Dataran
tinggi Kerinci dapat dikatakan merupakan kawasan pedalaman yang jauh dari jalur
perdagangan maritim. Selain itu juga bergunung-gunung dan berbukit-bukit dengan
sungai-sungai bertebing terjal, sehingga menghambat mobilitas horisontal.
Namun, ternyata kawasan tersebut tidak benar-benar terisolasi. Museum Nasional
Jakarta mengumpulkan temuan lepas dari Kerinci berupa tiga buah benda keramik
Cina dari dinasti Han (abad ke-1 – 3
M). Menurut Abu Ridho, ketiga benda keramik tersebut berupa bejana penjenazahan
dari dinasti Han (abad 1 – 2 M),
mangkuk sesaji dari dinasti Han (abad
ke-1 – 3 M), dan guci tempat anggur bertutup dari dinasti Han (abad 1 – 2 M) (1979:105 – 118). Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha
pun hampir tidak terlihat di Kerinci dan Merangin. Hingga kini belum ditemukan
situs-situs Hindu-Budha di kedua wilayah tersebut, tetapi di Kerinci ditemukan
arca lepas berupa dua buah arca Boddhisattwa
perunggu berukuran kecil (tinggi 16 cm) (Schnitger,1937:13).
Keramik
Cina dari dinasti Sung (960 – 1270 M)
banyak ditemukan di dataran tinggi Kerinci, dan daerah lembah kaki Gunung Raya
. Temuan tersebut membuktikan bahwa ketika di dataran rendah Jambi berkembang
pesat kerajaan Malayu bercorak Budis, di dataran tinggi Jambi bertahan
kehidupan bercorak tradisi megalitik. Bahkan tradisi megalitik di dataran
tinggi Kerinci bertahan hingga kedatangan Islam. Tradisi megalitik di kawasan
tersebut tampaknya baru berakhir pada abad ke-18,
Masyarakat
bercorak tradisi megalitik di dataran tinggi Kerinci mungkin sekali menghuni
lahan di sekitar batu monolit yang mempunyai nama lokal batu gong, batu bedil
atau batu larung. Bukti-bukti hunian di sekitar batu megalitik ditemukan dalam
ekskavasi Bagyo Prasetyo tahun 1994 di Bukit Talang Pulai, Kerinci . Tinggalan
artefak menonjol di situs megalit adalah pecahan tembikar yang merupakan bukti
pemukiman.
Kehidupan
bercorak megalitik di dataran tinggi Kerinci telah mengenal pula penguburan
dengan wadah tempayan tanah liat sebagaimana di dataran tinggi Sumatera Selatan
(lihat Soeroso,1998). Di desa Renah Kemumu, Kecamatan Jangkat, Kabupaten
Merangin, ditemukan tinggalan megalit di Bukit Batu Larung, tetapi juga puluhan
tempayan tanah liat insitu di suatu tempat yang berjarak sekitar 1 kilometer
dari megalit. Keadaan tinggalan tempayan-tempayan tersebut tidak utuh karena
pengaruh erosi dan aktivitas manusia sekarang yang menghuni situs tersebut.
Melalui analisis C-14 yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, arang yang ditemukan dalam tempayan diketahui berumur 810 ± 120 BP
(tahun 1020 - 1260 M). Sementara itu, situs Bukit Batu Larung berumur 970 ± 140
BP (tahun 840 -1120).
Hasil
awal tradisi melagitik yang belum mengenal tulisan, yang di kenal juga dengan
tradisi lisan ini salah satunya upacara ritual Asyeik. Sebagian masyarakat menyebutnya dengan upacara ritual suku
Kerinci, upacara ritual ini merupakan upacara pemanggilan roh-roh nenek moyang,
dengan mengunakan obyek-obyek tertentu ( pusaka, tumbuh-tumbuhan, makanan,
batu-batuan ) dengan tujuan untuk menolak bala dan menuntun anak cucu
(masyarakat Kerinci) kearah kebenaran dan kebaikan.
Tradisi
lisan merupakan identitas komunitas dan
salah satu sumber penting dalam pembentukan karakter bangsa melalui nilai-nilai
luhur yang diwariskannya. Tradisi lisan juga dapat menjadi pintu masuk guna
memahami permasalahan yang dihadapi masyarakat pendukung tradisi tersebut. Di
dalam tradisi itu, kita dapat mengenal kehidupan komunitas suatu masyarakat
mulai dari kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah,
hukum adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan relegi.
