerinci pada zaman itu sebagai pusat sebuah peradaban tertua di Sumatra, mengingat catatan yang di buat oleh K’ang-tai dan Wan-Chen dari dinasti wangsa Wu (222-280 SM), diterangkan sebuah kerajaan di Sumatra terdapat banyak gunung api dan di selatannya ada sebuah teluk bernama Wen.

Dari penggalian arkeologi di dataran tinggi Kerinci, merupakan salah satu sasaran penelitian arkeologi sejak tahun 1932 dengan perintisnya adalah A.N.J.Th a Th van der Hoop. Tinggalan menonjol di kawasan tersebut adalah alat obsidian dan megalit. Sejak tahun 2005 mulai ditemukan sejumlah situs kubur tempayan yang berasosiasi dengan tinggalan megalit, sehingga diperkirakan kedua unsur budaya tersebut hidup sezaman.  Penelitian kubur tempayan selama ini mengungkapkan bahwa di dataran tinggi Kerinci berkembang tradisi penguburan dengan tempayan sebagaimana terdapat juga di berbagai situs arkeologi di Indonesia. Penelitian kubur tempayan juga mengungkapkan adanya pemberian bekal kubur yang menunjukkan kepercayaan adanya kehidupan setelah mati.

Penelitian kubur tempayan  di Desa Muak, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi yang dilaksanakan pada bulan Juli 2007 merupakan salah satu rangkaian penelitian yang dilakukan sebelumnya yang bertujuan untuk merekonstruksi aspek-aspek kehidupan tradisi megalitik di dataran tinggi Jambi. Penelitian tersebut dipimpin oleh Drs. Tri Marhaeni SB dengan anggota inti Sondang M. Siregar, SS (arkeolog), Sigit Eko Prasetyo, S.Hum (arkeolog), dan Armadi, ST (pemetaan).

Ekskavasi di Desa Muak dilakukan di tiga tempat, yaitu dua situs kubur tempayan dan satu situs megalit.  Di situs Ulu Muak dibuka satu lobang ekskavasi  berukuran 2x2 meter. Di kotak tersebut ditemukan lima buah wadah tembikar yang bentuk dan ukurannya bervariasi serta kedalaman penemuannya berbeda. Temuan wadah yang dikenali tiga buah, yaitu satu buah periuk bertutup periuk, satu buah tempayan bertutup belanga, dan satu buah guci bertutup  pasu. Dalam tempayan tidak ditemukan tinggalan arkeologis.

Ekskavasi kubur tempayan lainnya dilakukan di situs Dusun Baru Muak. Situs ini terletak sekitar 150 meter dari Ulu Muak. Di situs Dusun Bartu Muak dibuka empat kotak ekskavasi yang masing-masing berukuran 2x2 meter. Ekskavasi tersebut menemukan enam buah wadah tembikar yang diperkirakan semuannya berbentuk tempayan. Keadaannya retak dan pecah, sehingga tidak dapat dikenali bentuknya. Dalam tempayan tidak ditemukan tinggalan arkeologis. Dibanding dengan temuan di Ulu Muak, wadah tembikar dari situs ini lebih homogen bentuknya (mungkin semuanya tempayan) serta lebih besar ukurannya. Wadah tembikar yang dipergunakan sebagai wadah kubur di Ulu Muak pun berbeda bentuknya dengan yang ditemukanb di Lolo Gedang, sebuah situs kubur tempayan lain yang berada sekitar 2,3 km dari Ulu Muak.

 Ekskavasi delapan buah kotak berukuran 2x2 meter dilakukan di situs Batu Patah, sekitar 500 meter dari Ulu Muak. Ekskavasi  dimaksudkan untuk mengetahui lapisan budaya di sekitar megalit karena di permukaan situs telah ditemukan pecahan tembikar dari galian cangkul untuk menanam ubi jalar. Ternyata lapisan budaya dengan temuan menonjol pecahan wadah tembikar  terbatas pada lapisan lempung coklat di atas lanau kuning. Kedalamannya  dari permukaan tanah bervariasi antara 40--60 cm. Temuan lapisan budaya ini sekaligus membuktikan bahwa di sekitar megalit terdapat hunian yang diperkirakan sezaman karena pola demikian ditemukan pula di situs-situs di dataran tinggi Jambi lainnya. Perbedaannya dengan situs-situs lainnya di kawasan yang sama, yaitu keletakan antara megalit dan kubur tempayan di Muak lebih berdekatan (sementara ini 500 meter), sedangkan di tempat lain tidak kurang dari 1 km.

Dari pengalian arkeologi ini menegaskan tradisi lisan dalam ritual Asyeik sudah ada sejak zaman pra-aksara dimana zaman ketika manusia belum mengenal tulisan, ditandai dengan belum ditemu­kannya keterangan tertulis mengenai kehidupan manusia. Periode ini ditandai dengan cara hidup berburu dan mengambil bahan makanan yang tersedia di alam. Pada zaman pra-aksara pola hidup dan berpikir manusia sangat bergantung dengan alam. Tempat tinggal mereka berpindah-pindah berdasarkan ketersediaan sumber makanan. Zaman pra-aksara sering disebut juga dengan zaman nirleka. Nir artinya tanpa dan leka artinya tulisan.Zaman pra-aksara berakhir ketika masyarakatnya sudah mengenal tulisan.

Pembabakan masa pra-aksara Indonesia telah dimulai sejak 1920-an oleh beberapa peneliti asing seperti P.V. van Stein Callenfels, A.N.J. Th. van der Hoop, dan H.R. van Heekern. Pembabakan masa pra-aksara Indonesia didasarkan pada penemuan-penemuan alat-alat yang digunakan manusia pra-aksara yang tinggal di Kepulauan Nusantara. Para ahli arkeologi dan paleontologi membagi masa pra-aksara Indonesia ke dalam dua zaman, yaitu zaman batu dan zaman logam. 

#M.Ali Surakhman#
https://metrojambi.com/tag/m-ali-surakhman

Minggu, 16 September 2018

MITOS DAN FAKTA KERAJAAN MELAYU TUA


Nenek moyang bangsa Indonesia diduga kuat oleh para Arkeolog adalah ras Austronesia. Ras ini mendarat di Kepulauan Nusantara, dan memulai peradaban neolitik. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa budaya neolitik dimulai sekitar 5000 tahun lalu di kepulauan Nusantara. Bersamaan dengan budaya baru ini bukti antropologi menunjukkan muncul juga manusia dengan ciri fisik Mongoloid. Populasi Mongoloid ini menyebar di kawasan Nusantara sekitar 5000 sampai 3000 tahun lalu dengan membawa bahasa Austronesia dan teknologi pertanian.

Di Nusantara saat ini paling tidak terdapat 50 populasi etnik Mongoloid yang mendiaminya. Budaya dan bahasa mereka tergolong dalam satu keluarga atau filum bahasa, yaitu bahasa-bahasa Austronesia yang menunjukkan mereka berasal dari satu nenek moyang. Lalu dari manakah populasi Austronesia ini berasal dan daerah manakah pertama kalinya mereka huni di Nusantara ini? Sebuah pertanyaan yang belum terjawab oleh riset sejarah selama ini. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah pengkajian dan analisis yang komprehensif tentang bukti sejarah yang ada dan menelusuri hubungan historis suatu daerah dengan daerah lainnya. Metode yang digunakan adalah mengumpulkan cerita/tombo yang ada di masyarakat dan penelusuran fakta yang mendukung tombo tersebut.

Kerajaan tertua di Pulau Jawa berdasarkan bukti arkeologis adalah kerajaan Salakanegara dibangun abad ke-2 Masehi yang terletak di Pantai Teluk Lada, Pandeglang Banten. Diduga kuat mereka berimigrasi dari Sumatra. Sedangkan Kerajaan tertua di Sumatra adalah kerajaan Melayu Jambi (Chu-po), yaitu Koying (abad 2 M), Tupo (abad ke 3 M), dan Kuntala/Kantoli (abad ke 5 M). Menurut cerita/tombo adat Lubuk Jambi yang diwarisi dari leluhur mengatakan bahwa disinilah lubuk (asal) orang Jambi, oleh karena itu daerah ini bernama Lubuk Jambi. Dalam tombo juga disebutkan di daerah ini terdapat sebuah istana kerajaan Kandis yang sudah lama hilang. Istana itu dinamakan istana Dhamna, berada di puncak bukit yang dikelilingi oleh sungai yang jernih. Penelusuran peninggalan kerajaan ini telah dilakukan selama 7 bulan (September 2008-April 2009), dan telah menemukan lokasi, artefak, dan puing-puing yang diduga kuat sebagai peninggalan Kandis dengan ciri-ciri lokasi mirip dengan sketsa Plato (347 SM) tentang Atlantis. Namun penemuan ini perlu dilakukan penelitian arkeologis lebih lanjut.
Nusantara merupakan sebutan untuk negara kepulauan yang terletak di kepulauan Indonesia saat ini. Catatan bangsa Tionghoa menamakan kepulauan ini dengan Nan-hai yang berarti Kepulauan Laut Selatan. Catatan kuno bangsa India menamainya Dwipantara yang berarti Kepulauan Tanah Seberang, yang diturunkan dari kata Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang) dan disebut juga dengan Swarnadwiva (pulau emas, yaitu Sumatra sekarang). Bangsa Arab menyebut daerah ini dengan Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa).
Migrasi manusia purba masuk ke wilayah Nusantara terjadi para rentang waktu antara 100.000 sampai 160.000 tahun yang lalu sebagai bagian dari migrasi manusia purba “out of Africa“. Ras Austolomelanesia (Papua) memasuki kawasan ini ketika masih bergabung dengan daratan Asia kemudian bergerak ke timur, sisa tengkoraknya ditemukan di gua Braholo (Yogyakarata), gua Babi dan gua Niah (Kalimantan). Selanjutnya kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi, perpindahan besar-besaran masuk ke kepulauan Nusantara (imigrasi) dilakukan oleh ras Austronesia dari Yunan dan mereka menjadi nenek moyang suku-suku di wilayah Nusantara bagian barat. Mereka datang dalam 2 gelombang kedatangan yaitu sekitar tahun 2.500 SM dan 1.500 SM (Wikipedia, 2009).

Bangsa nenek moyang ini telah memiliki peradaban yang cukup baik, mereka paham cara bertani yang lebih baik, ilmu pelayaran bahkan astronomi. Mereka juga sudah memiliki sistem tata pemerintahan sederhana serta memiliki pemimpin (raja kecil). Kedatangan imigran dari India pada abad-abad akhir Sebelum Masehi memperkenalkan kepada mereka sistem tata pemerintahan yang lebih maju (kerajaan).