Kebudayaan
Bacson-Hoabinh diperkirakan berasal
dari tahun 10.000 SM-4000 SM, kira-kira tahun 7000 SM. Kebudayaan ini berlangsung pada kala Holosen.
Awalnya masyarakat Bacson-Hoabinh hanya menggunakan alat dari gerabah yang
sederhana berupa serpihan-serpihan batu tetapi pada tahun 600 SM mengalami
perubahan dalam bentuk batu-batu yang menyerupai kapak yang berfungsi sebagai
alat pemotong. Ciri khas alat-alat batu kebudayaan Bacson-Hoabinh adalah
penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan batu kali yang berukuran ± 1
kepalan dan seringkali seluruh tepiannya menjadi bagian yang tajam. Hasil
penyerpihannya itu menunjukkan berbagai bentuk seperti lonjong, segi empat,
segitiga dan beberapa di antaranya ada yang mempunyai bentuk berpinggang.
Alat-alat dari tulang dan sisa-sisa tulang belulang manusia dikuburkan dalam
posisi terlipat serta ditaburi zat warna merah. Kebudayaan Bacson-Hoabinh ini diperkirakan berkembang pada zaman Mesolitikum.
Pusat
kebudayaan zaman Mesolitikum di Asia berada di dua tempat yaitu di Bacson dan Hoabinh. Kedua tempat tersebut berada di wilayah Tonkin di Indocina
(Vietnam). Istilah Bacson Hoabinh pertama kali digunakan oleh arkeolog Prancis
yang bernama Madeleine Colani pada tahun 1920-an. Nama tersebut untuk
menunjukkan tempat pembuatan alat-alat batu yang khas dengan ciri dipangkas
pada satu atau dua sisi permukaannya.
Menurut
C.F. Gorman dalam bukunya The Hoabinhian
and after : Subsistance patterns in South East Asia during the latest
Pleistocene and Early Recent Periods (1971) menyatakan bahwa penemuan
alat-alat dari batu paling banyak ditemukan dalam penggalian di pegunungan batu
kapur di daerah Vietnam bagian utara, yaitu di daerah Bacson pegunungan Hoabinh.
Di
samping alat-alat dari batu yang berhasil ditemukan, juga ditemukan alat-alat
serpih, batu giling dari berbagai ukuran, alat-alat dari tulang dan sisa tulang
belulang manusia yang dikubur dalam posisi terlipat serta ditaburi zat warna
merah.
Sementara
itu, di daerah Vietnam ditemukan tempat-tempat pembuatan alat-alat batu,
sejenis alat batu dari kebudayaan Bacson-Hoabinh.
Bahkan di Gua Xom Trai (dalam buku Pham
Ly Huong ; Radiocarbon Dates of The
Hoabinh Culture in Vietnam, 1994) ditemukan alat-alat batu yang sudah
diasah pada sisi yang tajam. Alat-alat batu dari Goa Xom Trai tersebut
diperkirakan berasal dari 18.000 tahun yang lalu, kemudian dalam perkembangannya alat-alat dari
batu atau yang dikenal dengan kebudayaan Bacson-Hoabinh
tersebar dan berhasil ditemukan hampir di seluruh daerah Asia Tenggara, baik
darat maupun kepulauan, termasuk wilayah Indonesia.
Hasil-hasil
Kebudayaan Bacson-Hoabinh di
Indonesia adalah, kapak genggam, kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit karang
tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai
dengan lokasi penemuannya yaitu di Kerinci pulau Sumatera, kapak dari tulang
dan tanduk, di sekitar daerah Nganding dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun (Jawa
Timur), Flakes adalah berupa alat alat kecil terbuat dari batu yang disebut
dengan flakes atau alat serpih. Flakes selain terbuat dari batu biasa juga ada
yang dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti calsedon, dan Kjokkenmoddinger
adalah bukit-bukit sampah kerang yang berdiameter sampai 100 meter dengan
kedalaman 10 meter. Peninggalan ini ditemukan di Sumatra. Lapisan kerang
tersebut diselang-selingi dengan tanah dan abu. Tempat penemuan bukit kerang
ini pada daerah dengan ketinggian yang hampir sama dengan permukaan air laut
sekarang dan pada kala Holosen daerah tersebut merupakan garis pantai.