Kepulauan Nusantara saat ini paling tidak ada 50 populasi etnik yang mendiaminya, dengan karakteristik budaya dan bahasa tersendiri. Sebagian besar dari populasi ini dengan cirri fisik Mongoloid, mempunyai bahasa yang tergolong dalam satu keluarga atau filum bahasa. Bahasa mereka merupakan bahasa-bahasa Austronesia yang menunjukkan mereka berasal dari satu nenek moyang. Sedangkan di Indonesia bagian timur terdapat satu populasi dengan bahasa-bahasa yang tergolong dalam berbagai bahasa Papua.
Pusat Arkeologi Nasional telah berhasil meneliti kerangka berumur 2000-3000 tahun, yaitu penelitian DNA purba dari situs Plawangan di Jawa Tengah dan Gilimanuk Bali. Penelitian itu menunjukkan bahwa manusia Indonesia yang hidup di kedua situs tersebut telah berkerabat secara genetik sejak 2000-3000 tahun lalu. Pada kenyataannya hingga sekarang populasi manusia Bali dan Jawa masih memiliki kekerabatan genetik yang erat hingga sekarang.

Hasil penelitian Alan Wilson tentang asal usul manusia di Amerika Serikat (1980-an) menunjukkan bahwa manusia modern berasal dari Afrika sekitar 150.000-200.000 tahun lampau dengan kesimpulan bahwa hanya ada satu pohon filogenetik DNA mitokondria, yaitu Afrika. Hasil penelitian ini melemahkan teori bahwa manusia modern berkembang di beberapa penjuru dunia secara terpisah (multi origin). Oleh karena itu tidak ada kaitannya manusia purba yang fosilnya ditemukan diberbagai situs di Jawa (homo erectus, homo soloensis, mojokertensis) dan di Cina (Peking Man) dengan perkembangan manusia modern (homo sapiens) di Asia Timur. Manusia purba ini yang hidup sejuta tahun yang lalu merupakan missing link dalam evolusi. Saat homo sapiens mendarat di Kepulauan Nusantara, pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan masih tergabung dengan daratan Asia sebagai sub-benua Sundaland. Sedangkan pulau Papua saat itu masih menjadi satu dengan benua Australia sebagai Sahulland.

Teori kedua yang bertentangan dengan teori imigrasi Austronesia dari Yunan dan India adalah teori Harry Truman. Teori ini mengatakan bahwa nenek moyang bangsa Austronesia berasal dari dataran Sunda-Land yang tenggelam pada zaman es (era pleistosen). Populasi ini peradabannya sudah maju, mereka bermigrasi hingga ke Asia daratan hingga ke Mesopotamia, mempengaruhi penduduk lokal dan mengembangkan peradaban. Pendapat ini diperkuat oleh Umar Anggara Jenny, mengatakan bahwa Austronesia sebagai rumpun bahasa yang merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah manusia. Rumpun ini memiliki sebaran yang paling luas, mencakup lebih dari 1.200 bahasa yang tersebar dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur. Bahasa tersebut kini dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang. Pendapat Umar Anggara Jenny dan Harry Truman tentang sebaran dan pengaruh bahasa dan bangsa Austronesia ini juga dibenarkan oleh Abdul Hadi WM (Samantho, 2009).

Teori awal peradaban manusia berada di dataran Paparan Sunda (Sunda-Land) juga dikemukan oleh Santos (2005). Santos menerapkan analisis filologis (ilmu kebahasaan), antropologis dan arkeologis. Hasil analisis dari reflief bangunan dan artefak bersejarah seperti piramida di Mesir, kuil-kuil suci peninggalan peradaban Maya dan Aztec, peninggalan peradaban Mohenjodaro dan Harrapa, serta analisis geografis (seperti luas wilayah, iklim, sumberdaya alam, gunung berapi, dan cara bertani) menunjukkan bahwa sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun Santos menyimpulkan bahwa Sunda Land merupakan pusat peradaban yang maju ribuan tahun silam yang dikenal dengan Benua Atlantis.

Dari kedua teori tentang asal usul manusia yang mendiami Nusantara ini, benua Sunda-Land merupakan benang merahnya. Pendekatan analisis filologis, antropologis dan arkeologis dari kerajaan Nusantara kuno serta analisis hubungan keterkaitan satu dengan lainnya kemungkinan besar akan menyingkap kegelapan masa lalu Nusantara.

#malisurakman

Sumber :
Datoek Toeah. 1976. Tambo Alam Minangkabau. Pustaka Indonesia. Bukit Tinggi.
Graves, E. E. 2007. Asal-usul Elite Minangkabau Modern. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Hall, D. G. E. tanpa tahun. Sejarah Asia Tenggara. Usaha Nasional. Surabaya.
Kristy, R (Ed). 2007. Alexander the Great. Gramedia. Jakarta.
Kristy, R (Ed). 2006. Plato Pemikir Etika dan Metafisika. Gramedia. Jakarta.
Marsden, W. 2008. Sejarah Sumatra. Komunitas Bambu. Depok.
Olthof, W.L. 2008. Babad Tanah Jawi. Penerbit Narasi. Yogyakarta.
Samantho, A. Y. 2009. Misteri Negara Atlantis mulai tersingkap?. Majalah Madina Jakarta. Terbit Mei 2009.

Minggu, 09 September 2018

MENELISIK JEJAK KAWA DI BUMI SERIBU SYAIR



Kopi memainkan peran penting dalam sejarah dan literatur dunia. Hal tersebut dikarenakan luasnya efek industrial kopi terhadap budaya dimana kopi diproduksi atau dikonsumsi. Sejarah kopi berbeda-beda di setiap negara. Menurut catatan sejarah, tanaman kopi pertama kali ditemukan di dataran Afrika, tetapi minuman kopi pertama kali dibuat dan diracik oleh orang orang di negeri Arab. Kopi dalam bahasa Kerinci di sebut Kawa atau Kawoa, yang diambil dari bahasa arab qahwah. Kapan mulainya penduduk menanam kopi di dataran tinggi Kerinci ?, tidak ada catatan atau penelitian tentang ini, namun sejak VOC masuk ke Kerinci tahun 1901, untuk melakukan ekspedisi mencari emas, dan dibunuhnya 3 utusan VOC dari Muko Muko Bengkulu, tahun 1902 VOC kembali ke Kerinci untuk melaksanakan ekspedisi balas dendam, 1903 meletus perang hebat Kerinci dengan VOC, sampai 1906, Setelah pertempuran 1903-1906 nyaris tidak terjadi perlawanan berarti dari rakyat di alam Kerinci. Masyarakat bercorak tradisi megalitik di dataran tinggi Kerinci mungkin sekali menghuni lahan di sekitar batu monolit yang mempunyai nama lokal batu gong, batu bedil atau batu larung. Bukti-bukti hunian di sekitar batu megalitik ditemukan dalam ekskavasi Bagyo Prasetyo tahun 1994 di Bukit Talang Pulai, Kerinci . Tinggalan artefak menonjol di situs megalit adalah pecahan tembikar yang merupakan bukti pemukiman. Melalui analisis C-14 yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, arang yang ditemukan dalam tempayan diketahui berumur 810 ± 120 BP (tahun 1020 -- 1260 M). Sementara itu, situs Bukit Batu Larung berumur 970 ± 140 BP (tahun 840 -- 1120).


Di Afrika Sejarah minuman kopi dimulai sekitar tahun 800 SM. Pada saat itu, banyak warga Ethiopia yang mengkonsumsi biji kopi yang dicampur dengan lemak hewan dan anggur untuk memenuhi kebutuhan protein dan energi tubuh. Berdasarkan legenda, seorang pengembala yang bernama Khallid dari Ethiopia, secara tidak sengaja mengamati sekawanan kambingnya yang tetap terjaga dan selalu kuat dalam menempuh perjalanan,setelah memakan sejenis buah berry, meskipun matahari telah terbenam.Lalu si pengembara ini mencoba mengkonsumsi biji yang juga dimakan oleh kawanan kambingnya itu dan biji itu ternyata biji kopi liar. Setelah beberapa ratus tahun berkembangnya kabar kopi di Ethiopia, barulah kopi ini dibawa melalui Laut Merah menuju Arab, dan disajikan dengan metode pengolahan yang lebih canggih pada saat itu. 

Penyebaran Kopi di Arab Bangsa Arab, memiliki peradaban yang lebih maju dari pada Afrika pada saat itu, tidak hanya memasak biji kopi, tetapi juga direbus untuk mengambil sarinya. Salah satu catatan tertulis pertama bercerita tentang Syeikh Omar, yang membawa kopi ke kota Mochapada tahun 1250.Kota ini sering disebut Mukhayang sekarang berada di Yaman modern.

Kedai kopi pertama di dunia dibuka di Makkah pada awal abad ke 15. Kedai kedai itu adalah tempat yang nyaman, dan tempat orang-orang memanjakan diri dan berdiskusi politik sambil menghadapi secangkir kopi. Pada tahun 1600, seorang peziarah bernama Baba Budan berhasil membawa biji kopi fertile keluar dari Mekkah, dan menumbuhkannya di daerah luar Ara Di Indonesia sendiri, catatan tertulis menunjukkan bahwa Gubernur Belanda di Malabar, India mengirim bibit kopi Yaman atau kopi arabika kepada Gubernur Belanda di Batavia (yang sekarang dikenal Jakarta) pada tahun 1696. Bibit pertama gagal tumbuh dikarenakan banjir di Batavia pada saat itu. Pengapalan kedua biji kopi ke Batavia dilaporkan terjadi pada tahun 1699. Dan tanaman ini berhasil tumbuh pada tahun 1711, dan ekspor pertama dikirim dari Jawa ke Eropa oleh perusahaan dagang Belanda yang dikenal dengan VOC (Verininging Oogst Indies Company) yang didirikan pada tahun 1602.

Selama 10  tahun, ekspor meningkat menjadi 60 ton pertahun, dan Indonesia adalah tempat pertama kali kopi dibudidayakan secara luas diluar Arab dan Ethiopia. Kopi tersebut dikapalkan ke Eropa melalui pelabuhan Batavia.Pada tahun 1700, kopi yang dikapalkan dari Batavia dijual seharga 3 Guilders per kilogramnya di Amsterdam. Income tahunan Belanda di tahun itu sekitar 200-400 Guilders, hal ini sebanding dengan beberapa ratus dollar tiap kilogram saat ini. Di akhir abad 18 harga jatuh menjadi 0,5 Guilders per kilogram dan tradisi minum kopi meluas mulai dari kalangan elit sampai masyarakat kebanyakan. 