Kebudayaan
Bacson - Hoabinh yang terdiri dari
pebble, kapak pendek serta alat-alat dari tulang masuk ke Indonesia melalui
jalur barat. Sedangkan kebudayaan yang terdiri dari flakes masuk ke Indonesia
melalui jalur timur.
Pengaruh
utama budaya Hoabinh terhadap
perkembangan budaya masyarakat awal kepulauan Indonesia adalah berkaitan dengan
tradisi pembuatan alat terbuat dari batu. Beberapa ciri pokok budaya Bacson-Hoabinh ini antara lain:
Pembuatan alat kelengkapan hidup manusia yang terbuat dari batu. Batu yang
dipakai untuk alat umumnya berasal dari batu kerakal sungai. Alat batu ini
telah dikerjakan dengan teknik penyerpihan menyeluruh pada satu atau dua sisi
batu. Hasil penyerpihan menunjukkan adanya keragaman bentuk. Ada yang berbentuk
lonjong, segi empat, segi tiga dan beberapa diantaranya ada yang berbentuk
berpinggang. Pengaruh budaya Hoabihn
di Kepulauan Indonesia sebagian besar terdapat di daerah Sumatra. Hal ini lebih
dikarenakan letaknya yang lebih dekat dengan tempat asal budaya ini.
Kebudayaan
Dongson. Sejarah awal kebudayaan Dongson adalah kebudayaan zaman Perunggu
yang berkembang di Lembah Sông Hồng, Vietnam. Kebudayaan ini juga berkembang di
Asia Tenggara, termasuk di Indonesia dari sekitar 1000 SM sampai 1 SM.
Kebudayaan
Dongson ini berawal dari evolusi
kebudayaan Austronesia. Asal usulnya sendiri telah dicari adalah bangsa
Yue-tche yang merupakan orang-orang barbar yang muncul di barat daya China
sekitar abad ke-8 SM. Kebudayaan Dongson secara keseluruhan dapat dinyatakan
sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di
pesisir Annam, yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 Sebelum
Masehi. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh hoa.
Pengolahan
logam menunjukkan taraf kehidupan yang semakin maju, sudah ada pembagian kerja
yang baik, masyarakatnya sudah teratur. Teknik peleburan logam merupakan teknik
yang tinggi. Pendukung kebudayaan ini adalah bangsa Austronesia, juga pendukung
kapak persegi.
Pengetahuan
mengenai perkembangan kebudayaan logam ini mulai banyak dikenal setelah Payot
mengadakan penggalian di sebuah kuburan Dongson
(Vietnam) pada tahun 1924. Namun perlu diketahui bahwa benda-benda perunggu
yang telah ada sebelum tahun 500 SM terdiri atas kapak corong (corong merupakan
pangkal yang berongga untuk memasukkan tangkai atau pegangannya) dan ujung
tombak, sabit bercorong, ujung tombak bertangkai, mata panah dan benda-benda
kecil lainnya seperti pisau, kail, gelang dan lain-lain.
Penemuan
benda-benda dari kebudayaan Dongson
sangat penting karena benda-benda logam yang ditemukan di wilayah Indonesia
umumnya bercorak Dong Son, dan bukan mendapat pengaruh budaya logam dari India
maupun Cina. Budaya perunggu bergaya Dongson
tersebar luas di wilayah Asia Tenggara dan kepulauan Indonesia. Hal ini
terlihat dari kesamaan corak hiasan dan bahan-bahan yang dipergunakannya.
Misalnya nekara, menunjukkan pengaruh yang sangat kuat. Nekara dari tipe Heger
1 memiliki kesamaan dengan nekara yang paling bagus dan tertua di Vietnam.
Benda-benda perunggu lainnya yang berhasil ditemukan di daerah Dongson serta beberapa kuburan seperti
daerah Vie Khe, Lang Cha, Lang Var. Satu nekara yang ditemukan yang besar
berisi 96 mata bajak perunggu bercorang. Dari penemuan itu terdapat alat-alat
dari besi, meskipun jumlahnya sangat
sedikit. Dari penemuan benda-benda budaya Dongson
itu, diketahui cara pembuatannya dengan menggunakan teknik cetak lilin hilang
yaitu dengan membuat bentuk benda dari lilin, kemudian lilin itu di balut
dengan tanah liat dan dibakar hingga terdapat lubang pada tanah liat tersebut.