Di pertengahan abad 17, VOC mengembangkan area tanam kopi arabika di Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Kepulauan Timor. Di Sulawesi kopi pertama kali di tanam tahun 1750. Di dataran tinggi Sumatera Utara, kopi pertama kali tumbuh di dekat Danau Toba pada tahun 1888, diikuti oleh dataran tinggi Aceh (Gayo) dekat Danau Laut Tawar pada tahun 1924.


Kopi Di Kerinci.

Sejak 1906 Kerinci dipertahankan sebagai daerah otonom, dalam arti tidak termasuk bagian dari Sumatera Barat dan bukan juga bagian dari Jambi sebagaimana yang dikenal saat ini. Karena struktur tanahnya yang banyak mengandung alluvial, granite dan andesit di dataran tinggi Kerinci Utara dan Kerinci Selatan menyebabkan tanah di kawasan ini sangat cocok untuk ditanami aneka tanaman perkebunan untuk eksport seperti teh, kopi, kina, dll. Disamping itu semua jenis sayur mayur dapat tumbuh dan hidup dengan subur di dataran tinggi alam Kerinci.

Sebelum tahun 1924, hampir seluruh tanah “erfpacht perceel” di daerah Sumatera Barat termasuk Kerinci dilakukan penanaman Kopi, pada awal tahun 1924 dilakukan penggantian tanaman kopi, karena pada saat itu harga kopi dipasaran internasional kurang memuaskan dan pada saat itu terjadi serangan penyakit yang menyerang tanaman kopi. Keadaan tersebut menyebabkan munculnya penanaman teh dan kina di daerah Keresidenan Sumatera Barat, sebenarnya jauh sebelumnya yakni tahun 1903 telah dilakukan penanaman teh dan Kopi di Pulau Sumatera di daerah Akar Gadang ( 1903 ) dan Kebun Kina di Kebun Taluk Gunung (1907), namun usaha perkebunan tersebut belum dilakukan secara optimal. Penanaman secara besar-besaran mulai dilakukan setelah tahun 1924. Khusus untuk perkebunan teh di wilayah Keresidenan Sumatera Barat mencapai 5.473.925 hektar dan lahan kopi seluas 831 hektar yang merupakan lahan “erfpacht”. Untuk hasil perkebunan teh pada saat itu cukup menggembirakan dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan lainnya.

Pada masa Kolonial Belanda di alam Kerinci terdapat pusat Onderneming dengan 3 lokasi perkebunan yang dibangun oleh Belanda yakni Kopi di kawasan Batang Merangin (1928), Kina dan teh di Pulau Sangkar dan Kayu Aro.

Untuk mewujudkan pembangunan kebun Kopi, kina dan teh pada tiga lokasi onderneming tersebut, Belanda mendatangkan tenaga kerja (Koeli Kontrak) dari pulau Jawa. Usaha perkebunan Kopi Belanda membuka lahan perkebunan di kawasan Pematang Lingkung Batang Merangin, bedeng 4,5,6,7,8 dan bedeng 12. untuk Kina/Teh dibanggun pemukiman di kebun baru dan kebun lima, sementara untuk teh dan kopi di wilayah Kebun Baru-Pulau Sangkar dan Batang Merangin, dan teh pembangunan dihentikan dan dibangun di kawasan Kayu aro di kaki Gunung Kerinci dengan pusat di kawasan Bedeng VIII, Sungai Jambu, Kersik Tuo hingga ke kaki gunung Kerinci

Namun sebelum belanda tanaman kopi di Kerinci sudah ada, berdasarkan catatan William Marsden seorang pegawai EIC ( East India Company) dalam bukunya History Of Sumatera 1780, ia bersama adiknya seorang Dokter John Marsden dan  rekan rekannya di Bengkulu Charles Miller dan John Chrisp yang punya peranan penting memberi informasi sebelum William datang lansung, di bukunya William Marsden menulis, ia menemukan tanaman kopi sudah banyak di tanam oleh penduduk setempat di daerah Bengkulu dan Kerinci, namun kualitasnya jelek, dan jarak tanamnya terlalu dekat dan tidak beraturan, dalam catatan lain seorang Kapten Belanda 1902, menyebutkan masyarakat Kerinci sudah ada tradisi minum kopi, namun tidak buahnya tapi dari daunnya yang di tuang di dalam bambu.

Dalam tradisi masyarakat dataran tinggi Kerinci, daun kopi di kenal dengan “Minun Kawoa”, Kawoa atau Kawa untuk pengertian masyarakat Kerinci adalah Kopi Daun, Daun Kopi muda yang sudah melalui proses penjemuran dan pengasapan. Kemudian diseduh di dalam tabung kawoa, yang terbuat dari bambu betung tua dan pegangannya dari kayu sigi (Pinus Strain Merkusi) atau kayu Pacat endemik Kerinci, serta di minum di batok kelapa di campur gula enau (Aren).

Kalau di tilik dari tradisi minun kawoa tanaman kopi sudah ada di Kerinci sejak abad ke 14 mungkin bisa jadi diatas abad 14, kenapa penulis mengatakan tradisi minun kawoa sudah ada sejak abad 14, sesuai temuan tabung kawo di dusun Sungai Penuh, yang menurut antropolog Leiden University Dr. Jet Bakels, yang meneliti di Kerinci tahun 1992-1996, ragam hias di tabung kawoa tersebut sama dengan ragam hias temuan gerabah dan arsitektur traditional Kerinci, tapi yang pastinya belum ada uji karbon atau carbon dating tentang ini.

Hubungan motif atau ragam hias “tabung kawoa” dengan temuan arkeologi dari zaman perunggu, ada baiknya sedikit kita ulas tentang kebudayaan perunggu ini, bukti arkeologi menunjukkan bahwa artefak logam tertua ditemukan di Turki yang diperkirakan berasal dari tahun millennium ke 6 SM (Haryono, 2001: 2). Sementara itu, di Asia Tenggara zaman logam  diperkirakan di mulai pada tahun 2000 SM. Hal ini berdasarkan pada tinggalan-tinggalan produk budaya bendawi berupa artefak logam  perunggu yang ditemukan di Thailand (Haryono, 2001).   Van-Heekeren (1958:1) mengemukakan bahwa di Indonesia tidak dikenal adanya zaman tembaga atau zaman perunggu karena temuan perunggu di Indonesia pada umumnya terdapat pada lapisan yang sama dengan temuan besi, karena itu dia menggunakan terminologi zaman perunggu-besi untuk menyatakan zaman logam di Indonesia.

Heekeren juga berpendapat bahwa kebudayaan perunggu Indonesia berasal dari luar yaitu dari Dong Son, wilayah Vietnam Utara saat ini. Para ahli berbeda pendapat dalam hal ihwal kapan dimulainya zaman perunggu di wilayah Dong Son, namun H. Geldern menduga bahwa masa perunggu Dong Son di mulai sekitar abad ke-8 dan ke-7 SM  (Haryono, 2001: 50). Berbagai bentuk budaya Dong Son telah diimpor ke Nusantara di masa perundagian, baik itu yang sifatnya bendawi maupun ilmu pengetahuan dalam teknik pembuatannya. Menurut Hoop (1932) masuknya logam di Indonesia diperkirakan pada tahun 500-300 SM. 

Di antara artefak logam temuan Indonesia yang menunjukkan ciri kentara pengaruh kebudayaan Dong Son adalah nekara perunggu, kapak perunggu, patung perunggu, dan bejana perunggu. Pada masa selanjutnya artefak perunggu sudah diproduksi secara lokal seperti contohnya nekara tipe pejeng ataupun moko yang ditemukan di Bali dan Nusa Tenggara Timur (Bintarti, 2001).  Bejana perunggu salah satu produk budaya bendawi masa perundagian, telah menjadi objek peneilitian menarik dalam ilmu arkeologi. penelitian yang berkembang hanya menyangkut aspek teknis untuk mengetahui bagaimana bejana dibuat pada masa silam atau lebih menekankan analisis bahan dengan pendekatan saintifik untuk melihat bagaimana persamaan komposisi bahannya dengan artefak perunggu lainnya yang dihubungkan dengan paradigma difusi. Sayangnya, dari sisi keartistikan dan estetika dengan berbagai motif indah pada permukaan bejana sedikit sekali peneliti yang berminat untuk mengkajinya.

Haffiful Hadi Suliensyar dalam kajian ragam hias bejana perunggu di Kerinci menyatakan : dalam pola dan ragam hias yang ada pada bejana menunjukkan ciri khusus yang ada padanya.   Van-Heekeren (1958) mencatat bahwa kajian-kajian terhadap bejana perunggu yang telah dilakukan pada saat itu hanya terbatas pada deskripsi bentuk, motif hias dan teknik pembuatannya saja. Analisis bahan hanya dilakukan pada satu objek bejana saja yaitu yang ditemukan di Asemjaran, Madura. Sementara itu, Sumardjo (2002) pernah melakukan penafsiran terhadap  makna pola hias bejana perunggu Kerinci secara hermeneutis-historis. Setelah itu, penulis belum menemukan referensi tentang  kajian-kajian berikutnya dengan objek bejana perunggu tersebut.    Ahimsa-Putra (1999) dalam artikelnya telah menawarkan cara baru dalam mengupas masalah masalah arkeologi terutama arkeologi semiotik, yaitu melalui pendekatan strukturalisme Levi Strauss. Lebih lanjut Tanudirjo (2016) mengemukakan bahwa analisis struktural mencoba menemukan prinsip-prinsip dasar pikiran manusia sebagaimana yang tertuang dalam unsur budaya dominan seperti pola perkampungan, pola hiasan, kekerabatan mitos dan lainnya.

Penulis mencoba menggunakan cara analisis dengan pendekatan struktural Levi-Strauss pada objek bejana perunggu dengan tujuan untuk mengetahui makna dan struktur apa yang terdapat dalam motif hias bejana-bejana perunggu yang ditemukan di Kerinci.

Pendekatan struktural dalam arkeologi dapat didefinisikan sebagai penafsiran data arkeologi yang didasari oleh anggapan bahwa tindakan manusia dipadu oleh kepercayaan dan konsepsi simbolis yang sebenarnya berakar dari struktur pikiran manusia (Tanudirjo, 2016). Dalam perspektif arkeologi (terutama pasca-prosesual), budaya dianggap sebagai struktur simbol yang dianut bersama dan merupakan hasil akumulasi hasil pikir manusia. Analisis struktural yang dilakukan bertujuan untuk
menemukan prinsip-prinsip dasar pikiran manusia yang tertuang dalam unsur-unsur budaya dominan seperti budaya bendawi (Tanudirjo, 2016).