Benda-benda
arkeologi dari Dongson sangat beraneka ragam, karena mendapat berbagai macam
pengaruh dan aliran. Hal tersebut nampak dari artefak-artefak kehidupan
sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual yang sangat rumit sekali.
Perunggu adalah bahan pilihan. Benda-benda seperti kapak dengan selongsong,
ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk
yang kaya dan indah. Kemudian gerabah dan jambangan rumah tangga, mata
timbangan dan kepala pemintal benang, perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari
tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain. Semua benda tersebut
atau hampir semuanya diberi hiasan. Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari
kesenian ini diantaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan spiral yang
tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan.
Dari
motif-motif yang dijumpai pada nekara yang sering disebut-sebut sebagai nekara
hujan, ditampilkan dukun-dukun atau syaman-syaman yang kadang-kadang menyamar
sebagai binatang bertanduk, menunjukkan pengaruh China atau lebih jauhnya
pengaruh masyarakat kawasan stepa. Jika bentuk ini disimbolkan sebagai
perburuan, maka ada lagi simbol yang menunujukkan kegiatan pertanian yakni
matahari dan katak (simbol air). Sebenarnya, nekara ini sendiri dikaitkan
dengan siklus pertanian. Dengan mengandalkan pengaruh ghaibnya, nekara ini
ditabuh untuk menimbulkan bunyi petir yang berkaitan dengan datangnya hujan.
Pada nekara-nekara
tersebut, yang seringkali disimpan di dalam makam terlihat motif perahu yang
dipenuhi orang yang berpakaian dan bertutup kepala dari bulu burung. Hal
tersebut boleh jadi menggambarkan arwah orang yang sudah mati yang berlayar
menuju surga yang terletak di suatu tempat di kaki langit sebelah timur lautan
luas. Pada masyarakat lampau, jiwa sering disamakan dengan burung dan mungkin
sejak periode itu hingga sekarang masih dilakukan kaum syaman yang pada masa
kebudayaan Dongson merupakan
pendeta-pendeta menyamar seperti burung agar dapat terbang ke kerajaan
orang-orang mati untuk mendapatkan pengetahuan mengenai masa depan.
Lagi
pula nekara-nekara tersebut sendiri didapatkan pada awal abad ke-19 masih
digunakan untuk upacara ritual keagamaan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pada
nekara tesebut digambarkan kehidupan orang-orang Dongson mulai perburuan,
pertanian hingga kematian.
Banyaknya
perlengkapan pemakaman tersebut menunjukkan ritual yang dilakukan masyarakat Dongson.
Antara lain masalah jenazah yang dikelilingi semua benda-benda sehari-hari
miliknya agar dapat hidup secara normal di alam baka. Belakangan sebagai upaya
penghematan, yang ikut dikuburkan bersama jenazah adalah benda-benda berukuran
kecil saja. Kemudia pada masa akhir kebudayaan Dongson, muncul bentuk ritual
baru. Sebelumnya makamnya berbentuk peti mati sederhana dari kayu yang dikubur,
sementara pada berikutnya yang dinamakan periode Lach-truong, yang mungkin
diawali pada abad pertama sebelum Masehi, telah ditemukan makam dari batu bata
yang berbentuk terowongan atau lebih tepatnya gua yang terbagi menjadi tiga
kamar oleh tembok-tembok lengkung beratap. Semula perlengkapan ini
dikait-kaitkan dengan pengaruh Yunani tentang kehidupan alam baka, meski
sebenarnya menunjukkan pengaruh China yang terus-terus bertambah besar yang
beranggapan bahwa arwah orang mati bersembunyi dalam gua-gua yang terdapat di
lereng-lereng gunung suci, tempat bersemayam para arwah yang abadi.
Makam
yang berbentuk terowongan itu boleh dikatakan tiruan dari gua alam gaib
tersebut. Peletakan peti mati di kamar tengah, kemudian di ruangan bersebelahan
ditumpuk sesajen sebagai makanan untuk arwah dan ruangan ketiga disediakan
altar yang terdapat lampu-lampu yang dibawa atau dijaga oleh patung-patung
terbuat dari perunggu. Secara sekilas terasa pengaruh Hellenisme yang menandai
akhir kebudayaan Dongson.