Ada beberapa premis dalam strukturalis yang dikemukakan oleh Tanudirjo. Pertama, ada pola pikir manusia yang berulang-ulang dalam tindakan-tindakan yang akhirnya memberi ciri khas  pada suatu budaya tertentu. Kedua, struktur pikiran dalam suatu lingkungan budaya tertentu secara terpadu melatarbelakangi berbagai aspek kehidupan manusia dalam. Ketiga, pola pikiran disatu aspek kehidupan akan tercermin dalam aspek kehidupan lain, misalnya pola hias pada bejana perunggu mencerminkan pola religi masyarakat pendukungnya. 

Dari serangkaian konsepkonsep yang dikemukakan oleh Levi-Strauss, dikatakan bahwa benda-benda arkeologis juga dapat dianalisis seperti yang dilakukan oleh ahli bahasa. Hal ini bila dilihat dari perspektif bahwa artefak-artefak atau materi kebudayaan bukan sekedar diciptakan untuk tujuan ekonomis semata, tetapi merupakan suatu sistem simbol dan sistem tanda. Melalui benda-benda tinggalan tersebut dapat diungkap ide-ide, pandangan mereka, yang semuanya merupakan pesan yang bersifat sosial ataupun individual (Ahimsa-Putra, 1999b).     

Motif ragam hias bejana perunggu di Kerinci yang terdapat di tabung Kawoa, adalah motif tumbuhan dan ragam hias segitiga (tumpal), bentuk  huruf kapital ‘J’ dan motif spiral pada dasarnya tidak hanya ditemukan pada pada bejana perunggu saja tetapi terdapat pula pada produk-produk bendawi lainnya yang dihasilkan oleh berbagai etnik di Nusantara seperti pada ukiran kayu dan motif kain tradisional.  Suku Kerinci yang mendiami Dataran Tinggi Jambi menyebut motif segitiga (tumpal) dengan sebutan motif pucuk rebung,  dan motif huruf ‘J’ disebut dengan motif keluk paku.

Motif ini diambil dari dua jenis tumbuhan yaitu tumbuhan paku-pakuan dan tumbuhan bambu. Seperti yang diketahui bahwa tumbuhan paku memiliki ciri khas dengan daun yang masih muda menggulung. Pola-pola relung daun paku muda inilah yang dinamakan sebagai motif keluk paku oleh orang Kerinci. Sementara itu, tunas bambu muda akan terlihat berpola seperti segitiga. Motif berbentuk pola-pola segitiga (tumpal) dikatakan sebagai motif pucuk rebung. Baik bambu maupun pakis keduanya adalah dua jenis tanaman yang banyak dijumpai di daerah Kerinci. begitu pula dengan wilayah lainnya di Indonesia yang beriklim tropis basah.

Tanaman pakis dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh beberapa suku di Indonesia sama halnya dengan rebung. Akan tetapi tanaman bambu lebih banyak dimanfaatkan dalam berbagai hal. Tanaman paku-pakuan merupakan tanaman yang berkembang biak sangat cepat terutama pada iklim tropis basah. tanaman paku muda tumbuh melalui spora yang tersebar dari tanaman induknya. Hal ini menjadikan tanaman paku memiliki nilai filosofis tersendiri bagi orang Kerinci. Istilah adat mereka menyebutkan istilah patah tumbauh ila bagentoi (patah tumbuh hilang berganti) dan  mati so tumbu saribu (mati satu akan tumbuh seribu), kedua kalimat adat diterjemahkan bahwa segala sesuatu yang sudah mati tidak akan lenyap begitu saja tetapi akan terus meregenerasi menjadi ratusan bahkan ribuan pengganti yang lebih baik.

Secara singkat, motif keluk paku menjadi lambang bagi kesuburan.  Oleh karena tunas paku menjadi lambang kesuburan bagi suku Kerinci, motif ini juga terdapat pada ukiran-ukiran kayu di rumah dan lumbung padi mereka.

Motif Hias Pucuk Rebung pada Naskah Surat Incung, suku Kerinci memanfaatkan potongan bambu sebagai atap rumah. Bambu yang dipecah disebut pelupuh digunakan sebagai dinding dan lantai rumah (Schefold, 2008). P. Voorhoeve (1970) mengatakan bahwa surat Incung orang Kerinci yang berisi ratapan-ratapan ditulis pada media tabung bambu karena bambu dinilai mempunyai daya magis.

Motif spiral dalam masyarakat Kerinci disebut sebagai motif pilin (Rassuh, 2008), Melihat bahwa dalam motif ini, pola relung paku berada pada sisi berbeda dan arah hadap berlawanan tetapi disatukan dalam batangan lurus, kemungkinan merupakan simbol dari penyatuan oposisioposisi yang ada di alam semesta. Sumardjo (2002: 121) menyebutkan bahwa motif huruf S (spiral) sebagai lambang dari perpaduan antara lelaki (sifat maskulin) dan perempuan (sifat feminin) sehingga mewujudkan sebuah harmoni atau keselarasan semesta. 