Hubungan
tradisi lisan dalam ritual Asyeik di
Kerinci di mulai saat pertebaran bangsa Austronesia (MelayuTua) yang
berlangsung pada zaman Prahistoria antara (10.000-2.000) tahun SM dengan
ditemukan alat-alat Neolitikum. Alat-alat prahistoria yang sangat tua dan unik
itu salah satunya ditemukan di dataran tinggi daerah Kerinci. Khusus mengenai
alat serpihan obsidian, daerah Kerinci disebut menjadi inti dari kebudayaan
alat serpih (flakes culture) termasuk dalam zaman Mesolitikum. Peninggalan
bersejarah dari masa prahistoria di Kerinci sejenis menhir batu, keadaannya
sangat unik berbentuk silindrik dengan posisi tergeletak di permukaan tanah.
Posisi semacam ini belum pernah di temukan pada daerah lainnya di Indonesia, keadaan silindrik di
Kerinci merupakan penyimpangan dari tradisi umum megalitik di Indonesia. Batu
silindrik yang ada di Kerinci saat sekarang sebanyak tujuh buah, bermotifkan
relief manusia kangkang, matahari, lingkaran aura dan sebagainya. Ada yang
polos tanpa motif, secara kronologis
berasal dari masa 12.000 tahun SM. Motif ini berhubungan erat dengan
bentuk tarian dan alat yang di gunakan pada upacara ritual “Asyeik”.
Benda-benda
yang berasal dari zaman perunggu yang di temukan di daerah Kerinci yaitu
gelang, giring-giring, cakram, nekara dan sebuah bejana. Nekara perunggu
Kerinci termasuk dalam kelompok Heger –1, menunjukan persamaan dengan temuan di
Dongson dan Phom Penh. Sedangkan bejana perunggu memiliki motif persamaan
dengan seni hias yang terdapat pada bangunan tradisional Kerinci, serta pada
bangunan ibadah lainnya.
Benda-benda perunggu ini
dikatakan sebagai peninggalan zaman Paleometalik berasal dari 1.000-500 tahun
SM.
Temuan
tertua lain di daerah Kerinci berupa keramik kuno yang berasal dari masa
pemerintahan Dinasti Han di Cina (Tahun 202 SM-221 Masehi). Adanya keramik Han
di daerah Kerinci, memperkuat dugaan kita akan kemampuan penduduk prasejarah
Kerinci dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan daratan Cina. Besar
kemungkinan daerah Kerinci pada zaman itu sebagai pusat sebuah peradaban tertua
di Sumatra, mengingat catatan yang di buat oleh K’ang-tai dan Wan-Chen dari
dinasti wangsa Wu (222-280 SM), diterangkan sebuah kerajaan di Sumatra terdapat
banyak gunung api dan di selatannya ada sebuah teluk bernama Wen.
Dari
penggalian arkeologi di dataran tinggi Kerinci, merupakan salah satu sasaran penelitian
arkeologi sejak tahun 1932 dengan perintisnya adalah A.N.J.Th a Th van der
Hoop. Tinggalan menonjol di kawasan tersebut adalah alat obsidian dan megalit.
Sejak tahun 2005 mulai ditemukan sejumlah situs kubur tempayan yang berasosiasi
dengan tinggalan megalit, sehingga diperkirakan kedua unsur budaya tersebut
hidup sezaman. Penelitian kubur tempayan
selama ini mengungkapkan bahwa di dataran tinggi Kerinci berkembang tradisi
penguburan dengan tempayan sebagaimana terdapat juga di berbagai situs arkeologi
di Indonesia. Penelitian kubur tempayan juga mengungkapkan adanya pemberian
bekal kubur yang menunjukkan kepercayaan adanya kehidupan setelah mati.
Penelitian
kubur tempayan di Desa Muak, Kecamatan
Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi yang dilaksanakan pada bulan
Juli 2007 merupakan salah satu rangkaian penelitian yang dilakukan sebelumnya
yang bertujuan untuk merekonstruksi aspek-aspek kehidupan tradisi megalitik di
dataran tinggi Jambi. Penelitian tersebut dipimpin oleh Drs. Tri Marhaeni SB
dengan anggota inti Sondang M. Siregar, SS (arkeolog), Sigit Eko Prasetyo,
S.Hum (arkeolog), dan Armadi, ST (pemetaan).