Motif Persegi Hal yang paling menonjol dalam motif persegi ini adalah munculnya pola bilangan empat seperti empat buah sisi dan empat buah sudut yang menjadi pembentuk pola persegi.  Bilangan empat ini banyak muncul dalam aspek sosial-budaya berbagai etnik di Nusantara. Suku Kerinci dalam tatanan adat mereka mengenal istilah kato nan mpat, negeri nan mpat, undang-undang nan mpat, adat nan mpat, lembago nan mpat, dan parbokalo bungkan yang barempat (Yakin, 1986; Zakaria: 1984). Istilah parbakalo bungkan yang barempat misalnya merujuk kepada empat orang yang dipilih sebagai dewan pertimbangan dalam pemerintahan adat Kerinci, ke empat orang ini ditempatkan dalam empat sisi permukiman sebagai lambang keseimbangan.



Bukti lainnya tanaman kopi sudah ada di Kerinci sejak abad 14 adalah naskah kuno Melayu pasca pallawa Kitab Undang Undang Tanjung Tanah (KUUTT) sebagai naskah transkrip Melayu tertua di dunia, yang terdapat di Tanjung Tanah Kerinci, yang sudah ada uji dating carbonnya, pertama kali di kaji oleh Dr. P. Voorhoeve tahun 1941, kemudian Prof. Uli Kozok, filologi asal Jerman, telah mengejutkan dunia penelitian bahasa dan sejarah kuno Indonesia. Lewat temuan sebuah naskah Malayu kuno di Kabupaten Kerinci, yang ia lihat pertama kali di tangan penduduk pada 2002, "Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah" yang ditemukan Kozok merupakan naskah pertama yang menggunakan aksara Pasca-Palawa berdasar uji radio karbon di Wellington, New Zealand naskah ini diperkirakan dibuat pada zaman Kerajaan Adityawarman di Saruwasa (Tanah Datar, Sumatera Barat) antara 1345 hingga 1377.

Dalam naskah itu disebutkan bahwa Kerinci sudah menjadi pusat pertanian dan perkebunan karena kesuburan tanahnya. Komoditas yang menjadi andalan adalah teh, sayur mayur, kayu manis dan kopi. Ini membuktikan bahwa tradisi minun kawa sudah ada sebelum Belanda datang, dan dalam naskah tersebut di tulis oleh Kuja Ali gelar Depati Selunjur Alam Kerinci, dari nama tersebut masyarakat Kerinci kuno sudah kontak dengan para pedagang Timur Tengah, bisa jadi kopi dibawa oleh pedagang Timur Tengah tersebut, karena ditilik dari sejara awal kopi, adalah minuman sakral para ahli tasauf, dan Islam awal di Kerinci adalah Islam dengan kajian tasauf, yang juga dibuktikan dengan isi tambo tambo aksara incung.

Bukti arkeologis lain masyarakat Kerinci kuno sudah mengadakan hubungan dagang dengan bangsa luar adalah temuan benda keramik Cina dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M) yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta, yang menurut Abu Ridho, ketiga benda keramik tersebut berupa bejana penjenazahan dari dinasti Han (abad 1 – 2 M), mangkuk sesaji dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M), dan guci tempat anggur bertutup dari dinasti Han (abad 1 – 2 M) (1979:105 – 118).

Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha pun hampir tidak terlihat di Kerinci dan Merangin. Hingga kini belum ditemukan situs-situs Hindu-Buda di kedua wilayah tersebut, tetapi di Kerinci ditemukan arca lepas berupa dua buah arca Boddhisattwa perunggu berukuran kecil (tinggi 16 cm) (Schnitger,1937:13).

Keramik Cina dari dinasti Sung (960 – 1270 M) banyak ditemukan di dataran tinggi Kerinci, dan daerah lembah kaki Gunung Raya . Temuan tersebut membuktikan bahwa ketika di dataran rendah Jambi berkembang pesat kerajaan Malayu bercorak budis, di dataran tinggi Jambi bertahan kehidupan bercorak tradisi megalitik. Bahkan tradisi megalitik di dataran tinggi Kerinci bertahan hingga kedatangan Islam. Tradisi megalitik di kawasan tersebut tampaknya baru berakhir pada abad ke-18,

Sebuah temuan akan membuka gerai sejarah masa lalu, dan pola hidup masyarakat saat itu, begitu pula tradisi minun kawao di dataran tinggi Kerinci, yang sudah ada sebelum bangsa Belanda datang, dan ada istilah pameo “Melayu Kopi Daun”, yang selama ini dianggap oleh masyarakat istilah yang di berikan Belanda kepada kaum pribumi, kita tidak menyangkalnya namun tradisi minum kopi daun sudah ada sebelum Belanda datang, kemudian sejak dikembangkanya perkebunan kopi oleh Belanda dan tradisi minum serbuk buah kopi, dan kopi pernah menjadi emas hitam buat Belanda, cara pandang itu berubah, suatu sisi kopi daun sakral buat masyarakat, satu sisi pandangan penjajah Belanda seolah menertawakan tradisi tersebut karena yang mereka minum adalah serbuk dari buah kopi yang diluar sana harganya mahal, dan daun kopi tidak ada harganya.

Parahnya secara turun temurun pola pikir masyarakat kita “mengiyakan” pandangan ini sehingga mengikis tradisi kita sendiri dan menukarnya dengan tradisi luar yang dianggap lebih prestige tinggi, namun kebudayaan itu selalu maju dan berubah, tinggal kita menyikapi secara bijak dalam memperkuat karakter anak bangsa.

M. Ali Surakhman