Ekskavasi
di Desa Muak dilakukan di tiga tempat, yaitu dua situs kubur tempayan dan satu
situs megalit. Di situs Ulu Muak dibuka
satu lobang ekskavasi berukuran 2x2
meter. Di kotak tersebut ditemukan lima buah wadah tembikar yang bentuk dan
ukurannya bervariasi serta kedalaman penemuannya berbeda. Temuan wadah yang
dikenali tiga buah, yaitu satu buah periuk bertutup periuk, satu buah tempayan
bertutup belanga, dan satu buah guci bertutup
pasu. Dalam tempayan tidak ditemukan tinggalan arkeologis.
Ekskavasi
kubur tempayan lainnya dilakukan di situs Dusun Baru Muak. Situs ini terletak
sekitar 150 meter dari Ulu Muak. Di situs Dusun Bartu Muak dibuka empat kotak
ekskavasi yang masing-masing berukuran 2x2 meter. Ekskavasi tersebut menemukan
enam buah wadah tembikar yang diperkirakan semuannya berbentuk tempayan.
Keadaannya retak dan pecah, sehingga tidak dapat dikenali bentuknya. Dalam
tempayan tidak ditemukan tinggalan arkeologis. Dibanding dengan temuan di Ulu
Muak, wadah tembikar dari situs ini lebih homogen bentuknya (mungkin semuanya
tempayan) serta lebih besar ukurannya. Wadah tembikar yang dipergunakan sebagai
wadah kubur di Ulu Muak pun berbeda bentuknya dengan yang ditemukanb di Lolo
Gedang, sebuah situs kubur tempayan lain yang berada sekitar 2,3 km dari Ulu
Muak.
Ekskavasi delapan buah kotak berukuran 2x2
meter dilakukan di situs Batu Patah, sekitar 500 meter dari Ulu Muak. Ekskavasi dimaksudkan untuk mengetahui lapisan budaya
di sekitar megalit karena di permukaan situs telah ditemukan pecahan tembikar
dari galian cangkul untuk menanam ubi jalar. Ternyata lapisan budaya dengan
temuan menonjol pecahan wadah tembikar
terbatas pada lapisan lempung coklat di atas lanau kuning.
Kedalamannya dari permukaan tanah
bervariasi antara 40--60 cm. Temuan lapisan budaya ini sekaligus membuktikan
bahwa di sekitar megalit terdapat hunian yang diperkirakan sezaman karena pola
demikian ditemukan pula di situs-situs di dataran tinggi Jambi lainnya.
Perbedaannya dengan situs-situs lainnya di kawasan yang sama, yaitu keletakan
antara megalit dan kubur tempayan di Muak lebih berdekatan (sementara ini 500
meter), sedangkan di tempat lain tidak kurang dari 1 km.
Dari
pengalian arkeologi ini menegaskan tradisi lisan dalam ritual Asyeik sudah ada sejak zaman pra-aksara dimana
zaman ketika manusia belum mengenal tulisan, ditandai dengan belum
ditemukannya keterangan tertulis mengenai kehidupan manusia. Periode ini
ditandai dengan cara hidup berburu dan mengambil bahan makanan yang tersedia di
alam. Pada zaman pra-aksara pola hidup dan berpikir manusia sangat bergantung
dengan alam. Tempat tinggal mereka berpindah-pindah berdasarkan ketersediaan
sumber makanan. Zaman pra-aksara sering disebut juga dengan zaman nirleka. Nir
artinya tanpa dan leka artinya tulisan.Zaman pra-aksara berakhir ketika
masyarakatnya sudah mengenal tulisan.
Pembabakan
masa pra-aksara Indonesia telah dimulai sejak 1920-an oleh beberapa peneliti
asing seperti P.V. van Stein Callenfels, A.N.J. Th. van der Hoop, dan H.R. van
Heekern. Pembabakan masa pra-aksara Indonesia didasarkan pada penemuan-penemuan
alat-alat yang digunakan manusia pra-aksara yang tinggal di Kepulauan
Nusantara. Para ahli arkeologi dan paleontologi membagi masa pra-aksara
Indonesia ke dalam dua zaman, yaitu zaman batu dan zaman logam.
#M.Ali Surakhman#
https://metrojambi.com/tag/m-ali-surakhman
https://metrojambi.com/tag/m-ali-surakhman